Ana

Rabu, 31 Agustus 2016

Rute Baru Bus Wisata Jakarta






            Sejak tahun 2014, Jakarta memiliki bus wisata. Bus itu menjalani rute di pusat kota Jakarta dengan memperkenalkan tempat-tempat bersejarah. Bus bertingkat itu dapat dinaiki secara gratis dari halte-halte tertentu.
            Bus gratis ini kabarnya kerap pula dipakai oleh orang-orang yang memang memerlukan alat transportasi, tidak hanya untuk berwisata. Maklum saja, kebanyakan orang Indonesia memang suka yang gratisan.
            Tahun 2016 ini, ada perkembangan baru dari bus wisata. Bus ini sekarang memiliki 3 rute, atau lebih tepatnya 3 tema, yaitu wisata sejarah, kuliner, dan belanja. Ketiga rute bus ini ada yang bersinggungan, bahkan nyaris sama. Perbedaannya adalah informasi yang disampaikan di dalam bus. Informasi untuk tempat-tempat yang dilewati itu disampaikan sesuai temanya. Informasi itu sudah direkam sebelumnya dan tinggal disuarakan saat melewati tempat yang bersangkutan.
Menurut saya ini adalah perubahan yang baik. Awalnya, informasi itu disampaikan langsung oleh petugas. Informasinya tidak terlalu banyak, kok. Saat bus wisata ini masih baru beroperasi, saya sempat menyaksikan bagaimana antusiasnya petugas bus. Beberapa bulan kemudian, para petugas itu tidak lagi antusias. Tugas mereka menjadi seperti kenek yang menyerukan tempat tujuan berikutnya. Tidak konsisten. Memang lebih baik menggunakan rekaman saja untuk sementara.
Pada suatu Sabtu sore, saya pernah mencoba 2 dari 3 rute bus wisata yang sekarang ada. Saya mencoba yang wisata sejarah dan belanja. Untuk yang kuliner, saya belum mencobanya. Mungkin lain kali. {ST}

Baca juga:

Selasa, 30 Agustus 2016

Lampu Teplok






            Lampu teplok adalah salah satu alat penerangan yang umum digunakan berpuluh tahun yang lalu, saat penerangan lampu listrik belum umum digunakan. Saya termasuk generasi yang sudah mengenal listrik. Untuk penerangan malam hari, kami sudah menggunakan lampu listrik. Namun itu bukan berarti saya tidak mengenal lampu teplok. Lampu berbahan bakar minyak tanah ini turut mewarnai masa kecil saya di Kalimantan.
            Saat saya kecil (bahkan sampai sekarang), listrik di Kalimantan sering padam. Saat mendengar kata “giliran”, semua orang langsung tahu bahwa saat itu tidak ada listrik yang mengalir di tempat itu. Itu bisa terjadi di siang hari dan di malam hari. Kadang-kadang, ada juga yang gilirannya diberi tahu dulu, ada juga yang padam begitu saja tanpa pemberitahuan.
            Selain lilin, lampu teplok adalah alternatif penerangan di rumah kami saat mendapat giliran listrik padam. Ada cukup banyak lampu teplok di rumah kami. Saya bahkan punya lampu teplok kesayangan. Lampu yang saya bawa ke kamar saya saat lampu padam yang itu-itu terus. Selain sebagai penerangan, buat saya lampu teplok adalah hiasan yang keren. Melihat cahaya lidah api di lampu teplok adalah pemandangan yang indah.
            Lampu teplok terdiri dari beberapa bagian yang bisa dilepas. Ada tempat penampung minyak di bagian bawahnya. Tempat minyak ini bersambung dengan sumbu. Sebagian sumbu terendam oleh minyak, sebagian kecil lainnya ada di bagian atas. Sumbu bagian atas itulah yang dibakar dan kemudian menjadi sumber terang. Di bagian atasnya ada corong/pipa dari kaca. Corong itu melindungi api supaya tidak tertiup angin sekalian mengarahkan asap ke bagian atas.
            Papah pernah bercerita kalau waktu dia kecil dulu harus menggunakan lampu teplok untuk belajar. Kadang-kadang kepala sampai terasa panas karena harus didekatkan ke lampu. Pengalamannya itu dia gunakan untuk memacu kami supaya lebih giat belajar karena sudah ada lampu listrik yang lebih terang dan mudah penggunaannya.
            Lampu teplok kabarnya juga bisa digunakan untuk mengobati sakit mata. Kalau yang ini, saya tidak yakin apakah benar atau saya dibohongi oleh saudara-saudara yang lebih tua. Caranya dengan menangkap panas yang ada di ujung corong dengan kedua tangan. Saat tangan sudah terasa hangat, sapukan ke mata yang sakit. Mata juga akan terasa hangat. Saya dulu sering melakukannya saat terkena sakit mata. Itu, lo, yang mata menjadi merah dan belekan sepanjang hari.
            Saat ini, lampu teplok sudah tidak lagi digunakan sebagai alat penerangan. Lampu teplok yang saya lihat lebih sering digunakan sebagai penghias ruangan. Lampu teplok juga sering dijadikan suvenir pernikahan. Informasi lampu teplok sebagai suvenir berada di halaman depan mesin pencari Google. Lampu teplok juga ada yang bertenaga listrik. Bentuknya tetap lampu teplok, bagian lampunya diganti dengan bohlam listrik.  
Saya tidak tahu mengapa lampu teplok disebut teplok. Mungkin karena dapat ditempelkan di dinding. Pada lampu ini memang ada bagian yang bisa ditempelkan di dinding. Bagian dinding yang ditempeli lampu ini biasanya di bagian atasnya berwarna gak hitam karena sisa pembakaran. {ST}

Senin, 29 Agustus 2016

Orang yang Duduk Melayang




            Penampakan orang yang duduk melayang itu menarik perhatian kami. Selain posisinya yang melayang, kostum yang digunakannya juga menarik perhatian. Orang itu duduk bersila sambil menatap dingin, seakan-akan patung.

