Ana

Jumat, 30 Desember 2016

Perampokan di Pulomas




            Dua hari setelah Natal 2016, Jakarta dikejutkan oleh berita “pembunuhan sadis” di Pulomas. Keluarga kami pun terkejut mendengarnya. Pulomas bukanlah daerah yang asing bagi kami. Daerah ini letaknya tak jauh dari tempat tinggal kami. Kami pun cukup sering berkegiatan di daerah itu. Rumah sakit tempat keluarga kami sering berobat berada di tempat ini. Saya juga pernah bersekolah di daerah Pulomas. Tak heran kalau perhatian kami semua langsung terpusat pada berita ini.
Peristiwa itu pun segera menjadi berita utama di media massa. Berita ini pun menjadi pembicaraan di jalan-jalan. Hampir semua mengecam pelakunya yang tega-teganya membunuh 6 orang dari 11 orang yang disekap dalam kamar mandi sempit. Banyak yang membandingkannya dengan pembunuhan sadis yang dilakukan oleh Hitler. Saya sampai ngeri sendiri membayangkannya.
Salah satu yang membuat saya prihatin adalah wafatnya seorang anak yang saat itu sedang menginap di situ. Anak itu memang cukup sering menginap di rumah temannya di Pulomas itu. Kok, kayanya apes banget nasibnya.
Hanya dalam waktu beberapa jam, berita ini sudah menyebar. Tidak hanya sekedar berita berupa fakta. Berita ini telah ditambah analisis dan juga opini. Ada opini oleh orang yang memang memiliki keahlian dalam bidang kriminal. Ada juga yang opininya mengecam dan mengutuk. Ada juga yang bergunjing karena kepala keluarga yang menjadi korban itu telah 3 kali menikah. Berita ini, beserta dengan foto-foto korban, beredar luas di media sosial, terutama group WA.
Makin lama, saya makin malas mengikuti beritanya. Saya memang mengurangi asupan berita yang tidak baik supaya dapat menghasilkan karya yang baik. Bagi saya, berita itu adalah peringatan supaya lebih berhati-hati di rumah. Namun tidak demikian dengan ibu saya. Berita itu rupanya memberi pengaruh besar pada dirinya, mungkin karena merasa dekat dengan lokasinya. Ia menjadi khawatir berlebihan. Kekhawatiran yang menurut saya tidak perlu.
Hanya dalam waktu sehari, para pelaku perampokan itu ditemukan. Mereka tidak hanya ditangkap, ada pula yang terpaksa ditembak. Berita ini makin terkenal. Hampir semua media menampilkannya. Saya tahu berita ini agak terlambat karena seharian berkeliaran di toko-toko kain seputar Pasar Baru. Takjub juga rasanya mendengar pelakunya sudah tertangkap dalam waktu 1 hari saja. Salut untuk para polisi yang sudah bertugas dengan baik.
Dari beberapa pelakunya, ada yang buron. Orang ini kemudian ditangkap di Medan dan dibawa kembali ke Jakarta dengan menggunakan pesawat. Dari pengakuannya terkuak kalau komplotan mereka bukan sekali itu saja merampok rumah-rumah mewah. Mereka pun sebenarnya tidak berniat membunuh. Namun tetap saja yang namanya merampok itu tetap bersalah. Semoga saja proses hukumnya dapat berjalan lancar dan mereka mendapatkan ganjaran yang setimpal. {ST}

