Ana

Kamis, 31 Desember 2015

456 Artikel




            Selain rutin menulis di blog ini, saya juga rutin menulis di Bobo Online, situs internet khusus anak-anak. Saya berusaha menulis lebih dari yang ditargetkan oleh perusahaan tempat saya numpang berkarya itu. Seperti juga blog ini, saya juga berusaha menerbitkan sebuah tulisan setiap harinya.
            Keinginan untuk menerbitkan sebuah tulisan setiap hari itu belum tercapai di tahun ini. Ada kalanya saya terlalu sibuk dengan tugas lain sampai tidak sempat untuk menulis. Sering pula saya kehilangan konsentrasi untuk menulis.
Menulis artikel untuk anak-anak itu gampang-gampang susah. Kalau bahannya sudah ada di pikiran, gampang saja. Tinggal menyusunnya menjadi kalimat sederhana yang tidak lebih dari 200 kata. Agak susahnya karena tulisan ini harus benar. Perlu riset dan waktu untuk belajar bila pengetahuan itu belum saya kuasai.
Tanpa terasa di akhir tahun 2015 ini saya sudah menulis ratusan artikel di Bobo Online. Jumlahnya nomor cantik, lo. Ada 456 artikel. Artikel itu jumlahnya masih akan bertambah lagi. Nanti kalau jumlah artikelnya mencapai angka cantik berikut, saya pasti akan menceritakannya di blog ini. {ST}

Panggung Tahun Baru Ditiadakan




            Beberapa jam lagi, tahun akan berganti. Tahun 2015 akan menjadi tahun 2016. Malam pergantian tahun ini dirayakan oleh banyak orang, tidak terbatas pada agama atau suku tertentu. Pergantian tahun juga menjadi bahan jualan bagi banyak industri.
            Kemeriahan malam tahun baru yang paling sering adalah dengan mengadakan panggung hiburan. Panggung hiburan ini diadakan sejak sore hari dan masih berlangsung hingga tengah malam. Pada saat tengah malam, orang-orang yang berkumpul itu bersama-sama menghitung detik-detik terakhir pergantian tahun. Setelah itu bunyi-bunyian terdengar. Terompet kertas adalah alat musik berisik yang paling sering digunakan.
            Dua tahun lalu, pergantian tahun di Jakarta dirayakan dengan sangat meriah. Gubernur saat itu, Joko Widodo, memerintahkan untuk mendirikan beberapa panggung di sepanjang Jalan Sudirman dan Jalan Thamrin. Sehari-harinya, jalan ini adalah jalan yang sangat padat. Jalan ini juga dibebaskan dari kendaraan bermotor.
            Pada akhir tahun ini, panggung hiburan di sepanjang jalan itu ditiadakan. Tidak ada kegiatan hiburan khusus di tempat ini walaupun jalan tetap dibebaskan dari kendaraan bermotor. Pengumuman tentang tiadanya panggung hiburan ini sudah ada sejak beberapa hari yang lalu.
            Pemda DKI Jakarta memberikan penjelasan untuk absennya panggung hiburan ini. Pengumpulan massa di daerah itu memang dihindari karena adanya pembangunan MRT. Pembangunan terowongan MRT ini memakan sebagian badan jalan. Untuk membangun terowongan itu, ada beberapa lobang yang memang sengaja dibuat. Lobang-lobang ini kemungkinan akan menimbulkan masalah baru bila banyak orang berkumpul bersamaan. Bisa jadi ada orang yang tidak sengaja terjatuh ke dalam lobang ini.
            Bagi saya, ada atau tidak ada panggung hiburan enggak terlalu ngaruh. Kalaupun ada, saya tidak terlalu tertarik untuk menghabiskan waktu di tempat itu. Keluarga kami akan berkumpul bersama di rumah kami yang indah permai itu. {ST}

