Dalam sebuah kunjungan ke sebuah
sekolah dasar, saya dikejutkan oleh sikap seorang anak. Anak itu melengkungkan
punggungnya ke belakang, dan kemudian kayang. Saya sampai bengong melihatnya.
“Wah, hebat! Bisa kayang!” puji saya
dengan tulus.
Anak itu kemudian kembali ke sikap
berdiri. Dia tersenyum lebar dengan wajah senang, khas anak-anak yang sedang
memamerkan karyanya. Tak lama kemudian, dia kembali melakukan sikap kayang.
Saya pun kembali bertepuk tangan melihat atraksinya itu.
Saya sudah lama tidak melakukan
kayang. Rasanya terakhir waktu masih SMA. Itu pun saat pelajaran olahraga. Setelah
itu tidak pernah lagi. Selain karena tidak suka, badan saya memang kurang
lentur. Kalau memilih olahraga, saya tidak akan memilih kayang.
Waktu SD, ada beberapa teman saya
yang suka kayang. Mereka kayang seperti sedang bermain. Anak yang kayang akan
menerima kekaguman dari teman-temannya yang tubuhnya tidak selentur itu.
Anak-anak seperti saya ini tepatnya. Kekaguman itu kemudian dilanjutkan dengan
percobaan oleh anak-anak lain yang tidak mau kalah. Saya juga pernah
mencobanya. Berhubung badan saya tidak lentur, maka akan ada teman lain yang
membantu memegang bagian pinggang saya. Selanjutnya saya akan gantian membantu
teman saya itu.
Berbeda
dengan anak kayang yang saya temui di SD itu, hanya dia sendiri yang kayang.
Teman-temannya tidak ada yang mencoba mengikutinya. Beberapa teman lainnya
tetap asyik bermain dan ngobrol di sekitarnya. Beberapa lagi ada yang makan.
Saat itu memang sedang jam istirahat. Beberapa anak sedang memakan bekalnya.
Seorang anak
yang menemani saya mengagumi si anak kayang adalah seorang anak bertubuh agak
tambun yang sedang memakan donat. Saya menduga anak ini tidak bisa kayang.
Ternyata memang benar. Menurut pengakuannya sendiri, ia tidak bisa kayang dan
tidak suka kayang. Ia lebih suka makan donat rasa cokelat. {ST}