Ana

Jumat, 17 April 2020

Menginap di Rumah Tongkonan





            Menginjak Tana Toraja merupakan sebuah kebahagiaan tersendiri. Saya memang sudah lama ingin ke Tana Toraja dan melihat budayanya yang unik. Salah satu yang membuat saya kagum adalah rumah tongkonannya yang indah.

            Pada kunjungan kali ini, saya mendapat kesempatan berkunjung ke Lembang Lea. Lembang di Toraja artinya desa. Lembang Lea artinya Desa Lea. Desa kecil yang terletak di pegunungan ini letaknya tak jauh dari Kota Makale, ibu kota Kabupaten Tana Toraja

            Kunjungan ke Lembang Lea itu artinya juga berkunjung ke rumah tongkonan. Saya bahkan mendapat kesempatan untuk menginap di dalam rumah tongkonan. Senang sekali rasanya.


            Setiap rumah tongkonan memiliki pakem yang sama. Rumah panggung berbahan kayu itu terdiri dari 3 ruangan, yaitu bagian depan, tengah, dan belakang. Semua rumah tongkonan menghadap ke utara. Di bagian depannya ada lumbung untuk menyimpan hasil panen dan bahan makanan. Bagian luar rumah itu dihiasi dengan ukiran khas Toraja.

Beberapa tongkonan di bagian depannya dihiasi dengan tanduk kerbau. Tanduk kerbau ini adalah tanda bahwa penghuni tongkonan itu pernah mengadakan upacara kematian di mana kerbau itu dijadikan korbannya.

Tongkonan tempat saya menginap itu terletak di pegunungan berhawa sejuk. Saya menduga malamnya akan dingin sekali. Saya sudah menyediakan perlengkapan penghangat tubuh seperti jaket, syal, kaos kaki, dan juga kain-kain yang rencananya saya gunakan sebagai cadangan selimut.
Bagian dalam rumah tongkonan

“Bermalam di rumah tongkonan itu hangat,” kata seorang penghuni tongkonan.

Saya tidak percaya mendengarnya. Tentu saja dia merasa hangat karena dia sudah terbiasa tinggal di situ. Bagi saya belum tentu. Ketidakpercayaan saya bertambah karena siang hari di tempat itu sudah terasa sejuk, apalagi saat malam.

Saya pun kemudian pergi tidur dengan perlengkapan “musim dingin”. Hanya beberapa menit setelah merebahkan badan di kamar tengah tongkonan, saya merasa gelisah. Saya gelisah karena kegerahan. Tak lama kemudian, perlengkapan “musim dingin” saya sudah teronggok di ujung tempat tidur. Saya hanya mengenakan pakaian tidur yang biasa saya kenakan. Ternyata melewatkan malam di dalam tongkonan tidak sedingin yang saya kira.

Esoknya, saya terbangun dengan segar. Tidak demikian dengan teman-teman saya yang bermalam di rumah beratap seng. Mereka kedinginan dan tidak bisa tidur semalaman. Apalagi ditambah dengan kucing-kucing yang berjalan-jalan di atas atap.

Menurut orang-orang Toraja yang tinggal di situ, bagian dalam tongkonan memang hangat di saat malam, dan adem di saat siang. Itu karena terbuat dari bahan kayu. Rumah beratap bambu bahkan lebih adem lagi di siang hari. Itu membuat tongkonan menjadi lebih berharga dibandingkan dengan rumah biasa. {ST}


Baca juga:



Popular Posts

Isi blog ini