Suatu hari saya mendapatkan video
kiriman melalui WhatsApp. Video ini tidak langsung saya simak. Sebelum melihat
habis video ini, saya pikir isinya tentang sapi lucu. Sekilas saya memang
melihat figur sapi kecil yang masih anak-anak. Saya baru melihatnya malam
harinya. Video itu mengisahkan sisi lain dari produksi susu di Selandia Baru.
Selandia Baru
terkenal akan susu segarnya. Susu sapi tepatnya. Susu sapi hanya dapat
dihasilkan oleh sapi betina yang sedang menyusui. Untuk mendapatkan susu
sepanjang tahun, artinya sapi betina yang diunggulkan harus melahirkan anak
setiap tahunnya. Memang itulah yang terjadi. Sapi-sapi betina itu hampir setiap
tahun melahirkan anak.
Setelah
melahirkan, anak sapi itu langsung dipisahkan dari induknya. Ada beberapa anak
sapi dalam 1 peternakan. Induknya tetap di padang rumput yang subur, sementara
anak-anaknya diangkut dengan truk khusus. Anak-anak ini dikumpulkan untuk
kemudian dibawa ke pejagalan. Ya, anak-anak sapi ini akan segera dijagal dan
dijadikan makanan bagi manusia.
Anak-anak
sapi itu tidak mendapatkan susu induknya sama sekali sejak dilahirkan. Banyak
anak sapi yang menjadi lemah bahkan mati dalam perjalanan itu. Anak sapi yang
mati langsung dibuang dan tidak dijadikan pangan. Yang berhasil melewati
perjalanan itu, akhirnya harus menemui ajalnya di pejagalan.
Saya cukup
sedih dan prihatin melihat video itu. Apalagi di video itu ada teks yang
mengisahkan tentang kekejaman di balik segelas susu. Video itu sepertinya
memang membawa orang untuk menempatkan diri di sudut pandang sapi. Kabarnya,
anak-anak sapi itu umurnya paling lama hanya seminggu sebelum dijadikan daging.
Secara
logika, sebenarnya wajar-wajar saja menjadikan sapi (dan anak sapi) menjadi
makanan. Daging sapi yang dijadikan makanan bukanlah sesuatu yang baru di dunia
ini. Namun jadi berbeda halnya ketika melihat perjalanan yang harus dilalui
anak-anak sapi itu. Anak-anak yang lucu itu diperlakukan tanpa
perikebinatangan. Benar-benar diperlakukan seperti barang.
Setelah
melihat video itu, mungkin saya tidak akan tega lagi memakan daging anak sapi.
Mungkin, lo! Entahlah kalau masakannya enak. Hehehe…. {ST}