Ana

Selasa, 06 Oktober 2015

Komentator Bencana




            Sejak bulan Agustus 2015 yang lalu, sebagian besar Indonesia dilanda musim asap. Beberapa daerah, terutama di Kalimantan dan Sumatra diliputi asap tebal. Asap itu tidak hanya mengganggu pemandangan, tetapi juga mengganggu pernapasan.
            Bencana ini bukanlah pertama kalinya. Menurut informasi yang pernah saya baca, kebakaran hutan dan lahan yang menghasilkan asap ini sudah terjadi selama 18 tahun. Selama 18 tahun itu pula ada tambahan musim baru di Indonesia, musim asap. Tahun ini adalah yang terparah. Polusi akibat asap tahun ini adalah yang paling buruk.
            Bencana ini menimbulkan banyak komentar dari banyak pihak. Teknologi membuat komentar itu makin mudah dilakukan. Yang dulunya orang hanya bisa membagikan pendapatnya dengan berbicara atau menulis di koran, sekarang bisa dilakukan di berbagai media. Media sosial berbasis internet menjadi salahs atu alternatif tempat berkomentar.
Saya juga termasuk orang yang melakukannya. Saya cukup sering berkomentar tentang bencana asap yang melanda pulau tempat saya dilahirkan, Kalimantan. Saya juga sering memberi komentar tentang kota tempat saya dibesarkan, Palangkaraya. Apalagi ketika diberitakan kalau polusi akibat asap di kota ini sangat tinggi. Waduh. Komentar prihatin dari saya makin bertambah. Beberapa komentar super panjang saya muat di blog ini.
Seorang kenalan saya pernah merasa kesal membaca komentar-komentar yang isinya kebanyakan hanya menyalahkan pihak lain. Entah itu pemerintah, pengusaha, atau peladang berpindah. Hampir tidak ada komentar yang berisi solusi apalagi yang sudah menjadi karya nyata. Saya yang mendengar omelannya itu jadi mencoba instropeksi diri sendiri. Apa benar saya cuma berkomentar yang menyalahkan saja, tanpa ada solusi.
Setelah dipikir-pikir dan diingat-ingat, sepertinya saya memang hanya berkomentar saja. Belum ada solusi nyata yang bisa saya berikan untuk mengurangi bencana asap di negeri ini. Rasa-rasanya saya juga menyalahkan pihak tertentu karena melakukan pembakaran lahan, atau juga melakukan pembiaran. Hampir sama seperti komentator lainnya yang kadang-kadang membuat saya geleng-geleng kepala dengan pemikirannya yang tidak masuk akal.
Seperti pernah saya tuliskan di blog ini, sebelum atau setelah tulisan ini (lupa), untuk mengubah kebiasaan dan cara pandang itu tidak mudah. Perlu kemauan dan tekad yang keras. Atau, kalau sudah terlanjur tidak bisa diubah, biarkan saja punah. Punah generasi ini maksudnya. Generasi mendatang akan memiliki pemahaman yang berbeda, yang lebih memikirkan sesamanya. Kali ini, saya bertekad untuk berperan di dalamnya. Saya akan memiliki andil untuk mengubah cara pandang generasi mendatang supaya lebih peduli dengan kelestarian lingkungan. {ST}

Popular Posts

Isi blog ini