Saya lebih sering naik kendaraan
umum sejak Mocil rusak. Mocil, mobil kecil saya itu memang tidak langsung saya
perbaiki. Kendaraan umum yang sering saya gunakan adalah bus Transjakarta,
ojek, taksi, dan bajai. Saya juga menggunakan transportasi berbasis online.
Selama naik kendaraan
umum, ternyata saya cukup menikmatinya. Saya tidak harus siaga penuh karena
menyetir mobil. Selama perjalanan saya dapat membaca buku, lihat-lihat HP,
lihat pemandangan, dan juga tidur. Saya juga tidak perlu repot-repot mencari
tempat parkir. Saya betul-betul menikmatinya. Itu membuat perbaikan mobil tidak
lagi menjadi prioritas bagi saya.
Ada kenalan saya yang
sepertinya menyesalkan keadaan saya yang dianggap turun derajat. Itu karena
saya yang biasanya baik mobil pribadi harus naik kendaraan umum. Saya berusaha
mengerti pandangannya dengan berusaha mendengarkannya. Namun sebenarnya saya
tidak sependapat. Menggunakan kendaraan pribadi bagi saya gengsinya tidak lebih
tinggi dibandingkan dengan menggunakan kendaraan umum. Saya tidak merasa turun
derajat sama sekali.
Kendaraan pribadi, terutama
mobil, memang kerap dijadikan simbol keberhasilan. Orang-orang yang bisa
membeli mobil tentunya penghasilannya lebih dari cukup. Demikian pula orang
yang mendapatkan fasilitas mobil dari tempatnya bekerja. Hanya orang-orang yang
posisinya tinggi saja yang mendapatkannya. Mobil, terutama mobil mewah, adalah
simbol gengsi dan prestise.
Kalau dilihat dari
pandangan itu, memang dapat dikatakan saya turun derajatnya. Namun kalau
dilihat dari segi kenyamanan sebagai orang yang nyetir sendiri, jauh lebih
nyaman naik kendaraan umum. Tidak ada yang salah dengan menggunakan kendaraan
umum. Saya juga tidak terlalu peduli dengan gengsi dan kata orang. Gengsi tidak
akan membuat saya tiba di tempat tujuan. Makin banyak yang naik kendaraan umum,
polusi akan semakin berkurang karena jumlah kendaraan semakin sedikit. Malah
keren, kan? {ST}