Ana

Senin, 29 Februari 2016

Hari Buah




            Di kantor tempat saya numpang berkarya, ada hari yang disebut dengan Hari Buah. Pada hari ini, para pegawai mendapatkan buah secara gratis. Tujuannya tentu saja supaya para pekerja di tempat ini menjadi lebih sehat. Buah adalah sumber vitamin yang baik.
            Hari Buah ini disambut dengan sukacita oleh segenap pegawai dan para penggemar gratisan. Saya dan temanteman menyambut gembira hari ini. Artinya, kami akan mendapatkan buah gratis. Horeee....
            Walaupun gratisan, banyaknya buah yang diambil dibatasi. Biasanya ada beberapa paket buah. Ada yang dikemas dalam bentuk rujak. Ada juga yang dipaketkan beberapa macam buah. Saya sering mengambil paket yang isinya beberapa macam buah, seperti yang ada di foto ini, nih. {ST}

Minggu, 28 Februari 2016

Kantong Plastiknya Cuma Rp 200




            Beberapa hari setelah kebijakan plastik berbayar diberlakukan, saya berbelanja ke sebuah minimarket. Di minimarket ini, harga sebuah kantong plastik adalah Rp 200. Harganya cukup murah dan sepertinya kurang efektif untuk mengurangi jumlah penggunanya. Kalau harganya suma segitu, orang tidak terlalu sayang membuang uangnya. Dengan membeli 5 lembar kantong hanya perlu keluar uang Rp 1000.
            Harga murah itu makin tidak efektif karena perubahan itu tidak diikuti dengan perubahan cara pandang para pegawai tokonya. Itu bisa dilihat dari kejadian yang saya alami baru-baru ini.
            Saat itu, saya hanya ingin membeli minuman kopi (karena ngantuk) dan tisu (karena ingusan). Kedua item yang saya beli ini segera saya bawa ke kasir. Di meja kasir ada tulisan harga kantong plastik, yaitu Rp 200.
            “Beli ini aja, Mbak? Dikantongin enggak?” tanya sang kasir, seorang perempuan muda.
            “Enggak usah dikantongin,” jawab saya sambil menyodorkan uang.
            “Harganya cuma 200, kok,” katanya dengan nada datar.
            “Enggak usah. Saya bawa aja langsung,” tanggap saya.
            Setelah itu, saya langsung pergi sambil menggelengkan kepala. Sepertinya kasir itu tidak tahu tujuan kantong plastik berbayar itu. Dia menawarkannya seperti menawarkan barang dagangan yang bisa menambah omsetnya. Padahal tujuan sebenarnya, kan, bukan itu. Tujuannya untuk mengurangi sampah plastik yang ada di dunia ini. Sebisa mungkin kurangi pengunaannya.
            Walaupun tidak lagi memperpanjang urusannya, saya sangat menyayangkan sikapnya yang kurang ramah itu. Penyebutan harga yang “cuma” Rp 200 itu bisa jadi memberi kesan seakan-akan dia mengatai pembelinya pelit, tidak mau mengeluarkan uang yang jumlahnya cuma Rp 200.  Dari sisi saya sebagai pembeli, saya memang tidak memerlukan kantong plastik karena apa yang saya beli itu segera saya gunakan beberapa detik setelah transaksi selesai. {ST}

Baca juga:
 

Sabtu, 27 Februari 2016

Toko yang Melayani KJP





            Kartu Jakarta Pintar (KJP) adalah kartu yang diberikan Pemprov DKI Jakarta untuk bantuan sekolah bagi anak yang orang tuanya kurang mampu. Kartu ini menjadi salah satu jurus kampanye calon gubernur DKI Jakarta yang sekarang telah menjadi presiden itu.

            Setelah terpilihnya gubernur dan wakilnya, saya tidak lagi mengikuti perkembangan KJP. Kehidupan saya memang tidak terkait secara langsung dengan KJP. Saya sudah lulus sekolah. Kalaupun melanjutkan sekolah lagi, sepertinya saya juga tidak akan menggunakan KJP.

            Beberapa waktu yang lalu, saya mendengar ada penyalahgunaan KJP oleh beberapa oknum. Dana yang disediakan untuk pemegang KJP awalnya bisa dicairkan. Dana inilah yang kemudian disalahgunakan oleh beberapa orang. Cukup banyak orang tua yang kemudian mengambil dana KJP anaknya dan kemudian digunakan untuk kepentingan lain.

            Penyalahgunaan ini bisa diminimalkan bahkan dihilangkan dengan membuat penggunaan KJP menjadi nontunai. Langkah inilah yang kemudian diambil oleh Pemprov DKI Jakarta. KJP hanya dapat digunakan sebagai kartu debet, bukan lagi kartu ATM.

