Setiap tahun selalu ada
Konferensi Anak Indonesia. Acara ini diadakan oleh majalah Bobo, media anak
tempat saya numpang berkarya. Anak-anak yang ingin mengikuti konferensi ini harus
mengirimkan karya tulis sesuai dengan tema yang telah ditentukan. Tahun 2016
ini, temanya adalah Aku dan Jendela Dunia. Jendela dunia yang dimaksud adalah
buku.
Saat catatan ini saya
buat, sudah cukup banyak karya tulis yang dikirimkan. Saya dan teman-teman yang
bertugas sebagai juri sudah mulai memilih karya-karya itu. Karya tulis yang
memenuhi syarat dibaca satu per satu untuk kemudian dipilih yang terbaik. Saya
sangat senang karena ada cukup banyak karya tulis dari Kalimantan, pulau besar
tempat saya dilahirkan.
Sayalah yang pertama
kali membaca karya-karya tulis anak-anak Kalimantan itu. Kebanyakan memang
belum memenuhi syarat untuk dapat dipilih menjadi delegasi. Biasanya,
karya-karya seperti ini hanya saya baca dengan cepat. Namun, kali ini saya
membacanya dengan cukup cermat.
Salah satu karya tulis
yang membekas di hati saya adalah yang ditulis oleh seorang anak Dayak Meratus.
Ia menyebut dirinya sebagai anak Dayak pedalaman. Di desa tempat tinggalnya
belum ada listrik. Dia hanya bisa membaca di siang hari saat ada sinar
matahari. Saat malam tiba, mereka menggunakan lampu minyak sebagai penerangan.
Sekolah tempatnya belajar pun sangat sederhana.
Dalam karya singkatnya
itu, dia bercerita tentang bacaan yang membuatnya terkesan. Bacaan itu adalah
sebuah majalah anak yang salah satu rubriknya adalah Potret Negeriku. Seorang
guru membawakan majalah itu ke desa tempat tinggalnya. Rubrik Potret Negeriku ini
menampilkan keindahan Indonesia. Tidak hanya berupa tulisan. Rubrik ini
dilengkapi dengan foto-foto keren hasil jepretan fotografer handal. Rubrik ini
menginspirasi anak itu. Anak lelaki itu memiliki impian untuk melihat langsung
keindahan Indonesia, bahkan dunia. Dia juga ingin melihat kota besar seperti
Jakarta.
Impiannya itu luar
biasa namun juga sekaligus biasa saja. Banyak orang yang memiliki impian yang
demikian termasuk saya. Yang membuat impiannya terasa spesial adalah berulang
kali dia menyebut dirinya orang pedalaman. “Walaupun hanya seorang anak Dayak
pedalaman…” tertulis berkali-kali dalam karyanya. Seakan-akan dia merendahkan
dirinya sendiri. Seakan-akan dia rendah diri karena menjadi orang Dayak
pedalaman yang tinggal di sebuah desa yang belum ada listriknya.
Karya tulisnya yang sangat sederhana itu tidak
memenuhi syarat untuk dipilih menjadi delegasi. Namun, karya tulisnya itu cukup
lama berada di tangan saya. Tanpa sadar saya menarik ingus padahal saya tidak
pilek. Rupanya saya menangis. Entah terharu, entah sedih, yang jelas air mata
saya keluar agak terlalu banyak.
Sepertinya saya merasa
senasib dengan anak ini. Senasib, tetapi juga berbeda nasib. Saya juga anak
Dayak. Saya juga memiliki impian yang sama, mau melihat keindahan Indonesia dan
keliling dunia. Karya tulis saya juga pernah ditolak. Bedanya saya tidak merasa
serendah diri itu. Mungkin karena saya dilahirkan di keluarga yang berkecukupan
dan tinggal di kota yang ada listriknya sejak kecil.
Karya tulis yang tidak
lolos seleksi itu kemudian ditumpuk dengan karya lainnya. Tumpukannya makin
lama makin tebal. Saya juga tidak ingat lagi siapa nama anak itu. Akan tetapi
saya akan selaluingat pada impiannya. Semoga saja dia dapat mencapai impiannya.
Semoga pula suatu saat nanti kami dapat bertemu sebagai teman dengan impian
yang sama. {ST}