Beberapa
hari setelah kebijakan plastik berbayar diberlakukan, saya berbelanja ke sebuah
minimarket. Di minimarket ini, harga sebuah kantong plastik adalah Rp 200. Harganya
cukup murah dan sepertinya kurang efektif untuk mengurangi jumlah penggunanya. Kalau
harganya suma segitu, orang tidak terlalu sayang membuang uangnya. Dengan
membeli 5 lembar kantong hanya perlu keluar uang Rp 1000.
Harga
murah itu makin tidak efektif karena perubahan itu tidak diikuti dengan
perubahan cara pandang para pegawai tokonya. Itu bisa dilihat dari kejadian
yang saya alami baru-baru ini.
Saat
itu, saya hanya ingin membeli minuman kopi (karena ngantuk) dan tisu (karena
ingusan). Kedua item yang saya beli ini segera saya bawa ke kasir. Di meja
kasir ada tulisan harga kantong plastik, yaitu Rp 200.
“Beli
ini aja, Mbak? Dikantongin enggak?” tanya sang kasir, seorang perempuan muda.
“Enggak
usah dikantongin,” jawab saya sambil menyodorkan uang.
“Harganya cuma 200, kok,” katanya
dengan nada datar.
“Enggak
usah. Saya bawa aja langsung,” tanggap saya.
Setelah
itu, saya langsung pergi sambil menggelengkan kepala. Sepertinya kasir itu
tidak tahu tujuan kantong plastik berbayar itu. Dia menawarkannya seperti menawarkan
barang dagangan yang bisa menambah omsetnya. Padahal tujuan sebenarnya, kan,
bukan itu. Tujuannya untuk mengurangi sampah plastik yang ada di dunia ini.
Sebisa mungkin kurangi pengunaannya.
Walaupun
tidak lagi memperpanjang urusannya, saya sangat menyayangkan sikapnya yang
kurang ramah itu. Penyebutan harga yang “cuma” Rp 200 itu bisa jadi memberi
kesan seakan-akan dia mengatai pembelinya pelit, tidak mau mengeluarkan uang
yang jumlahnya cuma Rp 200. Dari sisi
saya sebagai pembeli, saya memang tidak memerlukan kantong plastik karena apa
yang saya beli itu segera saya gunakan beberapa detik setelah transaksi
selesai. {ST}
Baca juga: