Ana

Rabu, 12 Oktober 2016

Karya Tulis Anak Dayak Pedalaman




            Setiap tahun selalu ada Konferensi Anak Indonesia. Acara ini diadakan oleh majalah Bobo, media anak tempat saya numpang berkarya. Anak-anak yang ingin mengikuti konferensi ini harus mengirimkan karya tulis sesuai dengan tema yang telah ditentukan. Tahun 2016 ini, temanya adalah Aku dan Jendela Dunia. Jendela dunia yang dimaksud adalah buku.
            Saat catatan ini saya buat, sudah cukup banyak karya tulis yang dikirimkan. Saya dan teman-teman yang bertugas sebagai juri sudah mulai memilih karya-karya itu. Karya tulis yang memenuhi syarat dibaca satu per satu untuk kemudian dipilih yang terbaik. Saya sangat senang karena ada cukup banyak karya tulis dari Kalimantan, pulau besar tempat saya dilahirkan.
            Sayalah yang pertama kali membaca karya-karya tulis anak-anak Kalimantan itu. Kebanyakan memang belum memenuhi syarat untuk dapat dipilih menjadi delegasi. Biasanya, karya-karya seperti ini hanya saya baca dengan cepat. Namun, kali ini saya membacanya dengan cukup cermat.
            Salah satu karya tulis yang membekas di hati saya adalah yang ditulis oleh seorang anak Dayak Meratus. Ia menyebut dirinya sebagai anak Dayak pedalaman. Di desa tempat tinggalnya belum ada listrik. Dia hanya bisa membaca di siang hari saat ada sinar matahari. Saat malam tiba, mereka menggunakan lampu minyak sebagai penerangan. Sekolah tempatnya belajar pun sangat sederhana.
            Dalam karya singkatnya itu, dia bercerita tentang bacaan yang membuatnya terkesan. Bacaan itu adalah sebuah majalah anak yang salah satu rubriknya adalah Potret Negeriku. Seorang guru membawakan majalah itu ke desa tempat tinggalnya. Rubrik Potret Negeriku ini menampilkan keindahan Indonesia. Tidak hanya berupa tulisan. Rubrik ini dilengkapi dengan foto-foto keren hasil jepretan fotografer handal. Rubrik ini menginspirasi anak itu. Anak lelaki itu memiliki impian untuk melihat langsung keindahan Indonesia, bahkan dunia. Dia juga ingin melihat kota besar seperti Jakarta.
            Impiannya itu luar biasa namun juga sekaligus biasa saja. Banyak orang yang memiliki impian yang demikian termasuk saya. Yang membuat impiannya terasa spesial adalah berulang kali dia menyebut dirinya orang pedalaman. “Walaupun hanya seorang anak Dayak pedalaman…” tertulis berkali-kali dalam karyanya. Seakan-akan dia merendahkan dirinya sendiri. Seakan-akan dia rendah diri karena menjadi orang Dayak pedalaman yang tinggal di sebuah desa yang belum ada listriknya.
             Karya tulisnya yang sangat sederhana itu tidak memenuhi syarat untuk dipilih menjadi delegasi. Namun, karya tulisnya itu cukup lama berada di tangan saya. Tanpa sadar saya menarik ingus padahal saya tidak pilek. Rupanya saya menangis. Entah terharu, entah sedih, yang jelas air mata saya keluar agak terlalu banyak.
            Sepertinya saya merasa senasib dengan anak ini. Senasib, tetapi juga berbeda nasib. Saya juga anak Dayak. Saya juga memiliki impian yang sama, mau melihat keindahan Indonesia dan keliling dunia. Karya tulis saya juga pernah ditolak. Bedanya saya tidak merasa serendah diri itu. Mungkin karena saya dilahirkan di keluarga yang berkecukupan dan tinggal di kota yang ada listriknya sejak kecil.
            Karya tulis yang tidak lolos seleksi itu kemudian ditumpuk dengan karya lainnya. Tumpukannya makin lama makin tebal. Saya juga tidak ingat lagi siapa nama anak itu. Akan tetapi saya akan selaluingat pada impiannya. Semoga saja dia dapat mencapai impiannya. Semoga pula suatu saat nanti kami dapat bertemu sebagai teman dengan impian yang sama. {ST}

Popular Posts

Isi blog ini