Ana

Selasa, 29 November 2016

Papan Lagu di Gereja






            Beberapa bangunan gereja dilengkapi dengan papan lagu. Papan yang umumnya terbuat dari kayu  itu sekilas bentuknya mirip papan untuk mencuci pakaian. Papan ini digunakan bersama dengan papan-papan kecil yang bertulisan huruf dan angka.

            Papan-papan kecil bertulisan huruf dan angka itu dipasang di alur-alur papan yang bentuknya seperti papan pencuci pakaian itu. Gunanya untuk menunjukkan lagu dan bacaan Alkitab yang akan digunakan pada hari itu.
            Gereja tempat saya berbakti, GKI Kwitang, juga memiliki papan seperti itu. Papan itu sekarang sudah tidak digunakan lagi. Gereja kami telah beralih menggunakan proyektor. Sebagian lainnya menggunakan kertas liturgi. Papan itu sekarang menjadi hiasan dan juga kenangan. {ST}

Minggu, 27 November 2016

Duduk Paling Belakang di Bus Transjakarta





            Saya cukup menikmati duduk di tempat paling belakang di bus Transjakarta. Beberapa tahun yang lalu, saat bus ini belum lama beroperasi, saya selalu memilih duduk di pang belakang. Dari tempat duduk paling belakang itu kita bisa melihat ke depan dan juga ke kiri kanan. Posisi bus yang jauh lebih tinggi dari badan jalan membuat saya dapat melihat pemandangan berbeda.
            Duduk di paling belakang sudah tak pernah saya lakukan lagi selama beberapa tahun ini. Saya lebih sering menggunakan kendaraan pribadi. Selain itu, saya biasanya memilih tempat di area perempuan saat harus naik bua Transjakarta. Area perempuan ada di bagian depan.
            Suatu malam, saya naik bus yang sepi penumpangnya. Saya memilih duduk di paling belakang. Saya senang sekali mendapatkan kesempatan seperti ini lagi. Saya hanya sebentar duduk di tempat itu karena tak lama kemudian sudah sampai di tempat tujuan. Saya sempat memotretnya walaupun hasilnya tidak memuaskan. {ST}

Jumat, 25 November 2016

Helm Anak Kecil




            Seorang anak perempuan yang mengenakan helm berjalan di depan saya. Helmnya bergambar Hello Kitty. Helm yang dikenakannya itu serasi dengan pakaiannya yang didominasi warna pink. Anak itu tersenyum sopan ketika berjalan melewati saya. Saya pun membalas senyumannya. Senyuman saya itu tidak hanya sekedar sopan santun. Itu adalah senyuman penuh syukur.
            Beberapa tahun yang lalu, saat bertugas sebagai buyer, saya pernah membeli helm kecil untuk anak kecil. Helm itu untuk dijual kembali di perusahaan retail tempat saya bekerja. Menurut analisis saya saat itu, helm kecil itu akan laku keras karena pertumbuhan sepeda motor yang sangat pesat. Saya membeli 2 macam helm. Ada helm yang bahannya seperti helm proyek, yang satunya lagi seperti helm pengguna sepeda motor pada umumnya. Harga untuk kedua jenis helm ini terpaut cukup jauh. Tentunya karena bahannya yang berbeda.
            Helm kecil yang bahannya seperti helm proyek sebenarnya tidak layak menjadi pelindung kepala pengguna sepeda motor. Helm itu akan mudah retak dan pecah bila menerima tekanan. Namun helm ini laku keras. Kemungkinan karena harganya yang murah.
            Dalam perkembangannya, helm murah ini menjadi top ranking penjualan sehingga keberadaannya di toko selalu dipertahankan. Berbeda nasibnya dengan helm bermutu tinggi yang harganya cukup mahal. Helm itu menjadi barang slow moving. Makin lama keberadaannya di toko makin berkurang bahkan menghilang.
            Dari data dan pengalaman, saya tahu bahwa harga yang murah itu menarik bagi kebanyakan orang. Namun saya tidak rela karena harga murah yang belum tentu aman itu akan digunakan oleh anak-anak. Bukankah banyak juga orang tua yang mau mengeluarkan biaya mahal untuk anaknya?
            “Buat anak-anak yang murah-murah aja. Syukur-syukur dipakein helm,” jawab seorang pembeli yang kebetulan saya temui di toko.
            Saya tahu memang cukup banyak orang Indonesia yang belum sadar akan guna helm. Mereka menggunakan helm hanya supaya tidak ditangkap polisi, bukan untuk melindungi diri. Komentar seperti itu dapat mencerminkan kalau helm hanya digunakan sebagai formalitas saja. Syukur-syukur dipakein helm.
            Saat ini, sudah cukup banyak orang tua yang sadar akan keselamatan anaknya. Mereka membelikan helm yang memang layak untuk menjaga keamanan, bukan hanya formalitas. Patut disyukuri juga sekarang makin banyak pilihan helm yang cocok untuk anak-anak. Helm bernuansa pink yang dipakai anak itu salah satunya.
            Saya masih berdiri di tempat itu selama beberapa saat. Selain anak berhelm pink, ada beberapa anak lain juga yang mengenakan helm. Ada helm yang polos, ada juga yang berkarakter. Sepertinya karakter yang ada di helm itu sesuai dengan selera si anak penggunanya.
            Saya juga bersyukur karena anak-anak kecil itu sudah mengenal keselamatan di jalan sejak kecil. Jika kesadaran itu sudah ditumbuhkan sejak kecil, makan akan terbawa sampai saat mereka dewasa. Mereka dengan sadar menggunakan helm untuk melindungi kepala mereka yang berharga. {ST}

