Ana

Rabu, 16 November 2016

Pendeta yang Berkhotbah untuk Anak Kecil




            Saya agak terkejut mendengar perkataan seorang pendeta. Perkataan itu disampaikan dalam sebuah forum yang dihadiri oleh jemaat-jemaat GKI. Saya menjadi salah satu utusannya.
            “Bayangkan, masa pendeta juga harus berkhotbah untuk anak kecil?” tanyanya sambil tertawa.
            Saya sempat bengong terdiam mendengarnya, sambil berusaha mendengar lanjutannya. Dia sebenarnya bercanda atau serius, ya? Setelah itu sang pendeta bercerita tentang tantangan berbicara dengan anak kecil. Kesan yang tertangkap oleh saya, pendeta itu menganggap anak-anak kecil tidak cukup penting untuk mendengarkan khotbahnya. Selain itu dia juga mengungkapkan tantangan bahwa tidak mudah untuk dapat berbicara suatu hal yang dapat dimengerti oleh anak kecil.
           
Saya tahu memang tidak mudah berbicara dan dapat dimengerti oleh anak-anak. Berbicaranya, sih, memang mudah. Dapat dimengerti itulah yang menjadi tantangan sendiri. Saya juga kerap merasakannya pada saat berhadapapan dengan anak kecil maupun saat menulis artikel yang pembacanya adalah anak-anak kecil.
Saya berusaha untuk konsentrasi ke acara selanjutnya, namun pikiran itu mengganggu saya. Saya menjadi gelisah mendengarnya. Apa salahnya pendeta berkhotbah pada anak-anak? Anak-anak itu, kan, jemaat Tuhan juga. Yesus Kristus pun memberi tempat khusus untuk anak-anak. Dalam Alkitab ada tertulis bahwa Yesus memarahi murid-murid yang menghalangi anak-anak untuk datang. Yesus bahkan sering digambarkan sebagai pria gondrong berwajah ramah (dan ganteng) yang dikelilingi oleh anak-anak kecil. Cerita itu menjadi inspirasi dalam kehidupan saya. Saya tumbuh menjadi orang yang suka pada anak-anak kecil. Saya bahkan menjadi penulis cerita anak.
Saya jadi berprasangka pada pendeta ini. Jangan-jangan ia hanya mau berkhotbah di depan orang dewasa. Orang dewasa tentunya lebih dapat mengontrol diri saat mendengar khotbah. Bagaimana pun bosannya, mereka tidak akan berteriak ataupun lari dari tempatnya. Kalaupun ngabur, pasti dalam keheningan. Diam-diam melangkah keluar sambil mengendap-endap. Berbeda dengan anak kecil yang hanya dapat bertahan duduk manis selama beberapa menit. Anak-anak akan mulai berkeliaran tanpa aturan saat rasa bosan datang.
Sebagai sesama manusia, saya dapat memahami kalau pendeta itu lebih memilih berkhotbah di depan orang dewasa. Pendeta juga manusia, kan? Namun identitasnya sebagai pendeta Kristen membuat saya agak terganggu. Kristen artinya pengikut Kristus, dan Kristus tidak begitu. Dia menyambut anak-anak kecil dan menerima mereka untuk tetap dekat pada-Nya. Berbicara atau berkhotbah pada anak-anak itu bukanlah sesuatu yang dapat dipilih. Itu bukan pilihan. Itu adalah kewajiban. {ST}

Popular Posts

Isi blog ini