Ana

Senin, 12 Oktober 2015

Keturunan Peladang Berpindah


            Dalam sebuah siaran TV, saya mendengar komentar bahwa yang menyebabkan kebakaran lahan adalah peladang berpindah. Para peladang berpindah itu membakar lahan sebelum menanaminya. Saya tidak mendengarkan komentar itu sampai selesai karena keburu saya pindah saluran TV-nya. Komentar semacam itu kok rasanya sudah ketinggalan zaman dan tidak masuk akal, terutama bila komentar ini menggunakan setting Kalimantan, seperti yang diperlihatkan di layar TV itu.
            Konon kabarnya, orang-orang Dayak yang hidup di pedalaman Kalimantan dulunya menganut cara hidup perladangan berpindah. Mereka membakar lahan untuk membuka lahan yang akan ditanami. Membakar adalah cara yang paling mudah untuk membersihkan semak-semak dan tanaman yang dianggap pengganggu. Abu yang dihasilkan dari pembakaran juga berguna sebagai pupuk yang emnambah nutrisi tanah yang akan ditanami. Beberapa pohon ditebang. Beberapa pohon, terutama yang berukuran besar, ada yang dibiarkan hidup. Selain berladang, mereka juga berburu dan meramu makanan.
            Sudah beberapa generasi ini, sudah tidak banyak lagi orang Dayak yang melakukan perladangan berpindah. Orang-orang Dayak sudah mengenal peraturan tentang tanah, tentang hak milik, hak guna usaha, hak pengusahaan hutan, dll. Sudah beberapa generasi ini orang Dayak telah memiliki tanah pribadi yang kelak akan diwariskan kepada keturunannya. Tanah milik itulah yang dijadikan ladang dan kebun. Generasi ini adalah generasinya kakek saya.
            Dalam generasi saya, hampir tidak ada yang melakukan lagi perladangan berpindah. Saya dan saudara-saudara saya bahkan hampir tidak tahu sama sekali bagaimana caranya bekerja di ladang. Kami mendapatkan makanan kami bukan dari ladang. Kami membelinya. Penghasilan yang kami dapat juga bukan dari ladang.
            Generasi orang tua saya masih mengenal ladang. Namun, mereka tidak berpindah-pindah. Ladang mereka ya itu-itu saja. Kalaupun ada yang diistirahatkan dan tidak ditanami, tanah itu tetap milik keluarga. Beberapa orang kakak Papah ada yang berladang. Selain untuk mendapatkan pangan, sepertinya mereka memang senang berladang. Atau lebih tepatnya bercocok tanam. Seorang mina (artinya tante dalam bahasa Dayak Ngaju) pernah berkata dia malah akan sakit kalau tidak turun ke ladang.
            Mina-mina peladang itu berladang di lahannya sendiri. Memang, sih, ada juga kalanya mereka mengambil bahan makanan dari luar lahan mereka, misalnya mengambil kelakai. Tumbuhan paku-pakuan yang tumbuh bebas ini adalah milik siapa saja yang menemukannya. Untuk menikmati kelakai, kita tidak harus memetiknya di lahan yang kita miliki, di pinggir jalan atau di tepi sungai juga ada, kok. Ada juga saatnya mereka membakar ladang mereka, namun asapnya tidak akan mencemari kampung tempat tinggal mereka.
            Dengan wafatnya mina-mina peladang itu, bisa dikatakan generasi peladang di keluarga kami ikut punah. Peladang berpindah apalagi, itu sih sudah punah pada generasi sebelumnya. Para sepupu saya yang tinggal di kampung halaman banyak yang bekerja sebagai pegawai negeri sipil. Banyak juga yang mencari emas. Yang berladang? Bisa dihitung dengan jari.
            Mungkin memang tidak akurat bila peladang berpindah hanya dipandang dari sisi keluarga saya. Namun itulah yang benar-benar terjadi di tanah kelahiran saya itu. Kebanyakan tidak ada lagi yang berladang, apalagi peladang berpindah. Itu pula sebabnya saya memindahkan saluran TV yang saya ceritakan di alinea pertama. Sempat juga terbersit pikiran, mungkin saya hanya sekedar sensi, karena saya adalah keturunan peladang berpindah, yang dituding menjadi biang kebakaran hutan. Daripada makin eneg dan susah untuk respek, lebih baik saya melihat dan mendengar yang lain saja. Sesuatu yang lebih berguna.  {ST}

Popular Posts

Isi blog ini