Rabu, 23 November 2016

Ikan Asin Jambal




            Ikan asin jambal adalah ikan asin berdaging tebal. Ikan asin jenis ini dikenal juga dengan nama jambal roti karena bentuknya yang tebal seperti roti. Rasanya, sih, berbeda jauh dengan roti. Biasanya daging ikan ini disajikan tanpa tulang.
            Ikan asin jambal dapat dikatakan sebagai bintangnya ikan asin. Biasanya harga jualnya lebih dimahal dibandingkan dengan ikan-ikan lain yang diasinkan. Di kalangan ikan asin jambal pun, ada tingkatannya lagi. Tingkatan tertinggi diduduki oleh ikan asin berdaging empuk.
            Selama bertahun-tahun ini saya mengira bahwa ada ikan bernama jambal yang kemudian dagingnya dikeringkan menjadi ikan asin. Ternyata bukan demikian. Jambal itu adalah sebutan untuk ikan asin berdaging tebal itu. Dari informasi yang saya dapatkan di internet, ada beberapa jenis ikan yang dagingnya dapat diolah menjadi ikan asin jambal, antara lain ikan manyung dan kadukang. Saya belum pernah melihat kedua jenis ikan ini dalam keadaan hidup.
            Saya cukup suka memakan ikan asin jambal, baik digoreng maupun diolah menjadi masakan lainnya. Hmmm…. Sebenarnya saya suka segala macam ikan asin, sih. {ST}

Selasa, 22 November 2016

Pemadam Kebakaran di Jalur Busway




            Biasanya saya membaca saat berkendara menggunakan bus Transjakarta. Kali itu saya menjadi pengamat sekitar. Demikian pula para penumpang yang lain. Perhatian kami beralih kepada kendaraan pemadam kebakaran yang mengeluarkan bunyi nyaring.
            Suara sirene itu menandakan bahwa mereka harus bergegas untuk tiba ke lokasi kebakaran. Itu adalah tantangan tersendiri di jalanan Jakarta yang padat ini. Satu-satunya jalan yang relatif sepi adalah jalur busway.
            Rombongan kendaraan berwarna merah itu rupanya memang berencana untuk menggunakan jalur busway. Mereka memberi tanda akan mengambil jalur ke kanan. Itu artinya di depan bus yang saya tumpangi.
            Pengemudi bus yang saya tumpangi itu kemudian menghentikan kendaraan yang dikemudikannya sehingga ada cukup ruang untuk pemadam kebakaran itu untuk lewat.
            “Kita harus membantu. Kasih jalan,” ujar Pak Supir yang sedang bekerja itu. Suaranya tegas.
            Saya mengangguk-angguk sendiri saat mendengar ucapannya. Demikian pula ibu-ibu yang berada di sekitar saya. Saat itu entah mengapa saya merasa sedikit terharu. Sepertinya rasa kemanusiaan kami semua agak terusik saat ada manusia lain yang tertimpa bencana. {ST}

Popular Posts

Isi blog ini