Hari Senin tanggal 21 Desember 2015
yang lalu, sopir-sopir Metromini melakukan mogok masal. Kendaraan bernama mini
yang ukurannya tidak mini ini menghilang dari jalanan Jakarta.
Terminal-terminal yang biasanya dipadati oleh kendaraan berwarna oranye itu
mendadak kosong melompong. Ya, metromini memang mendominasi kendaraan yang ada
di terminal dalam kota Jakarta.
Para supir Metromini melakukan mogok
kerja karena menentang penertiban kendaraan umum di DKI Jakarta yang langsung
dikumandangkan oleh gubernurnya, Ahok. Ahok dan jajarannya telah mengandangkan
ratusan kendaraan umum yang tidak laik jalan, termasuk Metromini. Ahok juga
menyarankan Metromini untuk bergabung atau terintegrasi dengan Transjakarta.
Ancaman mogok para supir Metromini
ternyata cukup dapat diantisipasi oleh Pemda dan masyarakat. Pemda menyediakan
bus sekolah berwarna kuning untuk membantu transportasi warga yang biasanya
berkendara dengan menggunakan Metromini. Selain itu, sepertinya sudah cukup
banyak penumpang atau calon penumpang yang tahu bahwa minibus berwarna orangye
itu akan mogok. Tidak terjadi penumpukan calon penumpang di terminal maupun
halte bus.
Hari Senin itu sebenarnya saya lebih
banyak berada di rumah. Tentu saja saya tidak merasakan langsung dampak
hilangnya Metromini dari jalanan Jakarta. Saya hanya memantaunya di media
online dan TV. Saya pikir, hilangnya kendaraan umum ini akan mengakibatkan
masalah baru, ternyata enggak juga, lo.
Di media sosial, banyak juga yang
justru bersyukur dengan hilangnya Metromini dari jalanan. Beberapa orang
mengunggah foto jalanan yang terlihat lebih tenang dan tertib tanpa kendaraan
oranye itu. Saya mungkin akan berkelakuan sama dengan mereka. Sebagai pengguna
kendaraan pribadi, ulah para supir Metromini yang seenaknya saja itu
kadang-kadang sangat mengganggu. Baru-baru ini mobil saya bahkan pernah
ditabrak oleh Metromini dalam perjalanan ke kantor.
Esoknya, hari Selasa, armada
Metromini sudah ada yang kembali ke jalanan. Sepertinya masih ada pula yang
belum narik. Metromini yang saya temui dalam perjalanan ke kantor tidak
sebanyak biasanya. Hmmm… Selain karena mogok masal, Metromini yang rutenya di
dekat kantor saya memang beberapa hari ini enggak narik. Sebelumnya ada
Metromini yang dibakar massa karena telah menabrak sepasang ibu dan anak.
Dari berita-berita online yang saya
baca, sebenarnya mogok kerja adalah dilema bagi kebanyakan supir Metromini.
Kalau mereka enggak narik, mereka tidak bisa mendapatkan pemasukan. Kalau
narik, artinya menyetujui tindakan Pemda dan Dephub yang “mengandangkan”
kendaraan teman-temannya. Ada yang mengaku mogok kerja sebagai bentuk
solidaritas kepada rekannya.
Sekali lagi, sebagai pengguna
kendaraan pribadi yang kerap terganggu dengan ulah supir dan kenek Metromini,
saya sebenarnya mendukung kalau Metromini dihilangkan saja. Namun, kalau
memikirkan para pengguna kendaraan umum yang biasanya berkendara dengan
Mtromini, rasanya dukungan saya tidak adil juga. Selain itu, masih ada supir
dan kenek Metromini beserta dengan keluarganya yang menggantungkan hidupnya
pada jalannya kendaraan ini.
Solusi yang bisa saya pikirkan
hanyalah memperbarui Metromini, baik kendaraannya maupun cara supirnya
menjalankan kendaraan. Proses ini memang tidak mudah dan perlu biaya besar.
Saya sudah jelas tidak bisa menyediakan biayanya. Tawaran Pak Gubernur untuk
bergabung dengan Transjakarta adalah tawasan solusi yang paling masuk akal saat
ini. Entahlah bagaimana nantinya proses penggabungannya. Kita lihat saja. {ST}