Beberapa waktu yang lalu, saya
menyatakan bersedia menjadi koordinator bus untuk perjalanan acara Bulan
Keluarga GKI Kwitang. Sebenarnya, dalam beberapa kepanitiaan yang saya ikuti, agak
tidak umum kalau perempuan yang menjadi koordinator bus. Selain tugas ini
memang terkesan “macho”, biasanya memang tidak ada juga perempuan yang
bersedia.
Saya menyatakan kesediaan saya
karena sudah tidak ada orang lagi yang dapat diminta kesediaannya. Panitia yang
mengerjakan acara ini orangnya terbatas. Hmm... Tepatnya yang terbatas adalah
orang-orang yang mau kerja. Sebenarnya, saya juga enggan. Koordinator bus sudah
selayaknya berhubungan dengan bus dan supirnya. Nah, inilah yang membuat saya
enggan.
Dalam
bayangan saya, supir bus itu agak-agak rusuh seperti yang sering saya temui di
jalan raya. Saya juga tidak terlalu paham dengan otomotif bus, kalau-kalau
terjadi masalah. O iya, ada satu lagi. Koordinator bus itu kalau di jalan raya
adalah kenek, orang yang tugasnya berteriak-teriak. Saya bukanlah orang yang
bersuara nyaring dan suka teriak. Kalau boleh memilih, saya lebih suka menjadi
penumpang yang duduk diam di tempat duduk dekat jendela.
Walaupun enggan, saya berusaha
melakukan tugas ini sebaik-baiknya. Saya hadir lebih awal dari waktu
keberangkatan supaya dapat berkomunikasi dengan sang supir. Saya perlu
menyampaikan beberapa informasi, terutama tempat yang akan kami tuju. Ternyata
supirnya baik, kok. Enggak seperti supir angkutan di jalan itu. Dia dengan
cepat mengerti brifing yang saya berikan.
Setelah beberapa orang berkumpul,
kami belum bisa berangkat karena menunggu beberapa orang yang seharusnya
bertanggung jawab. Penantian ini membuat beberapa orang gelisah, termasuk saya.
Dalam obrolan selagi menunggu itu, ternyata orang-orang yang sudah datang ini
adalah orang yang terbiasa tepat waktu. Keterlambatan tanpa alasan yang jelas
membuat beberapa dari mereka uring-uringan. Ada yang marah. Ada yang ngomel.
Ada yang nyaris ngambek.
Sebagai koordinator bus yang sudah
datang, saya berusaha menenangkan mereka. Dalam hal ini, saya sangat mengerti.
Sebenarnya, saya juga gelisah dan uring-uringan. Dalam hati saya ngomel juga
pada beberapa rekan yang terlambat datang tanpa alasan yang jelas itu. Akhirnya
saya memutuskan untuk berangkat lebih dulu saja setelah melihat orang yang
berkumpul sudah bisa memenuhi sebuah bus.
Keberangkatan kami disambut dengan
ucapan syukur dari para penumpang. Dari omelan yang saya dengar, dapat
disimpulkan kalau sebagian mereka adalah orang yang menghargai waktu, sama
seperti saya. Seorang penumpang berkata, “Bus kita ini adalah bus yang tepat
waktu.” Dengan demikian, saya adalah koordinator bus yang tepat waktu. {ST}