Ana

Jumat, 20 Januari 2017

Berkunjung ke Rumah Perempuan Toraja yang Mengagumkan





            Saat berada di Tana Toraja, saya bertemu dengan seorang perempuan yang membuat saya kagum. Perempuan ini, kalau diukur menurut standard kecantikan umum, bukanlah perempuan yang cantik. Wajahnya yang sudah tak muda lagi itu dihiasi oleh kerutan. Kakinya terlihat kekar.
Pada saat pertama kali bertemu, perempuan itu membawa aneka hasil kebun. Hasil kebun berupa sayuran dan buah-buahan itu dibawa menggunakan keranjang untuk dijual di Kota Makale, ibu kota Kabupaten Tana Toraja. Saat itu kami hanya bertukar senyum.
Beberapa jam kemudian, kami bertemu lagi. Saya masih berkeliaran dengan kamera saya untuk memotret hal-hal menarik. Saya juga masih penasaran memburu potret tedong, hewan khas kebanggaan masyarakat Toraja. Ibu itu sudah tidak lagi membawa hasil kebunnya. Sepertinya dagangannya sudah laku.
Kali ini kami tidak hanya bertukar senyum. Kami juga bertegur sapa. Dari obrolan basa-basi itu, akhirnya saya memutuskan untuk berjalan mengiringi ibu itu. Kebetulan arahnya sama dengan arah tongkonan tempat saya menginap. Seperti sudah saya duga, ia juga mengenal pemilik tongkonan tempat saya menginap. Seluruh penghuni kampung itu pada umumnya masih berkerabat.
“Ayo main ke rumah,” ajaknya.
“Boleh juga. Rumahnya di mana?” sambut saya.
“Tidak jauh dari tongkonan tempat kamu menginap,” jawabnya.
Mendengar hal itu, saya jadi bersemangat untuk ikut dengannya. Secuplik kisahnya yang saya dengar sebelumnya cukup menarik, membuat saya betah berlama-lama mendengarnya. Apalagi mendengar rumahnya dekat dengan tongkonan tempat saya menginap.
Kami berjalan beriringan sambil mengobrol. Perjalanan yang semula tidak terasa, makin lama makin terasa berat apalagi saat jalan menanjak. Terik matahari siang itu menambah berat perjalanan. Dalam perjalanan itu, si ibu berkali-kali mengatakan kalau tempat tinggalnya itu gubuk, bukan rumah. Ceritanya itu membuat saya makin penasaran. Terbayang di benak saya, gubuk kecil di tengah kebun durian yang pernah saya datangi waktu kecil dulu.
“Rumahnya di mana, Bu? Katanya dekat,” ucap saya saat mulai merasa lelah.
“Dekat, kok. Tinggal 2 rumah lagi,” jawabnya santai.
Sejenak saya agak terhibur mendengarnya. Benar-benar sejenak. Setelah itu saya kembali sadar bahwa jarak antar rumah di tempat ini cukup jauh. Atau dapat dikatakan sangat jauh kalau dibandingkan dengan jarak rumah di Jakarta. Entah berapakah jarak yang dimaksud dengan “2 rumah lagi” itu.
Perjalanan itu akhirnya berhenti di sebuah rumah kayu berbentuk panggung. Ibu itu mencuci kakinya di ember yang sudah disediakan di depan rumah. Setelah itu dia mengajak saya masuk ke rumahnya. Rumah itu jauh lebih mewah dibandingkan gubuk yang saya bayangkan. Rumah itu besar dan sejuk. Ada banyak ruang di dalam rumah itu. Ada ruang tamu, dapur, ruang nonton TV, dan beberapa kamar tidur.  
Saya mendapat suguhan teh hangat yang disajikan dalam cangkir. Sambil minum the, ibu itu bercerita banyak tentang keluarganya, tentang sejarah hidupnya, dan juga tentang harapannya. Sementara saya mendengarkan dengan seksama. Kemudian saya menanyakan nama ibu itu. Tak disangka, dia menolak memberi tahu namanya karena katanya di Toraja, hal itu adalah sesuatu yang tidak sopan. Saya yang tidak tahu tentang adat istiadat itu harus meminta maaf karena menanyakan namanya.
“Terus kalau saya mau memanggil atau menyapa bagaimana?” tanya saya.
“Panggil saja saya Nenek C***,” jawabnya.
Saat itu saya baru paham. Di beberapa suku di Indonesia, memang ada adat untuk memanggil orang berdasarkan nama keturunannya. Suku Dayak dan Batak juga begitu. Seorang bapak atau ibu dipanggil berdasarkan nama anak pertamanya. Demikian juga saat memiliki cucu.
Saya juga baru paham mengapa dia menganggap rumahnya yang saya anggap cukup bagus itu sebagai gubuk. Itu karena bentuknya bukan tongkonan. Rumah itu adalah rumah  panggung biasa, untuk tempat tinggal orang biasa. Begitu katanya.
Saat teh panas itu sudah habis saya minum, saya memberanikan diri untuk meminta air putih. Setelah perjalanan jauh menuju ke rumah itu, saya sangat memerlukan air minum supaya tidak dehidrasi. Secangkir kecil tah panas tidak cukup.
Ibu itu mengajak saya ke dapurnya. Ia memberikan air putih yang saya minta. Tidak hanya itu, ia juga menyediakan minuman segar dari kulkas. Saya boleh minum sepuasnya. Sembari saya minum, ibu itu memanaskan makanan yang dikeluarkannya dari kulkas. Makanan itu didapatnya dari acara beberapa hari yang lalu.
Makanan yang dipanaskannya itu dimasak di dalam bambu, namanya papiyong. Saya sudah penasaran dengan makanan dalam bambu ini beberapa hari sebelumnya. Penawaran makan papiyong dari ibu itu langsung saya sambut dengan gembira tanpa malu-malu. Kami berdua kemudian makan dengan gembira.
Setelah makan, ibu itu kembali bercerita tentang keluarganya, lengkap dengan foto-fotonya. Sampai akhirnya tiba waktunya bagi saya untuk berpamitan. Rasanya saya sudah terlalu lama meninggalkan teman-teman lainnya di tongkonan tempat saya menginap.
Mendengar saya minta diri, ibu itu langsung heboh membongkar kulkasnya. Ia berniat memberikan kepada saya beberapa jenis buah-buahan. Saya menolak dengan halus karena terbayang bagaimana susahnya membawa pemberian itu. Akhirnya saya membawa pepaya dan terong belanda hasil kebun ibu itu.
Ibu itu mengantar saya pulang kembali ke tongkonan tempat saya menginap. Kami berjalan beriringan. Walaupun membawa bawaan yang cukup berat, langkah saya jauh lebih ringan. Kami disambut dengan aneka pertanyaan saat kembali ke tongkonan.
Benar saja, Nenek C masih berkerabat dengan pemilik tongkonan tempat saya menginap. Mereka mengobrol cukup lama. Nenek C berpamitan sore harinya dan mengiringi saya dengan doa. Doa dan harapan yang sama juga saya mohonkan kepata Tuhan untuk Nenek C. Semoga suatu hari nanti kami dapat bertemu lagi. Terima kasih sudah menjadi inspirasi. {ST}

Popular Posts

Isi blog ini