Bogor terkenal akan
angkotnya yang super banyak. Menurut penglihatan mata saya, jumlah angkot di
kota ini lebih banyak dibandingkan dengan kendaraan pribadi. Pengamatan itu
sudah saya lakukan setiap kali berkunjung ke kota ini dalam beberapa tahun ini.
Dalam beberapa kunjungan
itu, saya hampir tidak pernah menggunakan angkot. Saya menggunakan kendaraan
pribadi atau nebeng. Dengan demikian, banyaknya angkot yang berkeliaran di kota
ini dapat dikatakan sebagai “musuh”. Kendaraan yang suka ngetem mengambil
penumpang ini membuat jalanan makin padat dan macet.
Pada awal bulan November
2015 ini, saya ke Bogor menggunakan KRL. Setelah itu saya menyambung perjalanan
saya dengan menggunakan angkot. Dari informasi yang saya dapat, ada 2 jurusan
angkot yang bisa mengantarkan saya ke tempat yang ingin saya tuju. Saya cukup
bersyukur dengan adanya alternatif itu. Artinya, kalau yang 1 enggak bisa, masih
ada yang lainnya.
Setiba di luar stasiun,
saya tidak perlu waktu lama untuk mendapatkan angkot. Ada banyak angkot dengan
nomor jurusan yang mau saya naiki. Banyak banget malah. Saya sampai harus
berjalan bermeter-meter ke depan untuk menemukan angkot paling depan yang saya
duga kuat akan berangkat duluan. Ternyata dugaan saya benar, angkot yang paling
depan adalah angkot yang lebih dulu jalan.
Selain saya, ada 2 penumpang lain di dalam angkot. Sepertinya mereka
adalah penduduk kota Bogor. Setelah itu, ada beberapa anak sekolah yang naik.
Saya adalah penumpang terakhir yang turun. Itu pun setelah menyebutkan tujuan
saya. Awalnya saya tidak tahu harus turun di mana.
Pengalaman naik angkot dengan mudah itu agak mengubah persepsi saya
tentang angkot. Selama ini saya hanya melihatnya dari sisi pengendara mobil
atau nebenger. Dari sisi mobil pribadi, angkot yang super banyak dan bergerak
sangat pelan itu adalah gangguan yang menyebalkan. Beda halnya dari sisi
penumpang angkot. Angkot super banyak yang langsung jalan tanpa menunggu
penumpang penuh adalah berkat. {ST}