Ana

Senin, 31 Oktober 2016

Telaga Lido





            Saat melihat Telaga Lido, imajinasi saya langsung bereaksi, bergerak liar. Ada banyak ide di kepala saya yang mendesak harus dikeluarkan. Ide-ide itu kemudian menjadi bagian dari cerita-cerita fiksi yang saya tulis. Baru belakangan saya membuat catatan ini, setelah semua ide itu tertuang habis. Hmmm…. Belum habis juga, sih. Mungkin kelak saya akan mendapatkan inspirasi baru dari kenangan saya akan tempat ini.
            Saat saya tiba di tempat itu, hari sudah menjelang malam. Tidak banyak hal yang saya lihat. Udara sejuk membuat saya makin malas mengeksplorasi tempat ini. Saya memilih berdiam di kamar, leyeh-leyeh menikmati kesejukan udara sebelum akhirnya jatuh tertidur. Penginapan tempat saya menginap itu tidak terlalu berkesan bagi saya. Baru keesokan harinya saya melihat pemandangan indah yang tak terlupakan.

            Telaga Lido dapat dilihat dari tempat saya menikmati sarapan. Telaga itu bening dikelilingi oleh warna hijau dedaunan. Entahlah yang membuat saya tertarik itu daunnya atau airnya, atau perpaduan keduanya. Kabut yang turun membuat telaga itu terlihat misterius. Sangat cocok untuk setting cerita misteri. Tempat ini telah menjadi sumber inspirasi sebuah cerita bersambung dan beberapa cerita bergambar.
Pemandangan itu seakan-akan membius saya selama beberapa waktu. Saya sengaja berlama-lama memandangnya sambil sesekali menyantap makanan. Saya juga sempat memotretnya beberapa kali sebagai kenang-kenangan.
Selain kabutnya yang terkesan misterius, saya juga terkesan karena pemandangan itu mengingatkan saya pada kehidupan khas tepi sungai seperti di kampung halaman saya di Kalimantan. Perahu-perahu yang ada di telaga itu mengingatkan saya pada jukung yang telah menjadi bagian kehidupan orang Dayak selama berabad-abad sebelum saya dilahirkan. {ST}

Minggu, 30 Oktober 2016

Pijatan Ambil Angin Ala Bu Sri




            Saya dan keluarga telah lama mengenal tradisi pijat. Keluarga kami memiliki terapis favorit yang sering kami gunakan jasanya. Suatu hari, soal pijat memijat ini menjadi agak terkendala. Mbak Iis, terapis langganan kami itu berhenti dari pekerjaannya karena hamil. Setelah itu, kami merasa kehilangan sampai akhirnya bertemu Bu Sri.


            Saya mengenal Bu Sri karena rekomendasi dari adik saya. Pijatan Bu Sri katanya simbok-simbok banget. Ia telah berprofesi sebagai tukang pijat sejak masih sangat muda. Saat ini Bu Sri sudah setengah baya. Pengalamannya memijat sudah sangat banyak. Pengalamannya itu terasa dalam setiap sentuhan tangan dan kakinya. Ya, Bu Sri juga memijat menggunakan kakinya. Sejak saat itu Bu Sri menjadi terapis pijat langganan saya.
            Saat sedang memijat, Bu Sri sering bersendawa. Di kalangan para pemijat, ada kepercayaan kalau sendawa artinya mengeluarkan angin orang yang dipijat. Entah mengapa, orang yang sedang memijat malah jadi sering bersendawa. Saya juga kadang-kadang merasakannya ketika memijat orang lain. Sampai sekarang saya belum tahu penjelasan ilmiah tentang hal ini.
Bu Sri juga meyakini bahwa sendawanya itu artinya mengeluarkan angin orang yang dipijatnya. Bu Sri punya cara khusus untuk mengeluarkan angin, caranya dengan menggunakan kaki. Ia menginjak tempat yang akan dikeluarkan anginnya. Ilmu ambil angin itu konon didapatkannya dengan puasa dan doa.
Menurut Bu Sri, angin yang ada di dalam tubuh itu membuat badan masuk angin. Bu Sri dapat melihatnya dengan mata batinnya. Masuk angin membuat badan pegal dan tidak nyaman. Saya tahu bagaimana rasanya masuk angin. Memang betul-betul tidak nyaman. Angin di dalam tubuh itu harus dikeluarkan. Kebanyakan orang mengeluarkan angin dengan cara dikerok.
Angin yang sudah menumpuk itu akan mengeras. Menurut Bu Sri akan menjadi seperti salju yang membeku menjadi es. Angin ini harus dihancurkan dulu dengan cara dipijat. Angin yang sudah dihancurkan itu bentuknya akan seperti asap. Baru kemudian diambil dengan menggunakan injakan kaki. Sembari kakinya menekan, Bu Sri akan bersendawa untuk mengeluarkan anginnya. Apabila anginnya banyak, maka sendawanya keras. Kalau tidak ada anginnya, maka tidak ada sendawa.
Penjelasan Bu Sri itu memang tidak masuk akal bila dipikirkan secara ilmiah. Pikiran rasional saya pun agak berontak mendengarnya. Namun imajinasi saya dapat memahami dengan baik. Saya dapat membayangkannya secara visual, terutama bagian asap yang ditarik keluar. Bahkan menjadi inspirasi bagi cerita fiksi yang akan saya tulis.
Saya tidak terlalu peduli alasan ilmiah di balik ilmu ambil angin Bu Sri. Yang jelas saya menikmatinya. Pijatan Bu Sri pada badan yang pegal sangat saya nantikan. Bu Sri akan “menghajar” otot yang pegal sampai menjadi lemas kembali. Yang membuat pijatan Bu Sri makin mantap karena setelah itu badan tidak “njarem”. Badan malah menjadi segar, tentunya karena aliran darah yang lancar. Keahlian ini tidak dimiliki oleh semua orang. Hanya para pemijat yang berpengalaman saja yang bisa.
Saya tidak keberatan badan saya diinjak dan mendengar bunyi sendawa Bu Sri. Biasanya saya agak jijay mendengar bunyi sendawa orang, apalagi kalau yang sendawa sembarangan tanpa kenal waktu dan tempat. Perkecualian untuk yang ini. Khusus untuk Bu Sri, saya rela menjadi manusia yang terinjak-injak he he he. {ST}