Rabu, 28 Desember 2016

Banjir di Bima




            Pada akhir tahun 2016, terjadi banjir besar di Bima, Nusa Tenggara Barat. Banjir ini membuat warga kota itu sangat menderita. Banjir besar ini merusak banyak fasilitas umum dan juga tempat tinggal warga. Banyak warg ayang terpaksa mengungsi karena tempat tinggalnya tak layak lagi untuk ditempati.
            Peristiwa banjir ini tidak terlalu banyak diberitakan. Entah karena letaknya yang jauh dan jauh pula dari jangkauan para reporter, atau mungkin juga beritanya kalah pamor dengan berita lain. Pada saat yang sama, di ibu kota negara, berlangsung pula sidang dugaan penistaan agama.
            Banjir di Kota Bima ini tidak hanya terjadi sekali. Dalam pantauan saya ada 2 kali banjir besar melanda daerah yang sama. Daerah yang semula porak poranda, sudah terlanda banjir lagi tanpa memiliki kesempatan untuk pulih. Banjir dan genangan air itu pun kemudian membuat daya dukung tanah semakin lemah. Beberapa bidang tanah longsor, yang kemudian menjadi bencana baru.
            Dapat dikatakan Kota Bima tertimpa bencana bertubi-tubi, namun tetap saja perhatian media tidak tertuju ke sana. Bencana ini seakan terlupakan. Tak banyak pula yang membuka saluran bantuan untuk bencana ini. Kalaupun ada, bantuan yang diberikan tidak sebanyak di tempat lain yang nama daerahnya lebih terkenal.
            Pemerintah tentunya berusaha memberikan bantuan dan juga pertolongan yang dibutuhkan. Bantuan yang diberikan oleh pemerintah itu tidak selalu memadai. Kadang kala bantuan itu kurang, sehingga masih banyak yang harus menderita. Perlu bantuan tambahan yang biasanya dapat dihimpun dari swadaya masyarakat. Nah, kali ini tidak terlalu banyak masyarakat yang ikut memikirkan bencana yang terjadi di Bima itu. Mungkin karena kurang publikasi, atau juga karena kurang peduli. {ST}

Minggu, 25 Desember 2016

Pohon Natal Kipas Kertas GKI Kwitang





            Hampir setiap tahun GKI Kwitang membuat pohon natal yang istimewa. Demikian pula pada tahun 2016 ini. Pohon natal istimewa ini terbuat dari kipas-kipas kecil yang terbuat dari kertas. Kertasnya dibuat dari majalah bekas.
            Pohon natal dari kertas bekas ini memiliki makna bahwa barang bekas dapat dibentuk menjadi sesuatu yang indah dan berguna. Bahan-bahan yang dikumpulkan oleh jemaat menggambarkan gotong royong dan kebersamaan di antara jemaat GKI Kwitang.
            Pohon natal ini tersusun secara bertahap. Awalnya hanya berupa pohon kecil, karena bahan yang terkumpul belum banyak. Baru seminggu menjelang perayaan Natal pohon ini menjulang tinggi. Kipas-kipas kertas itu menutupi semua permukaannya. Pohon ini bertambah indah karena dihiasi dengan lampu kelap-kelip aneka warna. {ST}

