Baru-baru ini dunia berita
dihebohkan oleh kematian Yuyun, seorang remaja 14 tahun yang kehilangan
nyawanya karena dibunuh oleh 14 orang setelah sebelumnya diperkosa
beramai-ramai. Berita ini makin luas beredar karena adanya media sosial. Kabarnya,
para pelaku sudah ditangkap dan diproses secara hukum.
Kematian
Yuyun ini menimbulkan banyak reaksi. Kebanyakan mengutuk perbuatan itu. Banyak
pula yang menyatakan simpati dengan mengunggah foto lilin untuk Yuyun. Keprihatinan
itu menggunakan tagar #NyalauntukYuyun. Banyak kenalan saya yang ikut dalam
aksi untuk Yuyun, tetapi saya tidak. Saya juga tidak mau copy paste tulisan yang beredar di beberapa group WhatsApp yang
saya ikuti.
Saya
tidak ikut-ikutan membahas Yuyun (di media sosial) bukan karena tidak peduli
atau tidak punya perasaan. Saya justru merasa pedih dan ngilu mendengar
beritanya. Saya juga pernah menjadi
seorang remaja perempuan berusia 14 tahun. Ngilu rasanya kalau menempatkan diri
pada posisi Yuyun. Saya bersyukur tidak harus bertemu dengan para kriminal
seperti yang ditemui Yuyun. Kalaupun iya, kemungkinan saya juga akan kehilangan
nyawa karena saya akan habis-habisan berjuang untuk bertahan. Lebih baik mati
daripada…..
Dalam
beberapa share teman-teman saya,
kebanyakan mengutuk dan mengecam aksi para pemerkosa itu. Tidak sedikit yang
menyesalkan hukuman yang dianggap tidak setimpal bagi para kriminal itu. Pada akhir
tulisannya juga ada ajakan supaya terus menyebarkan hal ini supaya beritanya
tidak tenggelam. Nah, justru di situlah yang membuat saya memutuskan tidak
ikut-ikutan. Saya tidak bersedia menyebarkan berita buruk.
Dalam
ajaran berdasar kasih yang saya anut, kebaikan adalah obat untuk menghilangkan
kejahatan. Apa gunanya kita mengutuk kejahatan atau menyebarkan berita buruk? Itu,
kan, sama saja dengan mengutuk kegelapan. Hampir tidak ada gunanya kalau tidak
ada yang menjadi terang. Kita harus berbuat sesuatu yang berbeda kalau mau
hasil yang berbeda.
Saya
rasa masalah ini tidak akan selesai hanya dengan mengutuk atau mengecam. Kalau diperhatikan,
para kriminal itu sampai berbuat demikian karena sering menonton film porno.
Inilah akar masalahnya. Masalah itu tidak hanya masalah bagi para pelaku. Ada
banyak faktor, termasuk lingkungan tempat tinggalnya.
Menkopolhukam, Bapak Luhut Binsar Panjaitan ternyata juga
memiliki kepedulian tentang hal ini. Dia adalah seorang kakek yang memiliki
cucu perempuan. Saya tak sengaja membaca postingannya di Facebook karena di-share oleh seorang teman saya. Ternyata
dia juga menilai akar masalahnya adalah kegemaran para pelaku itu menonton
video porno. Ini adalah kutipannya, “Melalui kejadian ini kita sebenarnya
melihat betapa kurang optimalnya pendidikan di negara kita dalam menanamkan
nilai-nilai luhur kepada generasi penerus Bangsa. Pendidikan yang saya maksud
tidak hanya mencakup pendidikan formal semata, tapi juga pendidikan di
lingkungan keluarga di mana orang tua lebih banyak berperan. Menurut saya,
seharusnya orang tua lebih banyak meluangkan waktu untuk mengawasi dan mengajarkan
nilai-nilai agama dan nilai-nilai luhur kepada anak-anaknya. Maka dari itu,
kepada para orang tua, saya menitipkan pesan supaya Anda dapat mengajarkan
nilai-nilai yang benar dan kedisiplinan kepada anak-anak Anda, supaya mereka
bisa menghadapi era yang makin canggih ke depannya. Bukan hanya tugas
pemerintah saja untuk mencegah terjadinya kembali kejahatan biadab ini. Kita
semua para orang tua juga turut bertanggung jawab, tidak peduli apapun latar
belakang kita.”
Saya sangat setuju dengan pendapat Pak Luhut. Pendidikan
pun tidak hanya tanggung jawab orang tua yang memiliki hubungan darah saja.
Semua orang dewasa seharusnya terlibat dalam proses pendidikan. Semua orang itu
artinya termasuk saya juga.
Saya
juga menandatangani petisi Desak Pembahasan UU Penghapusan Kekerasan Seksual.
Saya mengambil keputusan ini karena penjelasan ini. RUU ini penting karena akan
memberikan payung hukum untuk melindungi korban dan mencegah kekerasan seksual
melalui:
1. Perangkat perundangan yang adil, berpihak pada korban dan mencakup semua jenis dan kompleksitas kekerasan seksual
2. Proses penyidikan dan peradilan yang berpihak pada korban
3. Perubahan pandangan dan perilaku penegak hukum, pembuatan kebijakan dan masyarakat umum tentang kekerasan seksual sebagai kejahatan kemanusiaan, bukan masalah susila
1. Perangkat perundangan yang adil, berpihak pada korban dan mencakup semua jenis dan kompleksitas kekerasan seksual
2. Proses penyidikan dan peradilan yang berpihak pada korban
3. Perubahan pandangan dan perilaku penegak hukum, pembuatan kebijakan dan masyarakat umum tentang kekerasan seksual sebagai kejahatan kemanusiaan, bukan masalah susila
Saya
harap penyelesaian masalah ini tetap menjadi perhatian sampai dunia ini terpulihkan,
tidak hanya menjadi trending topic
sesaat. Saay sengaja mencatat hal ini sebagai pengingat bagi diri sendiri dan
juga untuk memantau perkembangan petisi yang saya tanda tangani dengan sadar
dan tanpa paksaan. {ST}