Baru-baru ini media massa
diramaikan oleh protes dari masyarakat karena ada “pemuka agama” yang
memelesetkan salam dan menganggapnya racun karena dianggap bertentangan
dengan”ajaran” agamanya. Mengapa saya menggunakan tanda kutip? Karena menurut
saya orang ini tidak layak menjadi pemuka agama.
Orang ini sangat gemar
mengumandangkan kebencian kepada sesama manusia dan menganggap dirinya suci.
Siapa namanya? Saya sih tahu siapa namanya tetapi tidak mau mencantumkannya di
sini. Saya tidak mau mencatat nama manusia yang tidak memberikan nilai baik
bagi sesamanya ini.
Beberapa pendapatnya,
menurut saya, malah membuka mata orang kalau dia sebenarnya tidak layak menjadi
pemuka agama. Pengetahuannya sangat cetek, baik itu tentang agama yang katanya
dianutnya, maupun tentang dunia yang dihuninya. Contohnya saja, salam khas
daerah yang dikatakannya racun itu, kalau dia memang mengerti maknanya,
tentunya dia tidak akan mengeluarkan pendapat seperti itu.
Pendapatnya itu tidak
bercanda, lo. Ia menyampaikannya di dalam “khotbah”. Kalau dalam pertunjukan stand up comedy, mungkin aja berncanda.
Pendapatnya juga memecah belah persatuan. Hampir-hampir sama seperti jurus yang
digunakan para penjajah dulu, mengadu domba orang-orang.
Saya berharap lebih
banyak orang yang belajar dan memahami agamanya dengan baik. Dengan makin
memahami ajaran agama dan mendekatkan diri pada Tuhan, manusia makin bisa
membedakan mana fitnah pengadu domba dan mana yang benar. Saya juga berharap
makin banyak orang yang membuka wawasannya. Era teknologi informasi saat ini
sangat memudahkan orang yang berniat untuk belajar.
Ngomongin orang memang
lebih enak, ya. Saya juga seharusnya lebih mendalami lagi agama saya yang
mengajarkan kasih itu. Karena kalau bertemu dengan “pemuka agama” itu, saya
belum tentu dapat menunjukkan kasih. Yang jelas saya harus menahan tangan saya
untuk tidak menimpuknya. {ST}