Sejak bulan Agustus 2015 yang lalu,
sebagian besar Indonesia dilanda musim asap. Beberapa daerah, terutama di
Kalimantan dan Sumatra diliputi asap tebal. Asap itu tidak hanya mengganggu
pemandangan, tetapi juga mengganggu pernapasan.
Bencana ini bukanlah pertama
kalinya. Menurut informasi yang pernah saya baca, kebakaran hutan dan lahan
yang menghasilkan asap ini sudah terjadi selama 18 tahun. Selama 18 tahun itu
pula ada tambahan musim baru di Indonesia, musim asap. Tahun ini adalah yang
terparah. Polusi akibat asap tahun ini adalah yang paling buruk.
Bencana ini menimbulkan banyak
komentar dari banyak pihak. Teknologi membuat komentar itu makin mudah
dilakukan. Yang dulunya orang hanya bisa membagikan pendapatnya dengan
berbicara atau menulis di koran, sekarang bisa dilakukan di berbagai media.
Media sosial berbasis internet menjadi salahs atu alternatif tempat
berkomentar.
Saya juga
termasuk orang yang melakukannya. Saya cukup sering berkomentar tentang bencana
asap yang melanda pulau tempat saya dilahirkan, Kalimantan. Saya juga sering
memberi komentar tentang kota tempat saya dibesarkan, Palangkaraya. Apalagi
ketika diberitakan kalau polusi akibat asap di kota ini sangat tinggi. Waduh.
Komentar prihatin dari saya makin bertambah. Beberapa komentar super panjang
saya muat di blog ini.
Seorang
kenalan saya pernah merasa kesal membaca komentar-komentar yang isinya
kebanyakan hanya menyalahkan pihak lain. Entah itu pemerintah, pengusaha, atau
peladang berpindah. Hampir tidak ada komentar yang berisi solusi apalagi yang
sudah menjadi karya nyata. Saya yang mendengar omelannya itu jadi mencoba
instropeksi diri sendiri. Apa benar saya cuma berkomentar yang menyalahkan
saja, tanpa ada solusi.
Setelah
dipikir-pikir dan diingat-ingat, sepertinya saya memang hanya berkomentar saja.
Belum ada solusi nyata yang bisa saya berikan untuk mengurangi bencana asap di
negeri ini. Rasa-rasanya saya juga menyalahkan pihak tertentu karena melakukan
pembakaran lahan, atau juga melakukan pembiaran. Hampir sama seperti komentator
lainnya yang kadang-kadang membuat saya geleng-geleng kepala dengan pemikirannya
yang tidak masuk akal.
Seperti
pernah saya tuliskan di blog ini, sebelum atau setelah tulisan ini (lupa),
untuk mengubah kebiasaan dan cara pandang itu tidak mudah. Perlu kemauan dan
tekad yang keras. Atau, kalau sudah terlanjur tidak bisa diubah, biarkan saja
punah. Punah generasi ini maksudnya. Generasi mendatang akan memiliki pemahaman
yang berbeda, yang lebih memikirkan sesamanya. Kali ini, saya bertekad untuk
berperan di dalamnya. Saya akan memiliki andil untuk mengubah cara pandang
generasi mendatang supaya lebih peduli dengan kelestarian lingkungan. {ST}