Saat berada di Tana Toraja, saya
bertemu dengan seorang perempuan yang membuat saya kagum. Perempuan ini, kalau
diukur menurut standard kecantikan umum, bukanlah perempuan yang cantik.
Wajahnya yang sudah tak muda lagi itu dihiasi oleh kerutan. Kakinya terlihat
kekar.
Pada
saat pertama kali bertemu, perempuan itu membawa aneka hasil kebun. Hasil kebun
berupa sayuran dan buah-buahan itu dibawa menggunakan keranjang untuk dijual di
Kota Makale, ibu kota Kabupaten Tana Toraja. Saat itu kami hanya bertukar
senyum.
Beberapa
jam kemudian, kami bertemu lagi. Saya masih berkeliaran dengan kamera saya
untuk memotret hal-hal menarik. Saya juga masih penasaran memburu potret
tedong, hewan khas kebanggaan masyarakat Toraja. Ibu itu sudah tidak lagi
membawa hasil kebunnya. Sepertinya dagangannya sudah laku.
Kali
ini kami tidak hanya bertukar senyum. Kami juga bertegur sapa. Dari obrolan
basa-basi itu, akhirnya saya memutuskan untuk berjalan mengiringi ibu itu.
Kebetulan arahnya sama dengan arah tongkonan tempat saya menginap. Seperti
sudah saya duga, ia juga mengenal pemilik tongkonan tempat saya menginap.
Seluruh penghuni kampung itu pada umumnya masih berkerabat.
“Ayo
main ke rumah,” ajaknya.
“Boleh
juga. Rumahnya di mana?” sambut saya.
“Tidak
jauh dari tongkonan tempat kamu menginap,” jawabnya.
Mendengar
hal itu, saya jadi bersemangat untuk ikut dengannya. Secuplik kisahnya yang
saya dengar sebelumnya cukup menarik, membuat saya betah berlama-lama
mendengarnya. Apalagi mendengar rumahnya dekat dengan tongkonan tempat saya
menginap.
Kami
berjalan beriringan sambil mengobrol. Perjalanan yang semula tidak terasa,
makin lama makin terasa berat apalagi saat jalan menanjak. Terik matahari siang
itu menambah berat perjalanan. Dalam perjalanan itu, si ibu berkali-kali
mengatakan kalau tempat tinggalnya itu gubuk, bukan rumah. Ceritanya itu
membuat saya makin penasaran. Terbayang di benak saya, gubuk kecil di tengah
kebun durian yang pernah saya datangi waktu kecil dulu.
“Rumahnya
di mana, Bu? Katanya dekat,” ucap saya saat mulai merasa lelah.
“Dekat,
kok. Tinggal 2 rumah lagi,” jawabnya santai.
Sejenak
saya agak terhibur mendengarnya. Benar-benar sejenak. Setelah itu saya kembali
sadar bahwa jarak antar rumah di tempat ini cukup jauh. Atau dapat dikatakan
sangat jauh kalau dibandingkan dengan jarak rumah di Jakarta. Entah berapakah
jarak yang dimaksud dengan “2 rumah lagi” itu.
Perjalanan
itu akhirnya berhenti di sebuah rumah kayu berbentuk panggung. Ibu itu mencuci
kakinya di ember yang sudah disediakan di depan rumah. Setelah itu dia mengajak
saya masuk ke rumahnya. Rumah itu jauh lebih mewah dibandingkan gubuk yang saya
bayangkan. Rumah itu besar dan sejuk. Ada banyak ruang di dalam rumah itu. Ada
ruang tamu, dapur, ruang nonton TV, dan beberapa kamar tidur.
Saya
mendapat suguhan teh hangat yang disajikan dalam cangkir. Sambil minum the, ibu
itu bercerita banyak tentang keluarganya, tentang sejarah hidupnya, dan juga
tentang harapannya. Sementara saya mendengarkan dengan seksama. Kemudian saya
menanyakan nama ibu itu. Tak disangka, dia menolak memberi tahu namanya karena
katanya di Toraja, hal itu adalah sesuatu yang tidak sopan. Saya yang tidak
tahu tentang adat istiadat itu harus meminta maaf karena menanyakan namanya.
“Terus
kalau saya mau memanggil atau menyapa bagaimana?” tanya saya.
“Panggil
saja saya Nenek C***,” jawabnya.
Saat
itu saya baru paham. Di beberapa suku di Indonesia, memang ada adat untuk
memanggil orang berdasarkan nama keturunannya. Suku Dayak dan Batak juga
begitu. Seorang bapak atau ibu dipanggil berdasarkan nama anak pertamanya.
Demikian juga saat memiliki cucu.
Saya
juga baru paham mengapa dia menganggap rumahnya yang saya anggap cukup bagus
itu sebagai gubuk. Itu karena bentuknya bukan tongkonan. Rumah itu adalah
rumah panggung biasa, untuk tempat
tinggal orang biasa. Begitu katanya.
Saat
teh panas itu sudah habis saya minum, saya memberanikan diri untuk meminta air
putih. Setelah perjalanan jauh menuju ke rumah itu, saya sangat memerlukan air
minum supaya tidak dehidrasi. Secangkir kecil tah panas tidak cukup.
Ibu itu mengajak saya ke dapurnya. Ia memberikan air
putih yang saya minta. Tidak hanya itu, ia juga menyediakan minuman segar dari
kulkas. Saya boleh minum sepuasnya. Sembari saya minum, ibu itu memanaskan
makanan yang dikeluarkannya dari kulkas. Makanan itu didapatnya dari acara
beberapa hari yang lalu.
Makanan yang dipanaskannya itu dimasak di dalam bambu,
namanya papiyong. Saya sudah penasaran dengan makanan dalam bambu ini beberapa
hari sebelumnya. Penawaran makan papiyong dari ibu itu langsung saya sambut
dengan gembira tanpa malu-malu. Kami berdua kemudian makan dengan gembira.
Setelah makan, ibu itu kembali bercerita tentang
keluarganya, lengkap dengan foto-fotonya. Sampai akhirnya tiba waktunya bagi
saya untuk berpamitan. Rasanya saya sudah terlalu lama meninggalkan teman-teman
lainnya di tongkonan tempat saya menginap.
Mendengar saya minta diri, ibu itu langsung heboh
membongkar kulkasnya. Ia berniat memberikan kepada saya beberapa jenis
buah-buahan. Saya menolak dengan halus karena terbayang bagaimana susahnya
membawa pemberian itu. Akhirnya saya membawa pepaya dan terong belanda hasil
kebun ibu itu.
Ibu itu mengantar saya pulang kembali ke tongkonan
tempat saya menginap. Kami berjalan beriringan. Walaupun membawa bawaan yang
cukup berat, langkah saya jauh lebih ringan. Kami disambut dengan aneka
pertanyaan saat kembali ke tongkonan.
Benar saja, Nenek C masih berkerabat dengan pemilik
tongkonan tempat saya menginap. Mereka mengobrol cukup lama. Nenek C berpamitan
sore harinya dan mengiringi saya dengan doa. Doa dan harapan yang sama juga
saya mohonkan kepata Tuhan untuk Nenek C. Semoga suatu hari nanti kami dapat
bertemu lagi. Terima kasih sudah menjadi inspirasi. {ST}