            Penampilannya yang menarik perhatian membuat banyak orang berfoto bersamanya. Di depannya ada sebuah kotak untuk memberikan penghargaan. Keluarga kami termasuk yang berfoto dengan manusia melayang yang kami temui di sebuah pameran. Saya memotret Mamah dan Papah di dekat orang itu.


            Saya tetap tinggal di dekat orang itu beberapa lama setelah sesi pemotretan itu. Saya penasaran trik apa yang dia gunakan sampai terlihat melayang seperti itu. Orang itu memegang sebuah tongkat yang kelihatannya kokoh ke lantai. Sepertinya rahasianya ada di tongkat itu. Trik selebihnya masih menjadi rahasia bagi saya. {ST}

Minggu, 28 Agustus 2016

Cerita Layang-Layang yang Berkesan





            Keponakan saya yang berusia 2 tahun menarik-narik tangan saya. Dia mengajak saya melihat layang-layang. Anak itu terlihat sangat antusias. Senyuman merekah di bibir anak laki-laki kecil itu. Senyuman dan sikap antusias yang sama seperti sedang melihat mobil di jalan.
Sambil bergandengan tangan kami berdua berjalan ke pinggir jalan. Saya pun melihat ke arah langit untuk melihat layang-layang yang diceritakannya.
“Ada merah, putih, kuning, hijau. Bagus, ya,” kata suara anak kecil di samping saya.
Salah satu tangannya masih menggandeng tangan saya. Tangan yang satunya lagi menunjuk ke umbul-umbul. Ya benar, umbul-umbul yang dipasang di pinggir jalan saat perayaan 17 Agustus itu. Rupanya benda itulah yang dikira layang-layang oleh keponakan kecil saya itu.
Sebagai anak kecil berumur 2 tahun, pengetahuannya tentang dunia memang belum banyak. Sepertinya dia memang belum tahu kalau benda yang ditunjuknya itu bernama umbul-umbul. Dia mengaitkannya dengan layang-layang, mainan yang bisa terbang, yang sudah pernah dia lihat sebelumnya..
Saya sebenarnya ingin tertawa terbahak-bahak. Itu adalah sesuatu yang lucu sekali. Namun saya berusaha menahannya sekuat tenaga. Saya tidak mau membuat keponakan saya itu merasa ditertawakan. Saya hanya tersenyum dan tertawa secukupnya seraya menunjukkan wajah senang dan antusias.
“O iya. Bagus, ya,” ucap saya sambil memandang senyum ceria keponakan saya.
Kami berdua pun tertawa-tawa senang. Jo, keponakan kecil saya itu sepertinya tertawa senang karena sudah menunjukkan sesuatu yang luar biasa. Saya tertawa karena kelucuan layang-layang itu. Pengalaman itu sangat berkesan bagi saya. Setelah peristiwa itu, pandangan saya terhadap umbul-umbul agak berbeda. Saat melihat umbul-umbul, saya juga melihat senyum manis Jo dan layang-layang yang sedang terbang. {ST}

Sabtu, 27 Agustus 2016

Menumbuhkan Biji





            Sewaktu kecil, pengertian menanam bagi saya adalah menumbuhkan dari biji. Biji-bijian diletakkan di tanah sampai bertumbuh. Dari situ pula saya mendapatkan pengertian tumbuhan. Pengertian ini juga makin subur karena banyaknya cerita yang saya dengar tentang menanam dan kemudian menuai.
            Masa kecil saya diwarnai dengan pertumbuhan biji-bijian. Saya pernah menanam (menumbuhkan biji) jagung, rambutan, kacang hijau, padi, jeruk, anggur, kelengkeng dan aneka bunga. Saya sering menanamnya di kaleng bekas permen atau bekas susu.

            Melihat biji yang bertumbuh menjadi kegembiraan tersendiri bagi saya. Saya menyambut gembira setiap perubahan. Perubahan itu terlihat sangat banyak di awal-awal pertumbuhannya. Semakin besar tanamannya, pertumbuhannya makin tak terlihat. Biasanya saya menjadi bosan dan mengabaikan tanaman ini.
            Saat berkunjung ke sebuah sekolah dasar, saya melihat pot yang berisi tanaman-tanaman kecil. Sepertinya tanaman itu ditumbuhkan dari biji. Keberadaannya di depan kelas menandakan bahwa pot itu, dan tanaman yang ada di dalamnya, adalah bagian dari proses sekolah. Itu adalah bagian dari pelajaran sekolah. Saya tersenyum sendiri melihatnya. Saat saya kecil dulu, menanam biji tidak dipraktikkan di sekolah. {ST}

Baca juga:

Popular Posts

Isi blog ini