Ana

Sabtu, 18 Februari 2017

Cokelat Panas yang Tumpah di Mobil


            Saat sedang berkendara dengan menggunakan transportasi online, saya hampir tidak pernah makan dan minum. Saya tidak tahu sebenarnya apakah ada aturan untuk tidak makan dan minum. Yang jelas, sih, peraturan itu ada di bus Transjakarta. Saya juga paham mengapa aturan itu sampai diadakan. Tentunya untuk ketertiban dan juga kebersihan di kendaraan umum itu sendiri.
            Suatu malam, saya memesan mobil online. Saya menanti di Sevel, alias Seven Eleven. Minimarket tempat nongkrong yang saya hampiri itu sangat dingin. Selain dingin karena pendingin udara, juga karena di luar sedang hujan. Saya kemudian membeli cokelat panas.
            Kemudian saya menanti di luar sambil menikmati cokelat panas itu. Cokelat panas itu ternyata benar-benar panas. Lidah saya rasanya sampai hampir melepuh saat berusaha meminumnya dalam jumlah yang banyak. Saya akhirnya hanya menyesapnya sedikit demi sedikit, sambil menikmati rasanya.
            Belum lagi habis minuman itu, mobil jemputan saya sudah datang. Saya pun kemudian membawa minuman saya itu. Sayang juga kalau harus meninggalkannya sementara isinya masih hampir penuh.
            “Pak, saya sambil minum, ya. Tadi minumannya belum habis,” kata saya meminta izin.
Saat itulah saya baru mengingat-ingat, sebenarnya apakah ada aturan yang melarang untuk makan dan minum dalam mobil yang di-booking secara online. Mungkin itu pula sebabnya mengapa saya sampai meminta izin segala. Pengemudi itu mempersilakan saya untuk minum.
Perjalanan malam itu berlangsung cukup lama. Hujan rintik-rintik membuat perjalanan itu makin lama. Jalanan sangat padat oleh kendaraan, baik roda 2 maupun roda 4. Saya kemudian menunjukkan jalan kecil, sebuah jalan pintas yang sering saya lalui bersama Mocil, mobil kecil saya.
Jalan kecil itu memang sepi dari kendaraan, namun kerap kali penuh oleh orang. Jalan kecil itu adalah jalan menuju pemukiman yang cukup padat. Di ruas jalan ini juga banyak “polisi tidur”. Polisi tidur itu tentunya dibuat supaya kendaraan yang lewat tidak terlalu ngebut.
Jalan pintas itu juga melintasi rel yang sering kali menjadi biang kemacetan dan kekusutan lalu lintas. Saat kendaraan yang saya tumpangi lewat, syukurnya kereta api tidak lewat. Kami dapat lewat dengan leluasa. Akibatnya pengemudi mobil itu tancap gas sehingga kendaraan yang dikemudikannya melonjak saat menyentuh rel. Lonjakan itu cukup keras sampai-sampai minuman yang saya pegang pun terjatuh dan…tumpah.
Saya menjerit keras saat minuman panas itu menimpa kaki saya. Tanpa sadar saya menendangnya. Akibatnya gelas berbahan kertas itu tambah terguling. Isinya tertumpah sampai habis tak bersisa lagi. Setelah menyadari apa yang terjadi, saya meminta maaf kepada pengemudi itu karena telah mengotori mobilnya. Saya sungguh-sungguh berasa bersalah.
Setelah itu, saya sibuk mencoba membersihkan tumpahan itu. Iya benar, mencoba. Apa yang saya lakukan itu sudah pasti tidak dapat membersihkan mobil itu secara tuntas, hanya bis amengurangi sedikit genangan.
Mungkin pengemudi itu kesal karena mobilnya menjadi kotor, namun dia tidak menunjukkannya. Ia tetap mengemudi dengan baik. Bahkan jalannya kendaraan jauh lebih nyaman dibandingkan sebelum peristiwa tumpahnya cokelat panas itu. Saya makin merasa bersalah lagi dibuatnya. Saya kemudian bertekad untuk menambahkan biaya untuk membersihkan mobilnya.
Saat turun dari kendaraan, saya menyodorkan uang tunai kepada pengemudi itu walaupun dalam sistem saya membayarnya dengan menggunakan kartu. Pengemudi itu mendadak tersenyum cerah, apalagi saat saya katakan tidak perlu mengembalikan. Saya juga tersenyum cerah karena merasa telah menebus rasa bersalah karena menumpahkan cokelat panas. {ST}

Popular Posts

Isi blog ini