Hari Sabtu pagi itu adalah
jadwal saya untuk tes kesehatan. Saya harus puasa 10 jam sebelumnya untuk
pemeriksaan ini. Pemeriksaan ini sebenarnya pemeriksaan biasa. Tidak semestinya
saya takut. Entah mengapa, saya selalu merasa takut dan gentar apabila sedang
menjalani tes kesehatan.
Ketakutan saya yang terbesar adalah
ditusuk jarum. Saya juga tidak bisa menjelaskan mengapa saya sampai takut
ditusuk jarum, apalagi pakai acara diambil darahnya. Dalam sejarah kehidupan
saya, sudah berkali-kali saya lemas hampir pingsan saat diambil darahnya.
Padahal darah yang diambil hanya setabung kecil. Bagi saya, proses pengambilan
darah adalah ujian tersendiri.
Logika membuat saya selalu
memberanikan diri berhadapan dengan petugas medis dan jarum-jarumnya. Demikian
juga kali ini. Berkali-kali saya memberikan sugesti pada diri sendiri kalau
saya akan baik-baik saja. Darah yang akan diambil tidak akan membuat saya
kehabisan darah seperi digigit vampir. Sugesti berhasil memenuhi pikiran saya.
Dengan bangga
saya mencatat prestasi saya kali ini. Saat pengambilan darah, sebelum dan
sesudah makan, saya tidak sampai lemas. Rasa gentar sih masih ada. Saya masih
tetap tidak berani melihat ke jarum yang menusuk tangan saya itu, namun saya
berhasil melewatinya.
Tes berikutnya adalah ketika berhadapan
dengan dokter. Dokter yang akan memeriksa saya adalah laki-laki. Dokter ini
akan memeriksa tubuh saya dari kepala sampai kaki, termasuk payudara dan dubur.
Perawat yang
membantu pengecekan fisik saya memberitahukan kepada saya sebelumnya. Sepertinya
pemberitahuan itu supaya saya tidak kaget. Sekali lagi saya memenuhi pikiran
saya dengan logika. Sebenarnya tidak ada masalah dokternya laki-laki atau
perempuan. Tugasnya sama saja, kok.
Dalam
kenyataannya tidak semudah itu menerima kenyataan. Saya merasa sangat tidak
nyaman ketika sang dokter memeriksa tubuh saya yang nyaris tanpa busana. Saya
tahu ketidaknyamanan itu terlihat di wajah saya. Sepertinya saya cemberut
hampir selama pemeriksaan. Saya juga tidak berani memandang dokternya.
Rasanya…malu.
“Lihat ke
depan. Lihat ke saya,” tegur dokter muda itu saat pemeriksaan mata.
Saya terpaksa
memandang wajah dokter itu. Saat itulah saya baru mengamati kalau dia masih
muda. Saya pikir dokter-dokter di rumah sakit tua ini juga tua-tua. Kemudaannya
itu justru membuat saya lebih malu lagi. Pada pemeriksaan hidung, leher, dan
seterusnya, saya segera mengalihkan pandangan ke dinding, tirai, dan
langit-langit ruangan. Ke mana saja, deh, yang penting enggak ke wajah sang
dokter.
Setelah
pemeriksaan dokter selesai, saya dipersilakan untuk kembali mengenakan pakaian.
Saat itu saya merasa seperti dipermalukan. Hmmm… Mungkin lebih tepatnya merasa
malu. Saya yakin si dokter tidak bermaksud mempermalukan. Lega sekali rasanya
setelah mengenakan seluruh pakaian saya. Saya langsung buru-buru mau ngibrit
dari ruangan. Saya baru ingat mengucapkan terima kasih kepada Pak Dokter sesaat
sebelum melangkahkan kaki keluar pintu ruangan.
Yang paling
konyol adalah saat bertemu dengan dokter itu di lorong. Dokter itu keluar dari
ruangannya sementara saya sedang menunggu. Kami sempat bertatapan sejenak
sebelum saya salting luar biasa. Mungkin wajah saya berubah menjadi merah
karena malu. Bukan malu karena naksir, lo. Walaupun cukup ganteng, wajah dokter
itu bukanlah tipe saya.
Saya segera mengutak-atik
layar telepon seluler supaya tidak ketahuan salah tingkah. Saya juga menunduk
sedalam-dalamnya supaya tidak perlu bertemu pandang dengan sang dokter yang
langkahnya terdengar mendekat. Malu. {ST}
Tidak ada komentar:
Posting Komentar