Saya agak jarang membicarakan
tentang spiritualitas, terutama dengan orang-orang yang berbeda agama. Menurut
saya, soal agama dan keyakinan adalah hal pribadi yang tak perlu dibahas.
Apalagi yang namanya keyakinan pasti diyakini benar oleh pemeluknya. Keyakinan
yang berbeda kemungkinan tidak akan mencapai titik temu. Nah, pembicaraan macam
ini yang menurut saya sia-sia saja. Selain tidak ada manfaatnya, saya juga
malas berdebat.
Suatu saat, pembicaraan yang sedang
saya ikuti mengarah ke tema yang ini. Saya sudah siap-siap kabur dengan alasan
mau pipis. Sebenarnya memang mau pipis beneran, kok. Hanya setelah pipis
niatnya saya tidak akan kembali ke perbincangan itu kecuali topiknya diganti.
Saya jadinya memang benar-benar pergi namun ada yang menyangkut dalam ingatan.
Salah seorang teman ngobrol saya itu mengatakan kalau orang yang spiritual itu
beda dengan orang yang religius, orang yang taat menjalani ajaran/aturan
agamanya.
Pemikiran ini tetap tinggal dalam
kepala saya sampai saya membaca sebuah buku yang ditulis oleh Ken Blanchard.
Ken Blanchard adalah seorang penulis terkenal tentang manajemen dan
kepemimpinan. Dalam buku ini, yang saya lupa judulnya apa, dituliskan tentang
seorang yang tidak terlalu religius. Selama ini dia ke rumah ibadah secara
rutin karena mengikuti kepercayaan suaminya. Apa yang dirasakannya ketika
berada di rumah ibadah? Hampa. Ya, dia merasa hampa karena tidak bisa
menghayatinya.
Orang itu kemudian mengalami
“pencerahan”. Ceritanya dia mengalami suatu masalah yang belum ada solusinya. Dia
bahkan belum memikirkan solusinya sedikit pun. Tak lama kemudian, solusinya
muncul sendiri tanpa dia usahakan sedikit pun. Saat itulah dia merasa sangat
terharu dan memiliki penolong yang tidak kelihatan. Saat itulah dia mengakui
dengan sepenuh hati kalau ada kuasa yang lebih tinggi darinya. Menurut dia, itu
adalah bentuk spiritualitasnya, tanpa harus mengikuti tradisi agama tertentu.
Bisa dikatakan dia adalah seorang yang agnostik.
Orang itu memang selalu mengikuti
pasangannya untuk kebaktian hari Minggu di gereja. Dia juga mengizinkan semua
anaknya untuk belajar di kelas sekolah Minggu, yang artinya dia mengizinkan
anak-anaknya belajar agama Kristen. Namun, dia sendiri tidak pernah merasakan
kehadiran Tuhan, dan tidak pula merasa terhubung dengan sesuatu yang maha
kuasa. Menurutnya, agama dan tradisi lebih banyak membuat masalah di dunia.
Banyak sekali pertikaian bahkan peperangan yang mengatasnamakan agama sepanjang
sejarah dunia ini.
Membaca hal itu, saya jadi mencoba
mengingat sejarah dunia. Memang banyak sekali pertikaian dan peperangan yang
terjadi karena perbedaan agama. Itu bahkan terjadi di negeri ini yang mengaku
penuh toleransi. Agama-agama yang berawal dari tempat yang sama yang paling
banyak bertikai. Enggak usah disebutlah yang mana. Semua juga tahu dan bisa
menebaknya dengan benar.
Lama-lama, agama dan tradisinya
memang jadi membatasi nilai-nilai luhur yang menjadi awal pembentukan
kepercayaan itu. Saya tidak perlu membicarakan agama orang. Dalam agama saya
sendiri, Kristen, banyak sekali aliran dan ajarannya. Masing-masing (tentu
saja) merasa ajarannya yang paling benar. Cukup banyak orang yang tergoda untuk
menyalahkan aliran atau ajaran lain yang berbeda, dan itu menjadi hal biasa.
Saya juga pernah melakukannya. Yang paling parah, para pemimpinnnya pun sering
berpendapat demikian. Pendapat salah itu bahkan bisa dikatakan fitnah. Tentu
saja kelakuan ini diikuti oleh para pengikutnya.
Setelah bertahun-tahun hidup di
dunia ini, spiritualitas saya sepertinya makin matang. Saya merasa lebih
mengenal Tuhan dan lebih bisa bersyukur. Spiritualitas itu cukup bisa
tersalurkan dalam agama yang saya anut beserta tradisinya. Itu juga sebabnya
saya tetap setia beribadah di tempat yang itu-itu saja dan bertemu dengan orang
yang itu-itu saja. Bagi saya, itu saja sudah cukup. {ST}