Suatu hari, saya naik ojek. Saya
berhenti di seberang pangkalan ojek. Dengan bahasa kode, seorang abang ojek
sudah paham kalau saya memerlukan jasanya. Dia segera meluncur ke arah saya.
Abang ojek ini meluncur melawan arus. Dia juga tidak membawa helm.
Setelah menyebutkan tujuan, saya
langsung duduk di belakangnya. Saya sempat menanyakan tentang helm. Sebagai
penumpang, saya tidak diberi helm. Dia pun tidak mengenakan helm. Saya tidak
memperpanjang masalah ini karena harus segera pergi.
Dalam perjalanan, dia mau membelok
ke arah yang menyimpang dari tujuan. Saya segera mengingatkannya untuk kembali
ke tujuan. Yeah, mungkin saja jalan yang saya kira menyimpang itu akan menuju
ke tujuan yang sama. Sepertinya dia mau mengambil jalan-jalan kecil. Saya
meminta dia untuk tetap berada di jalan besar. Jalan-jalan kecil itu, walaupun
menuju tempat yang sama, dihiasi dengan banyak polisi tidur. Perjalanan akan
lebih lama.
Setelah tiba di ruas jalan arteri,
saya meminta untuk diturunkan di persimpangan. Namun dia tidak melakukan itu.
Setelah dia tahu bahwa saya mau turun di halte, dia membelok ke arah kanan,
melawan arus kendaraan. Saya sampai menjerit minta kendaraan dihentikan.
“Stop, stop, stop! Stop di sini
sekarang,” perintah saya.
“Santai aja, Bu. Saya sudah biasa,”
katanya dengan santai.
Sambil menggelengkan kepala, saya
mengomelinya. Saya betul-betul tidak suka dengan caranya membawa kendaraan
bermotornya. Biasa, kok, melanggar hukum dan membahayakan nyawa. Kalau nyawa
sendiri, sih, mendingan. Saya juga tidak bisa mendoakannya untuk mendapatkan
banyak rezeki dari mengojek. Saya memberikan ongkos sambil ngeloyor pergi
melanjutkan perjalanan. {ST}