Masyarakat Indonesia lebih erat
dengan budaya tuturnya, bukan budaya tulisnya. Tak heran kalau banyak orang
yang berkata “enggak bisa nulis” ketika diminta untuk memberikan tanggapan
secara tertulis. Saya mengenal beberapa orang yang seperti ini.
Budaya tutur juga dipengaruhi oleh
budaya dan tradisi setempat. Cukup banyak budaya Nusantara yang diabadikan secara
turun-temurun dengan bertutur dari generasi ke generasi. Selain karena
kebiasaan, ada punya kebudayaan yang belum mengenal aksara tertulis.
Contohnya kebudayaan Dayak. Suku
penghuni tanah Kalimantan itu tidak mengenal budaya tulis sampai masuknya misisonaris
Belanda yang mengajarkan menulis dan membaca. Walaupun sudah dapat menulis dan
membaca, itu belumlah menjadi kebiasaan apalagi kebudayaan. Budaya tutur masih
sangat kental.
Budaya tulis di keluarga kami,
keluarga keturunan Dayak, dimulai dari kakek saya yang gemar menulis. Dia
menuliskan cukup banyak catatan yang beberapa sudah dibukukan. Ini adalah
kebiasaan yang baik. Kebiasaannya mencatat segala hal membuat pengetahuannya
saat itu dapat kami ketahui kemudian, walaupun kami tidak hidup di zaman yang sama.
Saya pribadi berusaha melanjutkan kebiasaan ini.
Budaya tutur sebenarnya memiliki
banyak kebaikan, kok. Dengan bertutur, yang biasanya dilakukan secara langsung,
orang menjadi lebih akrab. Selain itu memungkinkan pula untuk menjadi diskusi 2
arah.
Salah satu kelebihan dan dan juga
kelemahannya adalah mudahnya informasi ini menyebar dan menjadi bias. Cukup
banyak informasi yang setelah sampai ke beberapa orang menjadi sangat berubah
dari aslinya. Kalau itu sebuah cerita, mungkin akan menjadi lebih menarik. Lain
halnya bila itu sebuah fakta, maka akan berubah menjadi fiksi yang menyimpang
dari aslinya.
Budaya tutur yang diwariskan
turun-temurun, suatu saat akan luntur. Entah karena ketidakpedulian, atau juga
karena keaadaan. Alangkah baiknya bila budaya tutur juga diimbangi dengan buaya
tulis sehingga sesuatu yang baik dapat terus lestari dan dituturkan dengan
baik. {ST}