Dalam sebuah siaran TV, saya
mendengar komentar bahwa yang menyebabkan kebakaran lahan adalah peladang
berpindah. Para peladang berpindah itu membakar lahan sebelum menanaminya. Saya
tidak mendengarkan komentar itu sampai selesai karena keburu saya pindah
saluran TV-nya. Komentar semacam itu kok rasanya sudah ketinggalan zaman dan
tidak masuk akal, terutama bila komentar ini menggunakan setting Kalimantan,
seperti yang diperlihatkan di layar TV itu.
Konon kabarnya, orang-orang Dayak
yang hidup di pedalaman Kalimantan dulunya menganut cara hidup perladangan
berpindah. Mereka membakar lahan untuk membuka lahan yang akan ditanami.
Membakar adalah cara yang paling mudah untuk membersihkan semak-semak dan
tanaman yang dianggap pengganggu. Abu yang dihasilkan dari pembakaran juga
berguna sebagai pupuk yang emnambah nutrisi tanah yang akan ditanami. Beberapa
pohon ditebang. Beberapa pohon, terutama yang berukuran besar, ada yang
dibiarkan hidup. Selain berladang, mereka juga berburu dan meramu makanan.
Sudah beberapa generasi ini, sudah
tidak banyak lagi orang Dayak yang melakukan perladangan berpindah. Orang-orang
Dayak sudah mengenal peraturan tentang tanah, tentang hak milik, hak guna
usaha, hak pengusahaan hutan, dll. Sudah beberapa generasi ini orang Dayak
telah memiliki tanah pribadi yang kelak akan diwariskan kepada keturunannya.
Tanah milik itulah yang dijadikan ladang dan kebun. Generasi ini adalah
generasinya kakek saya.
Dalam generasi saya, hampir tidak
ada yang melakukan lagi perladangan berpindah. Saya dan saudara-saudara saya
bahkan hampir tidak tahu sama sekali bagaimana caranya bekerja di ladang. Kami
mendapatkan makanan kami bukan dari ladang. Kami membelinya. Penghasilan yang
kami dapat juga bukan dari ladang.
Generasi orang tua saya masih
mengenal ladang. Namun, mereka tidak berpindah-pindah. Ladang mereka ya itu-itu
saja. Kalaupun ada yang diistirahatkan dan tidak ditanami, tanah itu tetap
milik keluarga. Beberapa orang kakak Papah ada yang berladang. Selain untuk
mendapatkan pangan, sepertinya mereka memang senang berladang. Atau lebih
tepatnya bercocok tanam. Seorang mina (artinya tante dalam bahasa Dayak Ngaju)
pernah berkata dia malah akan sakit kalau tidak turun ke ladang.
Mina-mina peladang itu berladang di
lahannya sendiri. Memang, sih, ada juga kalanya mereka mengambil bahan makanan
dari luar lahan mereka, misalnya mengambil kelakai. Tumbuhan paku-pakuan yang
tumbuh bebas ini adalah milik siapa saja yang menemukannya. Untuk menikmati
kelakai, kita tidak harus memetiknya di lahan yang kita miliki, di pinggir
jalan atau di tepi sungai juga ada, kok. Ada juga saatnya mereka membakar
ladang mereka, namun asapnya tidak akan mencemari kampung tempat tinggal mereka.
Dengan wafatnya mina-mina peladang
itu, bisa dikatakan generasi peladang di keluarga kami ikut punah. Peladang
berpindah apalagi, itu sih sudah punah pada generasi sebelumnya. Para sepupu
saya yang tinggal di kampung halaman banyak yang bekerja sebagai pegawai negeri
sipil. Banyak juga yang mencari emas. Yang berladang? Bisa dihitung dengan
jari.
Mungkin memang tidak akurat bila
peladang berpindah hanya dipandang dari sisi keluarga saya. Namun itulah yang
benar-benar terjadi di tanah kelahiran saya itu. Kebanyakan tidak ada lagi yang
berladang, apalagi peladang berpindah. Itu pula sebabnya saya memindahkan
saluran TV yang saya ceritakan di alinea pertama. Sempat juga terbersit
pikiran, mungkin saya hanya sekedar sensi, karena saya adalah keturunan peladang
berpindah, yang dituding menjadi biang kebakaran hutan. Daripada makin eneg dan
susah untuk respek, lebih baik saya melihat dan mendengar yang lain saja.
Sesuatu yang lebih berguna. {ST}