Sabtu, 24 Desember 2016

Topi Santa Bukan Atribut Kristen




            Saat bulan Desember datang, di mana-mana terlihat atribut “Natal” seperti topi Santa Klaus (Sinterlas), salju, pohon natal, rusa kutub, kado, dan Piet hitam (temannya Santa Klaus). Atribut seperti ini biasanya ada di tempat-tempat komersial dan juga di rumah-rumah. Kadang-kadang, ada juga yang menggunakannya di tempat ibadah Kristen.
            Akhir-akhir ini makin santer penolakan orang untuk menggunakan atribut “Natal” karena disangka sebagai atribut agama tertentu. Bahkan ada ormas yang merasa berhak untuk melakukan razia. Syukurnya kelakuan ormas yang keterlaluan ini segera ditertibkan oleh polisi.
            Ada alasan tertentu mengapa saya menuliskan “Natal” dengan tanda kutip. Atribut “Natal” yang dinyatakan haram oleh beberapa kalangan itu sebenarnya bukanlah atribut Natal yang sebenarnya. Atribut-atribut yang digunakan itu hanyalah semacam tradisi, terutama di dunia barat dalam menyambut Natal. Natalnya sendiri, yang dicatat dalam Alkitab, sangatlah sederhana. Sangat jauh dari kemeriahan Natal selama bertahun-tahun ini.
            Atribut dan tradisi Natal itu terbentuk selama ratusan bahkan ribuan tahun. Lama-lama atribut itu menjadi semacam identitas menjelang datangnya Natal. Istilah kerennya akulturasi alias percampuran budaya. “Natal” bahkan menjadi musim tersendiri. Wajar saja kalau banyak orang yang mengidentikkan atribut itu dengan Natal. Orang-orang beragama Kristen yang merayakan Natal saja banyak yang mengira demikian, apalagi yang agama dan kepercayaannya berbeda.
            Razia atau sweeping yang diadakah oleh ormas memancing emosi banyak orang. Kebanyakan teman-teman saya yang sesama Kristen bereaksi cukup keras karena merasa ini adalah perlakuan diskrimininasi. Mereka merasa kebebasan beragamanya terancam. Beberapa yang lain mengecam karena sebenarnya tidak semua orang keberatan menggunakan atribut itu. Razia oleh pihak yang tak berwenang adalah sesuatu yang ilegal. Saya juga turut mengecam tindakan razia oleh ormas yang tidak mau saya sebutkan (tuliskan) namanya itu. Bukan karena saya takut, lo. Tetapi karena saya tidak mau nama ormas itu mengisi blog saya ini. Namun, saya dapat memahami kalau sampai ada yang keberatan menggunakan atribut “Natal” itu.
            Penolakan terhadap atribut “Natal” itu sebenarnya sudah lama. Hanya saja akhir-akhir ini bertambah santer karena adanya media sosial dan seseorang yang diduga menista agama. Perbedaan agama menjadi bertambah runcing dan dianggap persoalan. Padahal bila kita memandangnya dari sudut lain, perbedaan itu bukanlah persoalan sama sekali.
            Beberapa tahun yang lalu, saat bekerja di sebuah perusahaan retail, saya pernah mengepalai sebuah tim kecil. Tim kami bertugas di sebuah toko swalayan yang saat menjelang Natal diminta menggunakan topi santa. Saya tahu beberapa anggota tim saya ada yang keberatan, namun mereka enggan mengungkapkannya. Saya yang biasanya tidak terlalu peka itu kali itu dapat menangkap ketidaksukaan beberapa orang itu lewat raut wajah mereka yang cemberut saat mengenakan topi. Penampilan mereka enggak matching sama sekali dengan Sinterklas yang biasanya selalu tampil ceria penuh tawa ho ho ho.
Akhirnya saya memutuskan kami semua, satu tim, tidak menggunakan topi santa. Mereka yang tadinya cemberut itu langsung tersenyum lega. Saat itu saya dapat memahami kalau mereka sampai keberatan. Tentunya mereka mengira kalau menggunakan atribut itu maka akan menjadi kekristen-kristenan. Walaupun punya kesempatan untuk menjelaskan kalau memakai topi santa itu tidak akan membuat orang menjadi mendadak Kristen, saya tidak melakukannya. Saya memilih lebih baik menjaga kekompakan. Seluruh tim tidak perlu menggunakan topi santa, termasuk saya. Saya lebih memilih senyum tulus tanpa topi daripada melihat “santa” yang cemberut.
Saat kasus topi santa muncul belakangan ini, saya jadi teringat lagi tentang hal itu. Saya membagikan kisah ini kepada beberapa teman. Entah bagaimana tanggapan mereka. Saya juga menambahkan informasi yang sebenarnya mereka sudah tahu, topi santa itu bukan atribut Kristen. Topi santa, tanduk rusa, salju, dll, itu tidak ada dalam cerita kelahiran Yesus Kristus yang tercatat di Alkitab. Dengan demikian, menurut saya, ada atau tidaknya topi santa sebenarnya tidak terlalu penting. Keberadaannya hanya sebagai aksesori.
Anehnya, ada yang mengira saya mendukung adanya razia topi santa. Saya hanya mengernyitkan muka mendengarnya. Saya malas menanggapinya, sepertinya dia juga sedang malas menggunakan otaknya. Kalaupun dilanjutkan obrolannya, tetap saja bakalan buntu hasilnya. Buang-buang waktu saja. Saya tidak mendukung razia oleh ormas itu. Mereka tidak berhak melakukannya. Di mata saya, itu adalah pelanggaran hak asasi manusia.
Walaupun menurut saya topi santa dan atribut lainnya tidak penting-penting amat dalam perayaan Natal, bukan berarti saya keberatan menggunakannya. Saya tetap menggunakan topi santa saat caroling di depan gereja. Bagi saya topi santa semacam aksesoris yang gunanya untuk meramaikan suasana. {ST}

