Ana

Senin, 14 November 2016

Pengemudi Pensiuan Tentara




            Pagi itu saya agak kesal pada pengemudi mobil yang saya pesan via Grab. Aplikasi yang ada di telepon genggam saya itu menunjukkan bahwa mobil pesanan saya sudah datang. Saya pun terbirit-birit lari keluar rumah. Namun mobil itu tidak ada di depan rumah. Mobil itu bahkan tidak berada di jalan rumah saya.
            Setelah melihat lagi ke layar telepon genggam, ternyata mobil itu bergerak menjauh. Saya pun segera menelepon pengemudinya. Mobil pesanan saya itu nyasar. Setelah memberikan beberapa petunjuk jalan, saya menunggu lagi namun tetap saja mobil itu tak kunjung datang.
Yang membuat saya kesal karena pengemudi itu sudah klik “arrived”. Artinya secara sistem ia sudah tiba di tempat pemesanan dan penumpang sudah bersamanya. Itu artinya saya harus membayar transaksinya bila mau membatalkan. Saya tidak rela membuang uang saya untuk itu.
            Saat itu saya berencana untuk melayat ibu teman saya sebelum ke kantor. Jenazah ibu itu disemayamkan di Rumah Duka Gatot Subroto. Rencana itu akan membuat saya sedikit terlambat untuk ke kantor. Saya mengambil risiko itu karena hari itu juga adalah hari pemakaman ibu teman saya itu. Saya menyempatkan diri untuk dapat hadir walaupun sebentar.
            Saya kembali menelepon pengemudi mobil itu. Sekali lagi saya memberikan petunjuk jalan untuk sampai di rumah saya. Petunjuk jalan itu saya sampaikan dengan sejelas-jelasnya supaya dia tak perlu lagi bertanya atau membuat aplikasi GPS. “Jelas” itu sepertinya menurut saya karena nyatanya sang pengemudi itu tetap nyasar.
            Setelah 30 menit berlalu, mobil pesanan saya itu tak kunjung tiba. Saya bertekad untuk meneleponnya satu kali lagi saja. Saya akan komplain ke orang tersebut, dan juga ke perusahaannya. Setelah itu saya akan mencari jalan lain untuk pergi. Lebih baik kehilangan uang daripada kehilangan waktu. Sayang sekali rasanya membuang waktu yang sangat berharga.
            Saya langsung mengomel sesaat setelah telepon tersambung. Bapak itu awalnya juga berargumen, namun akhirnya dia meminta maaf. Saat saya tanyakan lokasinya, ternyata dia sudah berada di jalan rumah saya. Hanya saja dia berada di sisi yang salah. Saya pun akhirnya mengalah. Saya tetap akan menggunakan jasanya.
            Saat duduk di kursi belakang, saya dapat melihat rambut bapak itu yang berwarna keperakan. Ia sudah tak lagi muda. Saya pikir dia belum setua itu. Paling tidak foto tampak depannya tidak tua-tua amat. Saya tetap menyampaikan keluhan saya, terutama karena dia sudah klik seenaknya.
            “Siap!” jawabnya saat saya mengulang kembali menyampaikan tempat tujuan saya.
            Dalam perjalanan itu, dia bercerita bahwa saat itu adalah minggu keduanya “narik”. Dia belum terlalu paham teknologinya. Sebelumnya dia hanya menggunakan pesawat teleponnya untuk telepon dan sms. Dia juga bercerita daripada nganggur setelah pensiun lebih baik jalan-jalan sekalian cari uang tambahan.
            Setelah mendengar ceritanya, saya mengangguk-angguk paham. Pantas saja dia kurang paham teknologinya. Bagi orang-orang generasi bapak itu, memahami teknologi saat ini memang perlu perjuangan khusus. Perubahan gaya komunikasi via teknologi itu bukanlah hal yang mudah dipelajari apalagi dilakukan dalam waktu kurang dari 2 minggu.
            “Bapak tahu, kan, tempatnya?” tanya saya lagi saat mobil yang kami tumpangi terkena macet.
            “Tahu, lah. Saya pensiunan tentara,” jawabnya.
            Rumah duka yang akan kami datangi itu adalah bagian dari RSPAD Gatot Subroto. Sebagai tentara tentu saja bapak itu tahu. Mungkin dia juga pernah mendapatkan pelayanan kesehatan dari RS itu. Benar saja, Bapak itu membawa mobilnya memasuki pintu gerbang ke rumah duka.
            “Stop! Rumah dukanya yang itu,” kata saya ketika mobil itu tetap melaju ke arah yang salah.
            “Maaf, saya kira yang di sana. Teman saya pernah di sana,” ujar bapak itu.
            Arah yang ditunjuk oleh bapak itu adalah kamar jenazah. Saya tahu karena seorang kerabat saya yang meninggal pernah juga menjadi penghuni sementara kamar jenazah itu.
            “Ooo… Itu kamar jenazah, Pak. Kalau ini rumah duka, yang tempat didatangi oleh orang-orang itu, lo,” sahut saya.
            Bapak itu sudah bersiap-siap untuk memutar kendaraannya menuju ke rumah duka yang saya maksud tetapi saya menghentikannya. Saya memilih untuk turun dari kendaraan di situ saja. Bapak itu berkali-kali meminta maaf karena tidak sesuai harapan. Saya mengiyakannya. Sebenarnya saya sudah memaafkannya saat melihat rambut ubanannya yang keperakan. Saya juga tidak jadi mengajukan komplain ke perusahaannya. {ST}

Popular Posts

Isi blog ini