Ana

Jumat, 09 September 2016

Terlibat Konflik Pengojek




            Saya tahu di beberapa daerah memang terjadi konflik antara pengemudi ojek online dan ojek pangkalan. Umumnya terjadi karena pengemudi ojek pangkalan merasa dirugikan. Ojek online dianggap mengambil penumpang ojek pangkalan. Bagi pengojek, penumpang artinya rezeki.
            Berita tentang konflik di antara mereka telah mewarnai media massa selama beberapa waktu. Berita itu makin lama makin hilang tertimpa berita lainnya. Saat ini, sudah jarang terdengar ada konflik antara ojek online dan ojek pangkalan. Namun itu bukan berarti konflik di antara mereka telah hilang. Saya bahkan ikut terlibat di dalamnya.
            Pada suatu hari, saya berkendara menggunakan KRL. Saya memilih moda transportasi ini karena praktis dan lebih cepat. Rencananya saya akan menyambung lagi ke tempat tujuan dengan menggunakan ojek. Saya memilih menggunakan ojek online. Pilihan ini pun saya ambil karena memperhitungkan praktisnya. Selain itu, saya juga sekalian mengetahui ada di mana sebenarnya tempat yang saya tuju itu. Saya belum pernah ke tempat itu sebelumnya. Saya hanya mengetahui alamatnya.
            Saya sudah mulai membuka aplikasi ojek online sejak masih berada di dalam KRL. Proses itu memerlukan waktu beberapa lama. Saya berjalan perlahan keluar dari area stasiun sambil tetap memegang telepon genggam saya. Siapa saja yang mengintip ke layarnya pasti sudah tahu apa yang saya nantikan. Saya menantikan datangnya jemputan transportasi berbasis online.
            Di bagian luar stasiun, ada beberapa pengemudi ojek pangkalan. Mereka menawarkan jasa untuk mengantarkan saya. Saya menolaknya dengan halus. Ada pula yang saya abaikan saja. Namun setelah beberapa lama menunggu, saya mulai berubah pikiran. Saya menanyakan berapa uang jasa yang harus saya bayarkan kalau diantar oleh para pengojek yang mangkal itu.
            Betapa kagetnya saya ketika mereka menyebutkan angka Rp 50 ribu. Angka itu cukup besar dibandingkan dengan harga ojek online. Ojek online yang saya pesan saat itu harganya Rp 15 ribu saja. Itu pun dengan catatan sedang high fare. Harganya lebih mahal dari yang biasa karena banyaknya permintaan di daerah situ.
            “Mahal amat? Yang online aja cuma 15 ribu,” celetuk saya.
            Celetukan saya itu rupanya memancing emosi beberapa orang pengojek pangkalan itu. Mereka marah. Ada juga yang mencoba menurunkan harga menjadi 40 ribu, 35 ribu, 30 ribu. Ada yang seakan memaksa saya untuk menggunakan jasanya. Saya tetap tidak mau menggunakan jasa mereka. Kemudian ada pula yang menarik (atau mencolek) tangan saya.
            Saya merasa agak terganggu karena sentuhan sentuhan itu. Akhirnya saya pun melangkah pergi dengan diiringi teriakan beberapa orang yang marah itu. Dari kemarahan mereka, ada yang mengeluarkan ancaman terhadap para pengojek online yang berani datang ke daerah itu. Mendengar ancaman itu, saya melangkah makin cepat. Sebaiknya memang lebih baik menghindari mereka.
            Setelah cukup jauh dari tempat itu, saya mencoba lagi untuk booking ojek online. Saya mendapatkan dengan harga yang lebih murah, Rp 12 ribu. Tarif murah itu tentunya karena jarak tempuhnya lebih dekat dibandingkan dengan orderan saya yang pertama kali. Dapat dibayangkan sebenarnya saya berjalan cukup jauh untuk menghindari para pengojek pangkalan itu.
            Dalam pembicaraan telepon dengan pengojek online yang saya pesan, ia juga memastikan apakah saya berada dalam jarak cukup jauh dari stasiun. Pertanyaan itu diajukannya karena adanya konflik antara pengojek di daerah itu. Ternyata konflik antara pengojek di daerah itu masih ada dan berkanjutan. {ST}

Popular Posts

Isi blog ini