Jumat, 23 Desember 2016

Wajah Pahlawan di Lembaran Uang Baru



Desain baru uang rupiah / Bank Indonesia

            Pada tanggal 19 Desember 2016 yang lalu, Pemerintah RI mengeluarkan uang rupiah baru. Ada 7 mata uang kertas, dan 4 mata uang logam. Ada gambar pahlawan di setiap mata uang itu. Gambar pahlawan-pahlawan itu berbeda dengan yang sebelumnya, kecuali Soekarno – Hatta, para proklamator.
            Lembaran uang kertas yang warnanya mirip dengan uang sebelumnya itu sekilas agak mirip dengan beberapa mata uang asing, misalnya yuan dan riyal. Kemiripannya itu membuat isu tersendiri di masyarakat. Saya tidak mau mencatatnya karena isu itu sangat konyol.
Ada 12 orang pahlawan yang gambarnya menghiasi uang baru ini, yaitu:
1. Dr Ir Soekarno (proklamator kemerdekaan RI, Presiden Pertama RI)
2. Drs Mohammad Hatta (proklamator kemerdekaan RI, Wakil Presiden Pertama RI)
3. Ir H Djuanda Kartawidjaja (pengukuh kedaulatan Indonesia)
4. Letjen TNI TB Simatupang (pelindung kemerdekaan Indonesia)
5. Dr Tjipto Mangunkusumo (pendiri Tiga Serangkai)
6. Prof Dr Ir Herman Johannes (pelindung paripurna Indonesia)
7. Mohammad Hoesni Thamrin (perintis revolusi kemerdekaan Indonesia)
8. Tjut Meutia (pejuang kemerdekaan Indonesia dari era kolonial Belanda)
9. Mr I Gusti Ketut Pudja (Tokoh penentu NKRI)
10.Dr GSSJ Ratulangi (gubernur pertama Sulawesi)
11. Frans Kaisiepo (pahlawan kemerdekaan Indonesia)
12. Dr KH Idham Chalid (guru besar Nahdatul Ulama)
            Wajah-wajah pahlawan di lembaran uang ini memang ada beberapa yang tidak terlalu familiar. Misalnya saja Frans Kaisiepo dari Papua. Wajah khas Indonesia timurnya itu menghiasi mata uang Rp 10.000. Raut wajah seperti pahlawan yang satu ini memang jarang terlihat di daerah bagian barat.
Saya sangat prihatin karena banyak orang yang merendahkan pahlawan ini karena wajahnya. Ada juga yang menganggap beberapa pahlawan sebagai orang “k*f*r”. Yang namanya pahlawan nasional, sudah pasti jasanya diakui secara nasional. Jasanya sudah pasti lebih besar dibandingkan para pencela yang malas itu. Mengapa saya bilang malas? Kalau memang tidak tahu jasanya, kan, bisa cari tahu. Apalagi di era sekarang, mencari informasi sangat gampang. Malas plus arogan jadinya ya seperti itu. Miskin karya tetapi sesumbar. Semacam tong kosong yang nyaring bunyinya. Yang dikeluarkan adalah nista dan fitnah.
Prihatin saja tidak cukup, saya juga turut dalam petisi yang menuntut seorang pencela pahlawan itu ditindak secara hukum. Saya secara rutin memantau perkembangan petisi ini. Semoga saja penista pahlawan itu segera diproses hukum dan mendapat ganjaran yang setimpal.
Saya jadi membayangkan, bagaimana jadinya jika para penista pahlawan itu mendapatkan segepok uang baru bergambar para pahlawan yang mereka nista? Apakah mereka akan membuangnya? Ataukah mereka tetap menggunakannya? {ST}

Popular Posts

Isi blog ini