Saya memang jarang
mendengarkan orang berbicara di radio, entah itu penyiarnya ataupun
narasumbernya. Alasannya karena saya lebih memilih mendengarkan musik yang
menghibur daripada suara lain yang kurang enak didengar.
Suatu pagi, saya
mendengar wawancara petinggi lembaga legislatif negeri ini. Sebelumnya, saya
pernah pula melakukan kritik kepada orang ini karena apa yang dia ucapkan
benar-benar enggak nyambung dengan apa yang ditanyakan. Kali ini, sebenarnya
saya sangat tergoda untuk segera mengganti saluran radio, namun akhirnya saya
tunda sejenak.
Penundaan itu sebenarnya
bukan tanpa sengaja. Tangan saya sedang sibuk dengan setir mobil. Saya harus
mengendalikan di Mocil di tengah lalu lintas yang padat. Kalau tangan saya
bebas merdeka, tentu saya akan langsung mengganti saluran radio begitu
mendengar kalimat pertama. Hmmm… Mungkin juga baru kata pertama hehehe… Maka
jadilah saya harus mendengar celotehan si bapak pejabat.
Kali ini omongannya
sekali lagi enggak mutu. Sepertinya dia kurang menggunakan pengetahuan (dan mungkin
otaknya) dengan baik. Seperti tong kosong. Nyaring bunyinya tetapi kosong
isinya. Saya jadi kehilangan respek pada anggota dewan yang (seharusnya)
terhormat itu. Dengan segera saya mengganti saluran radio.
Kehilangan respek pada
orang yang seharusnya dihormati itu agak mengganggu bagi saya, apalagi pagi itu
saya berniat menulis cerita untuk anak-anak. Saya selalu mengusahakan pikiran
saya dalam prasangka yang baik ketika sedang menulis cerita untuk anak-anak.
Dengan demikian, nilai-nilai baiklah yang akan keluar dari pikiran saya. Akhirnya
saya memutuskan untuk menunda dulu membuat tulisan itu. Lebih tepatnya menunda
untuk menyelesaikannya, sih. Idenya sudah ada tetapi masih ditulis serampangan
tak beraturan dalam catatan kecil. {ST}