Kebijakan 1 Anak di Tiongkok Dihapuskan




            Sudah sejak tahun 1970-an di Tiongkok diberlakukan kebijakan 1 anak dalam 1 keluarga. Kebijakan itu diambil pemerintah karena banyaknya penduduk negeri ini. Itu baru yang menjadi warga negaranya, yang tinggal di Tiongkok. Kalau dihitung dengan orang-orang keturunan Tionghoa di seluruh dunia, jumlahnya akan menjadi sangat banyak.
            Kebijakan 1 anak 1 keluarga ini membawa dampak sampingan, terutama pada anak-anak perempuan. Menurut budaya Tiongkok, anak laki-laki memang bernilai lebih dibandingkan dengan anak perempuan. Anak laki-laki adalah pembawa nama keluarga. Tak heran kalau hampir setiap keluarga di Tiongkok mengharapkan anak laki-lakilah yang akan mereka miliki. Harapan itu menjadi sangat besar karena kebijakan 1 anak 1 keluarga itu.
            O ya, saya menuliskan Tiongkok, bukan Cina atau China. Bukan berarti itu sesuatu yang berbeda. Maksudnya sih sama aja. Tiongkok adalah penyebutan resmi di negeri kita ini. Saya pernah membacanya. Seorang teman saya juga pernah menuliskannya di media anak tempat kami numpang berkarya.
            Dalam masa-masa pertumbuhan saya, saya dibuat berkali-kali bersyukur karena tidak dilahirkan di Tiongkok. Sebagai anak perempuan dalam keluarga, memang ada sedikit pembedaan oleh orang tua bila dibandingkan dengan apa yang diberikan kepada kakak laki-laki saya. Namun, saya masih tetap terpelihara dan mendapatkan fasilitas yang cukup sampai tumbuh dewasa. Bayangkan kalau saya lahir di Tiongkok, mungkin saya tidak akan pernah sekolah atau malah menjadi penghuni panti asuhan.
            Kebijakan 1 anak 1 keluarga itu benar-benar dijalankan di Negeri Tirai Bambu itu. Semua orang kabarnya harus menaati kebijakan ini. Tidak ada orang penting, orang kaya, ataupun kerabatnya orang penting dan orang kaya yang bisa menentangnya. Kalau sampai kejadian sebuah keluarga memiliki lebih dari 1 anak, maka akan kena denda atau bayinya akan diaborsi paksa. Hiii….
            Ada juga yang kabarnya sengaja membiarkan anak perempuannya tidak terpelihara sampai meninggal. Dengan demikian mereka memiliki kesempatan untuk memiliki anak baru. Tentu saja yang diharapkan anak yang akan lahir itu adalah laki-laki. Entah disengaja atau tidak, hampir di seluruh negeri ini kebanyakan keluarga memiliki anak laki-laki. Jumlah anak laki-laki jauh lebih banyak dibandingkan dengan anak perempuan.
            Kebanyakan orang yang mampu, akan keluar dari tanah airnya. Mereka bermigrasi yang mencari penghidupan yang baru di tanah yang baru. Di tempat baru ini, pemerintah tidak membatasi jumlah anak. Mungkin malah mereka sendiri yang membatasinya karena berbagai alasan.
            Akhir tahun 2015 ini, pemerintah Tiongkok secara resmi mencabut kebijakan 1 keluarga 1 anak itu. Setelah 30 tahun lebih, anak-anak yang lahir dalam masa kebijakan itu telah tumbuh dewasa. Sudah waktunya untuk mendapatkan pasangan. Sayangnya saat ini jumlah perempuan yang sebaya tidak sama banyaknya. Jomplang. Jumlah penduduk laki-laki jauh lebih banyak. Angkatan kerja pun menyusut jumlahnya. Itulah yang membuat pemerintahnya mengubah kebijakan 1 anak 1 keluarga itu. Kali ini kebijakannya menjadi 2 anak 1 keluarga. Hampir-hampir mirip dengan program KB yang ada di Indonesia. {ST}

Rabu, 30 Desember 2015

Gereja yang Berubah Menjadi Tempat Main Skateboard Warna-Warni


Sumber foto: treehugger.com/Red Bull Media


            Saya selalu tertarik melihat warna-warni pelangi. Saya bahkan mewarnai sebagian dinding saya dengan cat warna-warni. Saya sendiri yang mengecatnya dengan cat air dan cat poster. Warna-warnanya sengaja dibuat kontras. Warna solid yang kontras itu adalah sesuatu yang indah di mata saya.
            Saat membuka sebuah situs internet yang memang sering saya kunjungi, saya berhenti di sebuah artikel yang menampilkan foto bangunan warna-warni. Bangunan ini adalah tempat bermain skateboard yang dinding dan langit-langitnya dicat warna-warni. Keren sekali.
            Saya segera saja membuka artikel itu dan membacanya dengan penuh semangat. Namun semangat saya agak turun ketika selesai membacanya. Mengapa? Karena gedung tempat bermain skateboard itu dulunya adalah gereja.
            Bagi sebagian orang, gereja hanyalah sekedar bangunan. Bagi saya, gereja adalah tempat ibadah. Di tempat inilah orang-orang yang memiliki kepercayaan yang sama dengan saya berdoa dan memuja Sang Pencipta. Bagi sebagian orang lain, gedung gereja bahkan dijadikan tempat yang suci. Kalau saya, sih, tidak memandang gereja sebagai sesuatu yang sangat suci, namun saya berusaha menjaganya tetap bersih dan utuh.
            Gedung gereja yang beralih fungsi tentunya terjadi karena fungsi barunya itu lebih diperlukan oleh orang yang ada di sekitarnya. Mungkin sudah tidak banyak lagi orang yang beribadah di gereja ini. Mungkin mereka beralih keyakinan. Mungkin juga mereka tidak lagi memiliki keyakinan. Yang jelas, gedung sebagai tempat persekutuan orang yang beriman sama itu tidak lagi diperlukan.
            Setelah saya amati, bagian interior gereja itu memang berubah warna, namun sebenarnya tidak terlalu banyak yang berubah. Ruang-ruang dan sudut khas gereja masih ada. Tampilan luarnya pun masih “gereja banget”. Hanya lantainya yang dilapisi dengan sesuatu yang memudahkan untuk bermain skateboard.
            Suatu saat nanti, saya akan berkunjung ke tempat ini dan memotret keindahannya. Saya juga akan mengembalikan gedung ini sebagai tempat berdoa walaupun hanya sebentar. Mungkin yang berdoa juga cuma saya seorang diri. Hmmm… Atau ada yang berminat menemani? {ST}

Popular Posts

Isi blog ini