Ana

Sabtu, 24 September 2016

Obsesi Orang Tua




            Cukup banyak orang tua yang menyalurkan obsesinya pada anaknya. Para orang tua itu tidak terlalu peduli pada keinginan anaknya. Apa yang mereka anggap baik bagi anak, itulah yang mereka coba arahkan kepada anaknya. Pada beberapa kasus, mengarahkan itu bahkan cenderung sebagai pemaksaan.
            Kisah pemaksaan obsesi orang tua pada anak itu telah cukup lama mewarnai kehidupan manusia. Cerita seperti ini ada di mana-mana dan di sepanjang abad. Saya juga bertemu dengan beberapa kisah seperti ini dalam kehidupan saya. Entah itu orang yang saya kenal atau terjadi pada orang terkenal.
            Mungkin kebanyakan orang tua mereasa berhak untuk menentukan arah hidup anak-anaknya. Pemahaman ini dapat dimaklumi karena merekalah yang melahirkan dan juga membesarkannya. Dapat dikatakan semacam transaksional gitu, deh. Anak-anak sudah diberikan yang terbaik, sudah dipelihara dari bayi yang tidak bisa apa-apa, maka mereka harus mengikuti kehendak orang tua. Kehendak orang tua itu pun tentunya untuk sesuatu yang baik, menurut cara pandang orang tua.
            Dalam beberapa kepercayaan, termasuk yang saya anut, anak bukanlah milik orang tua. Anak adalah titipan Tuhan yang dipercayakan kepada orang tua. Adalah kewajiban orang tua untuk merawat dan membesarkan anak-anaknya. Apabila pemahaman ini memang dipahami dan dilakukan oleh kebanyakan orang yang mengaku beragama, tentunya tidak akan ada pemaksaan obsesi orang tua kepada anaknya.
            Pada beberapa kasus, obsesi orang tua berjalan dengan mulus. Sang anak dapat mengikutinya dan berhasil dengan baik. Orang tua yang memiliki obsesi tentu saja mendukung anaknya secara moral dan material. Anak-anak yang mendapatkannya kelak akan bersyukur ketika mereka sudah mendapatkan kesuksesan.
            Ada pula kejadian di mana obsesi orang tua bertentangan dengan keinginan dan kepribadian anaknya. Dalam hal ini ada anak yang berani mengungkapkan ketidaksetujuannya ada pula yang manut-manut saja. Anak yang manut-manut saja mungkin saja bersikap demikian untuk menghormati dan juga membalas budi baik orang tuanya. Mungkin juga dia memang berkepribadian kurang teguh alias labil.
Ada pula anak yang dengan jujur mengatakan tidak mau menjadi saluran obsesi orang tua. Nah, ini dia yang sering menjadi konflik. Kebanyakan orang tua tidak dapat menerima dengan baik anak yang “ngeyel” dan “melawan”. Saya juga pernah mendapat cap sebagai anak ngeyel karena tidak bersedia melaksanakan salah satu obsesi orang tua yang sangat berpengaruh pada masa depan saya.
Saat ini, ada cukup banyak pengetahuan bagi orang tua untuk lebih dapat memahami anak-anaknya. Orang tua zaman sekarang bahkan meluangkan cukup banyak waktu untuk belajar tentang macam-macam kecerdasan anak sehingga mereka dapat mengarahkan anak kepada hal-hal yang diminatinya. Ini adalah suatu kemajuan yang layak disyukuri.
Saya pernah bertemu dengan sepasang orang tua yang memiliki sepasang anak. Dengan pengetahuan tentang kecerdasan majemuk anak, mereka mengetahui kalau kedua anak mereka memiliki sifat dan minat yang berbeda. Mereka mendukung kedua anak mereka untuk berkembang sesuai minat dan bakatnya. Kedua anak itu harus bersyukur memiliki kedua orang tua yang mendukungnya.
Namun, cukup banyak pula orang tua yang tetap ngotot memaksakan kehendaknya. Saya pernah bertemu dengan teman yang belajar menari balet tetapi ternyata tidak menyukainya. Dia lebih suka senam lantai yang bisa bergerak lebih dinamis. Ibunya memaksanya untuk ikut balet karena balet itu anggun, dan sang ibu pernah bercita-cita menjadi balerina namun tidak kesampaian.
Ada juga yang memaksa anaknya untuk masuk sekolah teknik supaya menjadi insinyur seperti bapaknya. Ada eranya pekerjaan yang dianggap bergengsi adalah insinyur dan dokter, maka para orang tua pun berlomba-lomba mengarahkan anak-anaknya menjadi sarjana teknik yang dulunya dikenal sebagai insinyur.
Saya adalah seorang sarjana teknik. Walaupun tidak lagi bekerja di bidang teknik, jurusan yang ambil itu adalah pilihan saya  sendiri. Tidak ada yang memaksa. Teman-teman saya ada yang terpaksa kuliah teknik. Jadinya ya gitu, deh. Kuliah menjadi sesuatu yang menyiksa. Ke kampus lebih banyak untuk main-main saja daripada belajar.
Obsesi orang tua kembali menjadi perbincangan akhir-akhir ini saat ada pilkada di sebuah kota khusus yang menjadi ibu kota. Salah satu calonnya adalah anak seorang mantan penguasa yang memiliki karir cemerlang sebagai tentara. Dia harus mengundurkan diri dan melupakan karir tentaranya jika memilih untuk tetap mencalonkan dirinya. Cukup banyak orang yang sangat menyayangkan langkah ini, termasuk saya. Mengundurkan diri dari ketentaraan artinya tidak akan dapat kembali lagi. Apabila berhasil terpilih menjadi gubernur, maka ia akan menjadi gubernur selaam 5 tahun. Apabila tidak terpilih?
Sampai saat ini saya belum menjadi orang tua. Saya belum memiliki anak saya sendiri. Namun saya memiliki cita-cita agar anak saya kelak mendapatkan perhatian dan pengertian yang cukup dari orang tuanya. Saya juga berharap supaya anak saya kelak menjalani kehidupan yang lebih baik dibandingkan kehidupan saya. Apakah ini juga artinya obsesi terhadap anak? {ST}

Popular Posts

Isi blog ini