Cukup banyak orang tua
yang menyalurkan obsesinya pada anaknya. Para orang tua itu tidak terlalu
peduli pada keinginan anaknya. Apa yang mereka anggap baik bagi anak, itulah
yang mereka coba arahkan kepada anaknya. Pada beberapa kasus, mengarahkan itu
bahkan cenderung sebagai pemaksaan.
Kisah pemaksaan obsesi
orang tua pada anak itu telah cukup lama mewarnai kehidupan manusia. Cerita
seperti ini ada di mana-mana dan di sepanjang abad. Saya juga bertemu dengan
beberapa kisah seperti ini dalam kehidupan saya. Entah itu orang yang saya
kenal atau terjadi pada orang terkenal.
Mungkin kebanyakan
orang tua mereasa berhak untuk menentukan arah hidup anak-anaknya. Pemahaman
ini dapat dimaklumi karena merekalah yang melahirkan dan juga membesarkannya.
Dapat dikatakan semacam transaksional gitu, deh. Anak-anak sudah diberikan yang
terbaik, sudah dipelihara dari bayi yang tidak bisa apa-apa, maka mereka harus
mengikuti kehendak orang tua. Kehendak orang tua itu pun tentunya untuk sesuatu
yang baik, menurut cara pandang orang tua.
Dalam beberapa
kepercayaan, termasuk yang saya anut, anak bukanlah milik orang tua. Anak
adalah titipan Tuhan yang dipercayakan kepada orang tua. Adalah kewajiban orang
tua untuk merawat dan membesarkan anak-anaknya. Apabila pemahaman ini memang
dipahami dan dilakukan oleh kebanyakan orang yang mengaku beragama, tentunya
tidak akan ada pemaksaan obsesi orang tua kepada anaknya.
Pada beberapa kasus,
obsesi orang tua berjalan dengan mulus. Sang anak dapat mengikutinya dan
berhasil dengan baik. Orang tua yang memiliki obsesi tentu saja mendukung
anaknya secara moral dan material. Anak-anak yang mendapatkannya kelak akan
bersyukur ketika mereka sudah mendapatkan kesuksesan.
Ada pula kejadian di
mana obsesi orang tua bertentangan dengan keinginan dan kepribadian anaknya.
Dalam hal ini ada anak yang berani mengungkapkan ketidaksetujuannya ada pula
yang manut-manut saja. Anak yang manut-manut saja mungkin saja bersikap
demikian untuk menghormati dan juga membalas budi baik orang tuanya. Mungkin
juga dia memang berkepribadian kurang teguh alias labil.
Ada pula anak yang dengan jujur mengatakan tidak mau menjadi saluran
obsesi orang tua. Nah, ini dia yang sering menjadi konflik. Kebanyakan orang
tua tidak dapat menerima dengan baik anak yang “ngeyel” dan “melawan”. Saya
juga pernah mendapat cap sebagai anak ngeyel karena tidak bersedia melaksanakan
salah satu obsesi orang tua yang sangat berpengaruh pada masa depan saya.
Saat ini, ada cukup banyak pengetahuan bagi orang tua untuk lebih dapat
memahami anak-anaknya. Orang tua zaman sekarang bahkan meluangkan cukup banyak
waktu untuk belajar tentang macam-macam kecerdasan anak sehingga mereka dapat
mengarahkan anak kepada hal-hal yang diminatinya. Ini adalah suatu kemajuan
yang layak disyukuri.
Saya pernah bertemu dengan sepasang orang tua yang memiliki sepasang
anak. Dengan pengetahuan tentang kecerdasan majemuk anak, mereka mengetahui
kalau kedua anak mereka memiliki sifat dan minat yang berbeda. Mereka mendukung
kedua anak mereka untuk berkembang sesuai minat dan bakatnya. Kedua anak itu
harus bersyukur memiliki kedua orang tua yang mendukungnya.
Namun, cukup banyak pula orang tua yang tetap ngotot memaksakan
kehendaknya. Saya pernah bertemu dengan teman yang belajar menari balet tetapi
ternyata tidak menyukainya. Dia lebih suka senam lantai yang bisa bergerak
lebih dinamis. Ibunya memaksanya untuk ikut balet karena balet itu anggun, dan
sang ibu pernah bercita-cita menjadi balerina namun tidak kesampaian.
Ada juga yang memaksa anaknya untuk masuk sekolah teknik supaya menjadi
insinyur seperti bapaknya. Ada eranya pekerjaan yang dianggap bergengsi adalah
insinyur dan dokter, maka para orang tua pun berlomba-lomba mengarahkan
anak-anaknya menjadi sarjana teknik yang dulunya dikenal sebagai insinyur.
Saya adalah seorang sarjana teknik. Walaupun tidak lagi bekerja di
bidang teknik, jurusan yang ambil itu adalah pilihan saya sendiri. Tidak ada yang memaksa. Teman-teman
saya ada yang terpaksa kuliah teknik. Jadinya ya gitu, deh. Kuliah menjadi
sesuatu yang menyiksa. Ke kampus lebih banyak untuk main-main saja daripada
belajar.
Obsesi orang tua kembali menjadi perbincangan akhir-akhir ini saat ada
pilkada di sebuah kota khusus yang menjadi ibu kota. Salah satu calonnya adalah
anak seorang mantan penguasa yang memiliki karir cemerlang sebagai tentara. Dia
harus mengundurkan diri dan melupakan karir tentaranya jika memilih untuk tetap
mencalonkan dirinya. Cukup banyak orang yang sangat menyayangkan langkah ini,
termasuk saya. Mengundurkan diri dari ketentaraan artinya tidak akan dapat
kembali lagi. Apabila berhasil terpilih menjadi gubernur, maka ia akan menjadi
gubernur selaam 5 tahun. Apabila tidak terpilih?
Sampai saat ini saya belum menjadi orang tua. Saya belum memiliki anak
saya sendiri. Namun saya memiliki cita-cita agar anak saya kelak mendapatkan
perhatian dan pengertian yang cukup dari orang tuanya. Saya juga berharap
supaya anak saya kelak menjalani kehidupan yang lebih baik dibandingkan
kehidupan saya. Apakah ini juga artinya obsesi terhadap anak? {ST}