Ana

Jumat, 07 Oktober 2016

Guci Dalam Budaya Dayak Ngaju




            Guci adalah barang yang cukup penting dalam budaya Dayak Ngaju. Dalam bahasa Dayak, guci dikenal dengan nama balanga atau tajau. Benda yang terbuat dari tanah liat ini menjadi simbol prestise bagi orang Dayak. Hanya keluarga-keluarga yang dianggap terhormat yang memiliki guci di rumahnya.
            Keluarga kami memiliki cukup banyak guci. Guci-guci itu kebanyakan warisan dari para leluhur kami. Ada juga guci yang dibeli oleh Papah. Guci yang dibeli ini bukanlah guci baru, melainkan barang yang sudah kuno juga.
Selain yang menjadi hak dan tanggung jawab keluarga kami, ada beberapa guci titipan. Guci-guci itu milik orang lain yang dititipkan karena rumah orang tersebut tidak terlalu besar. Ada juga yang belum memiliki rumah permanen. Yang jelas, guci-guci itu sekarang menjadi bagian dari rumah kami.
            Guci-guci penghuni rumah itu juga turut mewarnai masa kecil saya. Saya dan saudara-saudara saya pernah bermain petak umpet di dalam guci. Guci itu pula yang menjadi tempat penyimpanan rahasia saya. Walaupun sering bermain di sekitar guci, saya selalu ingat pesan orang tua kami untuk menjaga guci itu jangan sampai pecah.
            Untuk melaksanakan pesan itu, kami hanya bermain dengan guci-guci berukuran besar saja. Guci-guci besar biasanya cukup kuat. Guci-guci ini tidak akan bergeser dari tempatnya kalau tertabrak. Tentunya tidak akan retak  atau pecah juga. Guci-guci kecil tidak berani kami mainkan. Guci-guci kecil ini telah menjadi mas kawin beberapa perempuan yang menjadi leluhur saya.
            Dalam acara adat Dayak Ngaju, guci memiliki peran tersendiri. Pada saat pernikahan, guci menjadi mas kawin. Demikian pula dalam upacara lainnya, guci selalu memiliki peran. Ada yang dihias-hias, ada juga yang menjadi tempat sesajen. Beberapa guci ada yang dianggap keramat. Ada juga yang katanya memiliki penunggu dari alam gaib.
            Cerita tentang alam gaib makin berkembang karena ada mitos bahwa guci itu berasal dari langit. Saya tidak terlalu ingat bagaimana ceritanya. Yang jelas guci itu bukanlah buatan manusia Dayak, tetapi diturunkan dari langit. Itu sebabnya di pemukiman orang Dayak tidak ada yang bekerja membuat guci.
Selama masa pertumbuhan, saya hanya tahu kalau guci adalah barang yang kuno, barang yang sudah tua. Itu karena hampir semua guci yang ada di rumah kami adalah barang kuno. Guci-guci ini kabarnya dibuat oleh nenek moyang kami untuk kemudian diwariskan turun-temurun sebagai harta kekayaan.
Guci yang dibuat sendiri oleh nenek moyang memberikan inspirasi bagi saya untuk membuat guci sendiri bertahun-tahun yang lalu. Saya ingat, saya pernah berusaha membuat guci dari tanah liat yang saya ambil dari pembataan. Pembataan adalah tempat membuat bata yang letaknya tidak terlalu jauh dari rumah kami di Palangkaraya. Saya mengambil segumpal tanah liat dan mencoba membentuknya menjadi sebuah guci. Saat itu saya tidak berhasil. Boro-boro membuat guci berhiaskan naga seperti yang ada di rumah, bentuk gucinya pun tidak terlihat. Benda hasil karya saya itu lebih mirip mangkok datar atau asbak. Sejak saat itu, saya maik menghargai guci-guci yang ada di rumah kami.
Guci-guci yang ada di Kalimantan, kebanyakan berhiaskan figur naga. Ada yang bergambar naga, ada juga yang hiasannya timbul. Naganya berbentuk seperti ular dengan mulut yang terbuka. Sekilas mengingatkan pada budaya Tiongkok. Sepertinya memang ada hubungan antara budaya Dayak dan Tiongkok. Guci ini pun memiliki tingkatan. Tingkatan tertinggi adalah yang naganya berhadapan, atau malah bertentangan. (?)
Suatu kali, saya melihat tayangan tentang budaya Dayak di Kalimantan Tengah. Tayangan ini melengkapi pengetahuan saya tentang guci. Dalam tayangan itu ada beberapa narasumber. Ada yang memberikan keterangan secara adat, antropologi, dan juga kajian lainnya.
Beberapa informasi seperti legenda bahwa guci diturunkan dari langit dan menjadi bahan berharga telah saya ketahui. Yang saya baru tahu adalah guci-guci itu dibawa oleh pedagang Cina. Mereka membawa porselen untuk dijual di daerah Asia Tenggara. Selain guci, ada juga piring-piring keramik. Walaupun sudah bisa diduga berasal dari Cina, tetap saja saya merasa takjub. Rasanya seperti menemukan potongan puzzle yang hilang. Keramik asal Cina itu  dijual dengan harga mahal. Hanya orang tertentu saja yang dapat membelinya. Barang-barang keramik ini, guci dan piring hias, secara perlahan namun pasti menjadi bagian kehidupan masyarakat Dayak.
Dalam tayangan tersebut juga disebutkan bahwa tidak ada satu pun benda keramik itu yang dibuat di Pulau Kalimantan. Semuanya adalah buatan luar pulau, barang impor. Mungkin karena itu pula yang membuatnya menjadi barang yang bergengsi. Sampai saat ini penduduk negeri ini juga masih banyak yang menganggap barang impor itu keren.
Setelah menonton tayangan itu, penghargaan saya terhadap guci-guci di rumah kami bertambah. Saya langsung mengamati guci yang berada di rumah kami di Jakarta. Guci itu, selain sebagai pajangan, juga kami gunakan sebagai tempat meletakkan tongkat dan payung. Kapan-kapan kalaua da waktu saya akan memotret guci-guci itu dan membuat pencatatan detailnya. Mungkin saya akan membagikan catatan itu di blog ini, atau biarlah itu menjadi bagian dari rahasia keluarga saya. {ST}

Popular Posts

Isi blog ini