Ana

Kamis, 01 September 2016

Guru yang Tidak Mau Memberikan Tempat Duduk di Bus




            Siang menjelang sore itu, saya berada di halte Transjakarta di Ancol. Halte ini adalah halte paling ujung dari rute ini. Bus gandeng yang saya tumpangi tidak terlalu penuh. Kebanyakan penumpangnya adalah orang-orang yang mengikuti acara yang sama dengan saya. Dari pakaian seragamnya, saya bisa menebak kalau mereka guru. Acara yang saya hadiri itu memang mengundang anak-anak sekolah dan guru.
            Saat berjalan keluar dari halte itu, semua penumpang mendapat tempat duduk. Hanya seorang petugas yang berdiri di dalam kendaraan itu. Itu pun karena tugasnya memang harus dijalankan dengan berdiri. Keadaan berubah di halte-halte berikutnya. Mulai banyak penumpang yang harus berdiri karena tidak kebagian tempat duduk.
            Saya tidak terlalu memerhatikan penumpang lain, apalagi yang baru saja masuk di halte-halte setelahnya. Saya memusatkan perhatian pada buku bacaan saya yang sedang seru-serunya. Hanya sekilas saya melihat ada rambut putih di bagian penumpang yang sedang berdiri. Ya, rambut putih itu uban. Penumpang yang berdiri itu beruban, yang artinya umurnya juga sudah tak muda.
            Ibu yang beruban itu berdiri di depan 3 orang guru yang sedang bercanda tawa. Tidak ada satu pun dari mereka yang menawarkan tempat duduknya. Padahal ibu-ibu guru itu masih sangat muda. Guru-guru lainnya juga sama saja. Saya memandang ke kiri dan kanan saya. Orang-orang di samping saya itu sudah cukup berumur.
            Akhirnya saya memberikan tempat duduk saya. Ibu itu lebih berhak untuk duduk. Bukan bermaksud mau pamer, kok. Tapi kalo ada yang bilang pamer ya biarin ajalah. Matanya memandang tepat ke mata saya ketika mengucapkan terima kasih. Saya tidak bisa melupakan pandangan matanya itu. Itulah yang membuat saya menuliskan catatan ini. Pandangan matanya yang penuh terima kasih itu bahkan menjadi inspirasi bagi karya tulis saya.
            Saya juga agak kesal dengan guru-guru itu. Kami, maksudnya saya dan para guru itu, baru saja menghadiri acara bertema integritas. Tidak menawarkan tempat duduk kepada orang tua yang sudah ubanan menurut saya cukup menodai citra para guru-guru itu. Sikap itu tidak mencerminkan integritas. Memang benar jadi guru itu tidak mudah karena akan dituntut untuk lebih baik dari kebanyakan orang. Itu pula yang saya tuntut dari para guru itu. {ST}

Popular Posts

Isi blog ini