Keponakan saya yang
berusia 2 tahun menarik-narik tangan saya. Dia mengajak saya melihat
layang-layang. Anak itu terlihat sangat antusias. Senyuman merekah di bibir
anak laki-laki kecil itu. Senyuman dan sikap antusias yang sama seperti sedang
melihat mobil di jalan.
Sambil bergandengan tangan kami berdua berjalan ke pinggir jalan. Saya
pun melihat ke arah langit untuk melihat layang-layang yang diceritakannya.
“Ada merah, putih, kuning, hijau. Bagus, ya,” kata suara anak kecil di
samping saya.
Salah satu tangannya masih menggandeng tangan saya. Tangan yang satunya
lagi menunjuk ke umbul-umbul. Ya benar, umbul-umbul yang dipasang di pinggir
jalan saat perayaan 17 Agustus itu. Rupanya benda itulah yang dikira
layang-layang oleh keponakan kecil saya itu.
Sebagai anak kecil berumur 2 tahun, pengetahuannya tentang dunia memang
belum banyak. Sepertinya dia memang belum tahu kalau benda yang ditunjuknya itu
bernama umbul-umbul. Dia mengaitkannya dengan layang-layang, mainan yang bisa
terbang, yang sudah pernah dia lihat sebelumnya..
Saya sebenarnya ingin tertawa terbahak-bahak. Itu adalah sesuatu yang
lucu sekali. Namun saya berusaha menahannya sekuat tenaga. Saya tidak mau
membuat keponakan saya itu merasa ditertawakan. Saya hanya tersenyum dan
tertawa secukupnya seraya menunjukkan wajah senang dan antusias.
“O iya. Bagus, ya,” ucap saya sambil memandang senyum ceria keponakan
saya.
Kami berdua pun tertawa-tawa senang. Jo, keponakan kecil saya itu
sepertinya tertawa senang karena sudah menunjukkan sesuatu yang luar biasa.
Saya tertawa karena kelucuan layang-layang itu. Pengalaman itu sangat berkesan
bagi saya. Setelah peristiwa itu, pandangan saya terhadap umbul-umbul agak
berbeda. Saat melihat umbul-umbul, saya juga melihat senyum manis Jo dan
layang-layang yang sedang terbang. {ST}