Jumat, 28 Oktober 2016

Jutaan Orang Indonesia Buta Aksara




            Sebuah judul berita di harian Kompas membuat saya terdiam. Judulnya “Ada 5,6 Juta Orang Tuna-Aksara”. Jutaan orang itu ada di negeri saya ini, Indonesia, yang telah 71 tahun meredeka.

            Buta aksara memang umum terjadi pada negara berkembang, apalagi negara yang belum lama merdeka. Lah, Indonesia? Negeri ini sudah 71 tahun merdeka. Mereka yang buta aksara di awal kemerdekaan, seharusnya sudah tidak ada lagi. Entah karena mereka belajar mengenal aksara, atau karena mereka sudah meninggal.

            Dalam sebuah catatan yang saya muat di blog ini, saya pernah mengungkapkan betapa besyukurnya saya karena telah mengenal aksara. Aksara membuat saya dapat membaca dan menulis. Saya juga dapat berkarya dengan menggunakan aksara. Dapat dibayangkan kalau saya tidak mengenal aksara, mungkin saya adalah orang yang sangat berbeda dengan saya yang sekarang ini.

            Setelah saya baca artikel itu, ternyata angka jutaan itu sudah jauh berkurang dibandingkan dengan bertahun-tahun yang lalu. Itu adalah pencapaian luar biasa bagi negara kami yang memiliki banyak sekali pulau.

            Kalaupun tidak ada lagi orang yang buta aksara di negeri ini, perjuangan bangsa Indonesia masih belum berakhir. Minat baca yang kurang membuat bangsa ini “kurang berisi” dan mudah tersulut provokasi. Ini adalah pekerjaan besar bagi seluruh rakyat, termasuk saya. {ST}

Selasa, 25 Oktober 2016

Soto Ceker Pak Gendut






          
         Soto ceker Pak Gendut sering menjadi pilihan kuliner saya di sekitar Jalan Sabang. Selain karena suka, waktu penyiapan makanan ini pun tidak terlalu lama. Cocok bagi yang sudah kelewat lapar. Kuah berkaldu menambah nikmatnya hidangan ini.
            Tak jauh dari pusat perbelanjaan Sarinah, ada juga soto ceker Pak Gendut. Kemungkinan ini adalah Pak Gendut yang sama dengan yang berjualan di Jalan Sabang, sebuah jalan yang letaknya tak jauh dari tempat itu. Rasa sotonya pun sama. Saya beberapa kali mampir ke sini untuk makan malam.
            Soto ceker ini menggunakan bumbu kening. Kuahnya terlihat makin keruh karena kaldu. Di tengah-tengah kuah inilah ada tumpukana ceker yang menjadi menu utamanya. Soto ceker ini dapat disantap dengan nasi atau tanpa nasi. Saya lebih sering menyantapnya tanpa nasi, supaya saya dapat menyanpat makanan lainnya yang ada di sekitar situ.
            Ceker yang disajikan sudah dimasak sampai menjadi empuk. Sangat mudah untuk melepaskan kulit ceker dari tulangnya. Tulang-tulang rawannya pun dapat dengan mudah digigit-gigit. Ada juga yang memakan habis semua tulangnya. Entah deh itu digigit dulu apa langsung ditelan.
            Soto ceker Pak Gendut adalah pilihan yang tepat disantap saat dingin-dingin sehabis hujan. Kalau saat hujannya, sih, mungkin enaknya disantap di tempat lain. Tempat berjualan soto ini di pinggir jalan. Saat hujan, tempat duduk pelanggan pun akan basah karena kehujanan. {ST}

Popular Posts

Isi blog ini