Menjelang Hari Raya
Idul Fitri, jutaan orang menerima tunjangan hari raya (THR). Tunjangan ini
sudah menjadi bagian dari hukum yang berlaku di negara ini. THR disambut
gembira oleh semua pekerja di Indonesia. Saya pun termasuk orang yang menyambut
gembira datangnya THR ke rekening.
Orang yang mendapatkan
THR tidak hanya pekerja formal. Pekerja nonformal pun mendapatkannya. Para
asisten rumah tangga mendapatkan THR di waktu yang sama, kira-kira 2 minggu
sebelum lebaran.
Dalam beberapa hari
ini, saya bertemu beberapa orang yang sebelumnya tidak saya kenal tahu-tahu
datang dan minta THR. Saya sampai bingung sendiri menghadapinya. Sikap mereka
hampir seperti pengemis, dan itu membuat saya prihatin.
Orang-orang yang
meminta THR itu antara lain juru parkir liar, kuli angkut, pekerja di sebuah
toko, dan penjaga keamanan. Pada waktu-waktu sebelumnya, kami sangat jarang
bertemu. Mengapa saya katakan sangat jarang? Karena saya tidak ingat pernah
bertemu mereka walaupun mungkin saja berpapasan di jalan. Kalaupun bertemu,
kami tidak bertegur sapa.
Saat musim THR, mereka
mendadak menegur dengan ramah dan memberikan pertolongan yang tidak saya
perlukan. Pertolongan itu kemudian diketahui tidak tulus karena setelah itu
mereka meminta imbalan yang disebutkan sebagai THR.
Tidak semua dari mereka
yang meminta ke saya kemudian saya berikan. Saya hanya memberikan kepada
orang-orang yang memang sudah saya kenal. Atau yang hasil kerjanya saya tahu
berhasil baik. Selain itu, saya juga tidak mendapatkan THR di waktu yang sama
dengan mereka. Pengeluaran ini tentunya akan menjadi pengeluaran tambahan yang
tidak direncanakan. Itu masih belum ditambah dengan faktor sifat saya yang agak
pelit hehehe….
Banyaknya orang yang
tanpa malu meminta THR membuat saya berpikir. Tentunya mereka meminta karena
mereka merasa apa yang mereka miliki tidak cukup. Entahlah karena memang
kekurangan atau hanya merasa diri kurang. Kemiskinan dan mental miskin memang
agak susah dibedakan. {ST}