Ana

Rabu, 04 Mei 2016

Kepergian Yuyun





            Baru-baru ini dunia berita dihebohkan oleh kematian Yuyun, seorang remaja 14 tahun yang kehilangan nyawanya karena dibunuh oleh 14 orang setelah sebelumnya diperkosa beramai-ramai. Berita ini makin luas beredar karena adanya media sosial. Kabarnya, para pelaku sudah ditangkap dan diproses secara hukum.
Kematian Yuyun ini menimbulkan banyak reaksi. Kebanyakan mengutuk perbuatan itu. Banyak pula yang menyatakan simpati dengan mengunggah foto lilin untuk Yuyun. Keprihatinan itu menggunakan tagar #NyalauntukYuyun. Banyak kenalan saya yang ikut dalam aksi untuk Yuyun, tetapi saya tidak. Saya juga tidak mau copy paste tulisan yang beredar di beberapa group WhatsApp yang saya ikuti.
Saya tidak ikut-ikutan membahas Yuyun (di media sosial) bukan karena tidak peduli atau tidak punya perasaan. Saya justru merasa pedih dan ngilu mendengar beritanya. Saya juga pernah menjadi seorang remaja perempuan berusia 14 tahun. Ngilu rasanya kalau menempatkan diri pada posisi Yuyun. Saya bersyukur tidak harus bertemu dengan para kriminal seperti yang ditemui Yuyun. Kalaupun iya, kemungkinan saya juga akan kehilangan nyawa karena saya akan habis-habisan berjuang untuk bertahan. Lebih baik mati daripada…..
Dalam beberapa share teman-teman saya, kebanyakan mengutuk dan mengecam aksi para pemerkosa itu. Tidak sedikit yang menyesalkan hukuman yang dianggap tidak setimpal bagi para kriminal itu. Pada akhir tulisannya juga ada ajakan supaya terus menyebarkan hal ini supaya beritanya tidak tenggelam. Nah, justru di situlah yang membuat saya memutuskan tidak ikut-ikutan. Saya tidak bersedia menyebarkan berita buruk.
Dalam ajaran berdasar kasih yang saya anut, kebaikan adalah obat untuk menghilangkan kejahatan. Apa gunanya kita mengutuk kejahatan atau menyebarkan berita buruk? Itu, kan, sama saja dengan mengutuk kegelapan. Hampir tidak ada gunanya kalau tidak ada yang menjadi terang. Kita harus berbuat sesuatu yang berbeda kalau mau hasil yang berbeda.
Saya rasa masalah ini tidak akan selesai hanya dengan mengutuk atau mengecam. Kalau diperhatikan, para kriminal itu sampai berbuat demikian karena sering menonton film porno. Inilah akar masalahnya. Masalah itu tidak hanya masalah bagi para pelaku. Ada banyak faktor, termasuk lingkungan tempat tinggalnya.
Menkopolhukam, Bapak Luhut Binsar Panjaitan ternyata juga memiliki kepedulian tentang hal ini. Dia adalah seorang kakek yang memiliki cucu perempuan. Saya tak sengaja membaca postingannya di Facebook karena di-share oleh seorang teman saya. Ternyata dia juga menilai akar masalahnya adalah kegemaran para pelaku itu menonton video porno. Ini adalah kutipannya, “Melalui kejadian ini kita sebenarnya melihat betapa kurang optimalnya pendidikan di negara kita dalam menanamkan nilai-nilai luhur kepada generasi penerus Bangsa. Pendidikan yang saya maksud tidak hanya mencakup pendidikan formal semata, tapi juga pendidikan di lingkungan keluarga di mana orang tua lebih banyak berperan. Menurut saya, seharusnya orang tua lebih banyak meluangkan waktu untuk mengawasi dan mengajarkan nilai-nilai agama dan nilai-nilai luhur kepada anak-anaknya. Maka dari itu, kepada para orang tua, saya menitipkan pesan supaya Anda dapat mengajarkan nilai-nilai yang benar dan kedisiplinan kepada anak-anak Anda, supaya mereka bisa menghadapi era yang makin canggih ke depannya. Bukan hanya tugas pemerintah saja untuk mencegah terjadinya kembali kejahatan biadab ini. Kita semua para orang tua juga turut bertanggung jawab, tidak peduli apapun latar belakang kita.”
Saya sangat setuju dengan pendapat Pak Luhut. Pendidikan pun tidak hanya tanggung jawab orang tua yang memiliki hubungan darah saja. Semua orang dewasa seharusnya terlibat dalam proses pendidikan. Semua orang itu artinya termasuk saya juga.
Saya juga menandatangani petisi Desak Pembahasan UU Penghapusan Kekerasan Seksual. Saya mengambil keputusan ini karena penjelasan ini. RUU ini penting karena akan memberikan payung hukum untuk melindungi korban dan mencegah kekerasan seksual melalui:
1. Perangkat perundangan yang adil, berpihak pada korban dan mencakup semua jenis dan kompleksitas kekerasan seksual
2. Proses penyidikan dan peradilan yang berpihak pada korban
3. Perubahan pandangan dan perilaku penegak hukum, pembuatan kebijakan dan masyarakat umum tentang kekerasan seksual sebagai kejahatan kemanusiaan, bukan masalah susila
Saya harap penyelesaian masalah ini tetap menjadi perhatian sampai dunia ini terpulihkan, tidak hanya menjadi trending topic sesaat. Saay sengaja mencatat hal ini sebagai pengingat bagi diri sendiri dan juga untuk memantau perkembangan petisi yang saya tanda tangani dengan sadar dan tanpa paksaan. {ST}


           

Popular Posts

Isi blog ini