            Kartu ini kabarnya dapat digunakan di toko-toko tertentu. Salah satunya adalah toko buku besar yang jaringannya banyak sekali. Tinggal tunjukkan kartu ini untuk membeli perlengkapan sekolah. Harga barang akan didebet dari saldo kartu. O ya, harga barangnya juga mendapat diskon, lo.

            Baru kali ini saya berpikir, kebutuhan sekolah itu sebenarnya tidak semuanya bisa didapatkan di toko buku itu. Hampir semua anak sekolah di negeri ini harus mengenakan seragam sekolah. Seragam sekolah ini tidak gratis. Demikian pula dengan sepatunya. Saya ingat, orang tua saya dulu sering ngomel ketika waktunya ganti seragam, karena biayanya besar. Tentunya ada pula toko seragam sekolah dan sepatu yang menerima KJP.
            Toko-toko buku yang jaringannya banyak sekali itu pun belum tentu dapat dijangkau oleh semua kalangan. Kebanyakan toko buku itu berada di pusat perbelanjaan. Tempat-tempat seperti ini biasanya berada cukup jauh dati pemukiman orang yang memerlukan KJP.

            Suatu kali saat pergi ke pasar, saya menemukan kios dengan tulisan “menerima KJP”. Saya senang sekali ketika melihat tulisan itu. Ternyata toko dan kios yang menerima KJP itu benar-benar ada. Semoga saja toko-toko itu dapat mendukung anak-anak di Jakarta supaya menjadi anak pintar, seperti yang menjadi tujuan Kartu Jakarta Pintar. {ST}

Jumat, 26 Februari 2016

Furnitur Kayu Eboni




            Di rumah kami cukup banyak furnitur berbahan kayu eboni. Kayu eboni yang dikenal juga dengan nama kayu hitam ini warnanya memang hitam. Warna hitamnnya itu tidak mulus. Ada guratan-guratan khas kayunya.
            Kayu eboni ini massa jenisnya besar. Hmmm… Intinya, kayu eboni ini berat. Saat baru mengenal kayu eboni, saya sering tertipu melihat fisiknya. Untuk memindahkan furnitur kecil saja, perlu banyak tenaga. Saya yang waktu itu berbadan kurus sering tidak berhasil menggeser meja atau kursi. Lemari apalagi.
            Kayu eboni banyak tumbuh di Sulawesi, terutama Sulawesi Tengah. Aneka furnitur eboni di rumah kami berasal dari Palu, ibu kota Sulawesi Tengah. Papah dulu pernah bertugas di sana. Beberapa furnitur itu ada yang awalnya menjadi furnitur di rumah dinasnya di Palu, ada pula yang sengaja dibeli untuk rumah di Jakarta.
            Saat Papah pindah ke Jakarta, semua furnitur eboni itu pun diangkut ke rumah kami di Jakarta. Rumah kami mendadak penuh oleh furnitur kayu berwarna hitam itu. Kursi tamu, kursi goyang, dan aneka meja di rumah kami terbuat dari bahan kayu hitam. O ya, di rumah kami ada 2 set kursi tamu. Satu set yang memang sudah ada di Jakarta, satu set lainnya berasal dari rumah dinas di Palu.
            Selain berbentuk furnitur, di rumah kami juga banyak hiasan meja dan guci berbahan kayu hitam. Guci itu beraneka ukurannya. Ada yang lebih kecil dari genggaman tangan, sebesar buah apel, sampai sebesar gentong air. Saya punya beberapa hiasan dari kayu hitam di kamar saya.
            Saya dulu sempat bosan dengan banyaknya kayu hitam di rumah kami itu. Warnanya yang hitam membuat ruangan terlihat agak suram. Saya lebih suka warna-warni ceria. Sampai akhirnya saya ngobrol dengan seorang pengagum kayu hitam.
            Orang itu, yang saya sudah lupa namanya, mengatakan kalau kayu hitam itu adalah seni. Guratan yang ada di kayu itulah yang membuatnya berseni. Tidak ada kayu yang persis sama. Kalau bisa menikmatinya, maka kayu hitam tidak akan membosankan. O ya, untuk kayu hitam, makin hitam legam kayunya, makin mahal harganya. Pada kayu yang hitamnya hampir merata, guratannya makin halus.
            Saya pun mencobanya. Saya mengamati guratan yang ada di furnitur rumah kami. Ternyata memang guratan di setiap kayu itu berbeda. Akhirnya saya bisa menikmati seni yang ada di kayu ini. Cara mengamati kayu ini juga saya terapkan pada kayu jenis lainnya. Hasilnya, saya jadi makin suka pada kayu. Mau ikutan mengamati juga? Tuh, liat aja fotonya! {ST}

Popular Posts

Isi blog ini