Huruf
braille sebagai huruf untuk tunanetra telah lama saya ketahui. Pengetahuan itu sepertinya
telah saya ketahui sejak masih di SD, semacam pelajaran hafalan yang masih saya
ingat sampai sekarang. Saya juga sudah lama tahu bahwa cara membacanya dengan
diraba.
Walaupun
sudah lama tahu, saya masih sangat gembira saat benar-benar melihatnya. Tulisan
braille itu tertuang dalam kertas putih yang menjadi karya tulis seorang anak.
Bayangkan, ada tulisan braille sebanyak itu. Selama ini huruf braille yang saya
tahu paling-paling hanya yang ada di tombol lift. Itu pun karena saya memang
diharuskan meraba tombol liftnya.
Karya
tulis itu menjadi syarat untuk pemilihan delegasi konferensi anak yang rutin
diadakan oleh media anak tempat saya numpang berkarya. Saya mendapatkan
kesempatan untuk membaca karya itu karena saya bertugas sebagai jurinya. Saya
membaca terjemahannya yang diketik menjadi tulisan biasa, kemudian saya
membacanya ulang sambil meraba karyanya. Walaupun tidak terlalu paham hurufnya,
sensasinya luar biasa. Saya senang sekali.
Saya
lebih senang lagi karena memiliki kesempatan untuk bertemu langsung dengan
penulisnya. Ya, anak ini terpilih menjadi salah satu delegasi. Dalam konferensi
yang berlangsung selama 4 hari 3 malam itu, ia berbaur dengan anak-anak lain
yang penglihatannya normal. Ia juga harus melakukan kegiatan yang sama, salah
satunya adalah menulis jurnal.
Jurnal
yang dibuatnya tentu saja menggunakan huruf braille. Saat itulah saya baru
pertama kali melihat bagaimana cara penulisan huruf braille yang terdiri dari
titik-titik itu. Untuk penulisan biasa, digunakan alat seperti penggaris.
Penggaris ini digunakan sepasang seperti menjepit kertas. Pada penggaris ini
ada lubang-lubang yang dapat digunakan untuk membuat titik-titik braille. Untuk
membuat titiknya digunakan pin kecil yang runcing.
Anak
itu menulis, atau lebih tepatnya membuat titik-titik, dengan kecepatan yang
luar biasa. Saya makin kagum saat saya mencoba membuat tulisan itu sendiri.
Membuat 1 huruf saja susahnya luar biasa.
“Kan,
sudah biasa,” ujar anak itu saat saya tanyakan bagaimana caranya membuat
tulisan braille secepat itu.
Walaupun
sudah tahu kalau dia bisa karena biasa, saya tetap kagum pada anak itu. Menulis
jurnal tidak hanya sekedar menulis. Menulis jurnal perlu kemampuan lebih, perlu
pemikiran lebih. Anak itu melakukannya dengan mudah. Dia bahkan bercita-cita
menjadi penulis kelak. Wow! Saya mendoakan semoga ia berhasil mencapai
cita-citanya. {ST}