Angin kencang yang
melanda Palangkaraya merobohkan banyak tiang listrik. Akibatnya, banyak daerah
yang pasokan listriknya terganggu. Banyak daerah yang listriknya padam selama
berhari-hari. Rumah kami di Palangkaraya termasuk yang listriknya padam.
Buat Papah, yang tinggal
di sana, mati listrik selama 1-2 hari tidak terlalu menjadi masalah. Hidup
Papah tidak terlalu tergantung pada listrik. Dia kurang suka menonton TV, tidak
suka tidur pake AC, dan sudah sejak lama memiliki semangat hemat listrik. Dia
hanya menganggapnya masalah ketika harus men-charge HP. Masalah ini dapat segera diatasi dengan numpang di rumah
orang yang aliran listriknya tidak padam. Beda halnya dengan para kenalan saya
yang hidupnya tergantung pada gadget.
Angin kencang disertai
hujan lebat itu, yang awalnya disyukuri, tak lama kemudian berubah menjadi
sesuatu yang layak dikeluhkan. Ada juga yang mengutuknya. Semua itu terekam
dalam media sosial bernama Facebook. Saya sampai malas membacanya. Apabila tidak
sengaja terbaca, buru-buru saya cari “hide
post”. Umpetin aja postigan kaya gitu. Saya sudah berjanji pada diri
sendiri untuk lebih banyak berlatih bersyukur. Membaca keluhan dan celaan
semacam itu, kok, rasanya agak mengganggu latihan itu.
Saya memang tidak
merasakannya langsung. Tetapi kalau dibandingkan dengan keadaan sebelumnya di
mana bernapas pun susah, keadaan sekarang jauh lebih baik. Kita mungkin merasa
tidak bisa hidup tanpa listrik tetapi kita lebih tidak bisa lagi hidup tanpa
oksigen. Hujan besar itu telah menghalau asap yang mengotori oksigen. Menurut
pandangan saya, itu adalah sesuatu yang layak disyukuri.
Hidup tanpa listrik dan
gadget adalah soal kebiasaan yang membentuk gaya hidup kita. Sejarah
membuktikan, manusia masih bisa hidup tanpa listrik, namun sudah pasti
kehilangan nyawa bila tidak ada oksigen. Udara bersih yang diberikan Tuhan
bukannya sudah cukup?
Saya akui, listrik sudah
menjadi bagian dari gaya hidup manusia saat ini. Hampir sepanjang hari manusia
kota, seperti saya ini, tergantung pada listrik. Saat menuliskan catatan ini,
saya juga menggunakan listrik. Tentunya tidak nyaman bila mendadak harus hidup
tanpa listrik. Mungkin karena tidak merasakan, saya bisa mencela para pengeluh
di media sosial itu.
Dalam status Facebook
salah satu teman saya, disebutkan kalau pemadaman listrik akan berlanjut sampai
minggu terakhir di bulan November 2015. Perlu waktu 4 minggu untuk memperbaiki
menara dan tiang yang roboh. Wuih, lama juga, ya! Semoga keluarga dan teman-teman
yang ada di sana bisa bertahan dan tetap bisa bersyukur. {ST}