Siang menjelang sore
itu, saya berada di halte Transjakarta di Ancol. Halte ini adalah halte paling
ujung dari rute ini. Bus gandeng yang saya tumpangi tidak terlalu penuh.
Kebanyakan penumpangnya adalah orang-orang yang mengikuti acara yang sama
dengan saya. Dari pakaian seragamnya, saya bisa menebak kalau mereka guru.
Acara yang saya hadiri itu memang mengundang anak-anak sekolah dan guru.
Saat berjalan keluar
dari halte itu, semua penumpang mendapat tempat duduk. Hanya seorang petugas
yang berdiri di dalam kendaraan itu. Itu pun karena tugasnya memang harus
dijalankan dengan berdiri. Keadaan berubah di halte-halte berikutnya. Mulai
banyak penumpang yang harus berdiri karena tidak kebagian tempat duduk.
Saya tidak terlalu
memerhatikan penumpang lain, apalagi yang baru saja masuk di halte-halte
setelahnya. Saya memusatkan perhatian pada buku bacaan saya yang sedang
seru-serunya. Hanya sekilas saya melihat ada rambut putih di bagian penumpang
yang sedang berdiri. Ya, rambut putih itu uban. Penumpang yang berdiri itu
beruban, yang artinya umurnya juga sudah tak muda.
Ibu yang beruban itu
berdiri di depan 3 orang guru yang sedang bercanda tawa. Tidak ada satu pun
dari mereka yang menawarkan tempat duduknya. Padahal ibu-ibu guru itu masih
sangat muda. Guru-guru lainnya juga sama saja. Saya memandang ke kiri dan kanan
saya. Orang-orang di samping saya itu sudah cukup berumur.
Akhirnya saya
memberikan tempat duduk saya. Ibu itu lebih berhak untuk duduk. Bukan bermaksud
mau pamer, kok. Tapi kalo ada yang bilang pamer ya biarin ajalah. Matanya
memandang tepat ke mata saya ketika mengucapkan terima kasih. Saya tidak bisa
melupakan pandangan matanya itu. Itulah yang membuat saya menuliskan catatan
ini. Pandangan matanya yang penuh terima kasih itu bahkan menjadi inspirasi
bagi karya tulis saya.
Saya juga agak kesal
dengan guru-guru itu. Kami, maksudnya saya dan para guru itu, baru saja
menghadiri acara bertema integritas. Tidak menawarkan tempat duduk kepada orang
tua yang sudah ubanan menurut saya cukup menodai citra para guru-guru itu.
Sikap itu tidak mencerminkan integritas. Memang benar jadi guru itu tidak mudah
karena akan dituntut untuk lebih baik dari kebanyakan orang. Itu pula yang saya
tuntut dari para guru itu. {ST}