Ana

Sabtu, 24 Desember 2016

Topi Santa Bukan Atribut Kristen




            Saat bulan Desember datang, di mana-mana terlihat atribut “Natal” seperti topi Santa Klaus (Sinterlas), salju, pohon natal, rusa kutub, kado, dan Piet hitam (temannya Santa Klaus). Atribut seperti ini biasanya ada di tempat-tempat komersial dan juga di rumah-rumah. Kadang-kadang, ada juga yang menggunakannya di tempat ibadah Kristen.
            Akhir-akhir ini makin santer penolakan orang untuk menggunakan atribut “Natal” karena disangka sebagai atribut agama tertentu. Bahkan ada ormas yang merasa berhak untuk melakukan razia. Syukurnya kelakuan ormas yang keterlaluan ini segera ditertibkan oleh polisi.
            Ada alasan tertentu mengapa saya menuliskan “Natal” dengan tanda kutip. Atribut “Natal” yang dinyatakan haram oleh beberapa kalangan itu sebenarnya bukanlah atribut Natal yang sebenarnya. Atribut-atribut yang digunakan itu hanyalah semacam tradisi, terutama di dunia barat dalam menyambut Natal. Natalnya sendiri, yang dicatat dalam Alkitab, sangatlah sederhana. Sangat jauh dari kemeriahan Natal selama bertahun-tahun ini.
            Atribut dan tradisi Natal itu terbentuk selama ratusan bahkan ribuan tahun. Lama-lama atribut itu menjadi semacam identitas menjelang datangnya Natal. Istilah kerennya akulturasi alias percampuran budaya. “Natal” bahkan menjadi musim tersendiri. Wajar saja kalau banyak orang yang mengidentikkan atribut itu dengan Natal. Orang-orang beragama Kristen yang merayakan Natal saja banyak yang mengira demikian, apalagi yang agama dan kepercayaannya berbeda.
            Razia atau sweeping yang diadakah oleh ormas memancing emosi banyak orang. Kebanyakan teman-teman saya yang sesama Kristen bereaksi cukup keras karena merasa ini adalah perlakuan diskrimininasi. Mereka merasa kebebasan beragamanya terancam. Beberapa yang lain mengecam karena sebenarnya tidak semua orang keberatan menggunakan atribut itu. Razia oleh pihak yang tak berwenang adalah sesuatu yang ilegal. Saya juga turut mengecam tindakan razia oleh ormas yang tidak mau saya sebutkan (tuliskan) namanya itu. Bukan karena saya takut, lo. Tetapi karena saya tidak mau nama ormas itu mengisi blog saya ini. Namun, saya dapat memahami kalau sampai ada yang keberatan menggunakan atribut “Natal” itu.
            Penolakan terhadap atribut “Natal” itu sebenarnya sudah lama. Hanya saja akhir-akhir ini bertambah santer karena adanya media sosial dan seseorang yang diduga menista agama. Perbedaan agama menjadi bertambah runcing dan dianggap persoalan. Padahal bila kita memandangnya dari sudut lain, perbedaan itu bukanlah persoalan sama sekali.
            Beberapa tahun yang lalu, saat bekerja di sebuah perusahaan retail, saya pernah mengepalai sebuah tim kecil. Tim kami bertugas di sebuah toko swalayan yang saat menjelang Natal diminta menggunakan topi santa. Saya tahu beberapa anggota tim saya ada yang keberatan, namun mereka enggan mengungkapkannya. Saya yang biasanya tidak terlalu peka itu kali itu dapat menangkap ketidaksukaan beberapa orang itu lewat raut wajah mereka yang cemberut saat mengenakan topi. Penampilan mereka enggak matching sama sekali dengan Sinterklas yang biasanya selalu tampil ceria penuh tawa ho ho ho.
Akhirnya saya memutuskan kami semua, satu tim, tidak menggunakan topi santa. Mereka yang tadinya cemberut itu langsung tersenyum lega. Saat itu saya dapat memahami kalau mereka sampai keberatan. Tentunya mereka mengira kalau menggunakan atribut itu maka akan menjadi kekristen-kristenan. Walaupun punya kesempatan untuk menjelaskan kalau memakai topi santa itu tidak akan membuat orang menjadi mendadak Kristen, saya tidak melakukannya. Saya memilih lebih baik menjaga kekompakan. Seluruh tim tidak perlu menggunakan topi santa, termasuk saya. Saya lebih memilih senyum tulus tanpa topi daripada melihat “santa” yang cemberut.
Saat kasus topi santa muncul belakangan ini, saya jadi teringat lagi tentang hal itu. Saya membagikan kisah ini kepada beberapa teman. Entah bagaimana tanggapan mereka. Saya juga menambahkan informasi yang sebenarnya mereka sudah tahu, topi santa itu bukan atribut Kristen. Topi santa, tanduk rusa, salju, dll, itu tidak ada dalam cerita kelahiran Yesus Kristus yang tercatat di Alkitab. Dengan demikian, menurut saya, ada atau tidaknya topi santa sebenarnya tidak terlalu penting. Keberadaannya hanya sebagai aksesori.
Anehnya, ada yang mengira saya mendukung adanya razia topi santa. Saya hanya mengernyitkan muka mendengarnya. Saya malas menanggapinya, sepertinya dia juga sedang malas menggunakan otaknya. Kalaupun dilanjutkan obrolannya, tetap saja bakalan buntu hasilnya. Buang-buang waktu saja. Saya tidak mendukung razia oleh ormas itu. Mereka tidak berhak melakukannya. Di mata saya, itu adalah pelanggaran hak asasi manusia.
Walaupun menurut saya topi santa dan atribut lainnya tidak penting-penting amat dalam perayaan Natal, bukan berarti saya keberatan menggunakannya. Saya tetap menggunakan topi santa saat caroling di depan gereja. Bagi saya topi santa semacam aksesoris yang gunanya untuk meramaikan suasana. {ST}

Popular Posts

Isi blog ini