Suatu kali, saya berkunjung ke
kantor institusi pemerintah untuk keperluan artikel yang saya tulis.
Sebelumnya, saya sudah membuat janji dengan bagian humas. Saya mendapatkan
waktu bertemu jam 10 pagi.
Berhubung letak kantor itu tidak
jauh dari rumah dan rute perjalanan saya setiap pagi, maka saya langsung menuju
ke tempat ini bersama dengan Mocil. Saya memasuki gerbang yang dijaga oleh
beberapa tenaga keamanan. Setelah itu, saya menggerakkan Mocil untuk mencari
tempat parkir.
Setelah berjalan beberapa lama dan
tak kunjung mendapatkan lahan parkir, saya bertanya kepada seseorang yang
sedang berjaga.
“Tidak ada tempat parkir,” katanya
agak ketus.
Saya tidak menyerah. Saya mendatangi
orang yang lainnya. Yang ini menjawab dengan agak ramah.
“Sudah coba tempat parkir yang di
sana?” tanyanya.
“Belum. Saya baru mencari di sekitar
sini,” jawab saya sambil bersiap-siap menjalankan mobil.
“Kalau cuma sebentar, bisa taro di
sini,” katanya sambil menunjuk ke bawah pohon. Tempat itu memang cukup untuk
memarkirkan mobil saya yang kecil itu.
“Tempat
parkir yang lain penuh. Ini sebenarnya bukan tempat parkir,” lanjutnya lagi.
Setelah
memarkir si Mocil dan mengucapkan terima kasih, saya pun berjalan ke tempat
yang sudah ditentukan. Bagian Humas mengarahkan saya ke tempat salah seorang
direktur. Direktur ini mengepalai bagian yang memang sangat relevan dengan
artikel yang saya tulis. Saya segera mewawancarainya. Tidak perlu waktu lama
karena pertanyaannya juga tidak terlalu sulit. Ibu direktur itu sepertinya juga
sudah fasih dengan apa yang saya tanyakan. Hanya sesekali dia melihat ke kertas
yang sepertinya sudah disiapkannya. Itu pun untuk bagian peraturan terbaru.
Setelah
wawancara singkat itu, saya keluar dari gedung didampingi oleh petugas humas
yang dari tadi menemani saya. Pria langsing bertubuh tinggi yang cukup ganteng
itu juga menemani saya melihat-lihat beberapa fasilitas yang berkaitan dengan
anak-anak. Setelah berkeliling, saya pun berpamitan. Kami berpisah di lahan
parkir tak jauh dari pohon tempat Mocil parkir.
“Mbak kenapa
gak bilang tamunya direktur?” tanya seorang satpam yang tadi menjawab saya
dengan ketus.
“Hmmm,” saya
hanya menggumam dan tidak menjawab.
Saya segera
meninggalkan mereka dan menjalankan si Mocil. Dalam hati saya berkata,
“Emangnya kenapa kalau tamu direktur? Apakah itu akan mengubah keadaan? Apakah
saya akan mendapat tempat parkir khusus dan tidak dijawab dengan ketus?” {ST}