Saya tahu di beberapa
daerah memang terjadi konflik antara pengemudi ojek online dan ojek pangkalan.
Umumnya terjadi karena pengemudi ojek pangkalan merasa dirugikan. Ojek online
dianggap mengambil penumpang ojek pangkalan. Bagi pengojek, penumpang artinya
rezeki.
Berita tentang konflik di antara
mereka telah mewarnai media massa selama beberapa waktu. Berita itu makin lama
makin hilang tertimpa berita lainnya. Saat ini, sudah jarang terdengar ada
konflik antara ojek online dan ojek pangkalan. Namun itu bukan berarti konflik
di antara mereka telah hilang. Saya bahkan ikut terlibat di dalamnya.
Pada suatu hari, saya berkendara
menggunakan KRL. Saya memilih moda transportasi ini karena praktis dan lebih
cepat. Rencananya saya akan menyambung lagi ke tempat tujuan dengan menggunakan
ojek. Saya memilih menggunakan ojek online. Pilihan ini pun saya ambil karena
memperhitungkan praktisnya. Selain itu, saya juga sekalian mengetahui ada di
mana sebenarnya tempat yang saya tuju itu. Saya belum pernah ke tempat itu
sebelumnya. Saya hanya mengetahui alamatnya.
Saya sudah mulai membuka aplikasi
ojek online sejak masih berada di dalam KRL. Proses itu memerlukan waktu
beberapa lama. Saya berjalan perlahan keluar dari area stasiun sambil tetap
memegang telepon genggam saya. Siapa saja yang mengintip ke layarnya pasti
sudah tahu apa yang saya nantikan. Saya menantikan datangnya jemputan
transportasi berbasis online.
Di bagian luar stasiun, ada beberapa
pengemudi ojek pangkalan. Mereka menawarkan jasa untuk mengantarkan saya. Saya
menolaknya dengan halus. Ada pula yang saya abaikan saja. Namun setelah
beberapa lama menunggu, saya mulai berubah pikiran. Saya menanyakan berapa uang
jasa yang harus saya bayarkan kalau diantar oleh para pengojek yang mangkal
itu.
Betapa kagetnya saya ketika mereka
menyebutkan angka Rp 50 ribu. Angka itu cukup besar dibandingkan dengan
harga ojek online. Ojek online yang saya pesan saat itu harganya Rp 15 ribu saja. Itu pun dengan
catatan sedang high fare. Harganya
lebih mahal dari yang biasa karena banyaknya permintaan di daerah situ.
“Mahal
amat? Yang online aja cuma 15 ribu,” celetuk saya.
Celetukan
saya itu rupanya memancing emosi beberapa orang pengojek pangkalan itu. Mereka
marah. Ada juga yang mencoba menurunkan harga menjadi 40 ribu, 35 ribu, 30
ribu. Ada yang seakan memaksa saya untuk menggunakan jasanya. Saya tetap tidak
mau menggunakan jasa mereka. Kemudian ada pula yang menarik (atau mencolek)
tangan saya.
Saya
merasa agak terganggu karena sentuhan sentuhan itu. Akhirnya saya pun melangkah
pergi dengan diiringi teriakan beberapa orang yang marah itu. Dari kemarahan
mereka, ada yang mengeluarkan ancaman terhadap para pengojek online yang berani
datang ke daerah itu. Mendengar ancaman itu, saya melangkah makin cepat.
Sebaiknya memang lebih baik menghindari mereka.
Setelah
cukup jauh dari tempat itu, saya mencoba lagi untuk booking ojek online. Saya
mendapatkan dengan harga yang lebih murah, Rp 12 ribu. Tarif murah itu tentunya
karena jarak tempuhnya lebih dekat dibandingkan dengan orderan saya yang
pertama kali. Dapat dibayangkan sebenarnya saya berjalan cukup jauh untuk
menghindari para pengojek pangkalan itu.
Dalam
pembicaraan telepon dengan pengojek online yang saya pesan, ia juga memastikan
apakah saya berada dalam jarak cukup jauh dari stasiun. Pertanyaan itu
diajukannya karena adanya konflik antara pengojek di daerah itu. Ternyata
konflik antara pengojek di daerah itu masih ada dan berkanjutan. {ST}