Ana

Rabu, 07 Oktober 2015

Guru Magabut di Pedalaman




            Sampai saat ini, pendidikan di Indonesia tidak merata. Mutu sekolah tidak sama. Kadang-kadang mutu sekolah tergantung pada uang sekolah yang dibayar siswanya. Sekolah yang berada di kota besar, umumnya fasilitasnya lebih baik. Beda halnya dengan sekolah yang ada di pedalaman.
            Saya mendapatkan informasi kalau di pedalaman Kalimantan cukup banyak sekolah yang tidak ada gurunya. Lebih tepatnya tidak ada guru yang mengajar. Kalau guru yang seharusnya mengajar di situ sih ada. Nama mekeka terdaftar sebagai pegawai dengan tugas sebagai guru. Namun, mereka tidak melakukan pekerjaan itu. Bisa dikatakan mereka magabut, makan gaji buta.
            Terus terang saya agak mangkel mendengarnya. Kok, tega-teganya mengorbankan pendidikan anak kecil untuk gaji? Saya lebih sebal lagi karena ada beberapa saudara saya yang menjadi guru magabut. Mereka lebih sering berada di kota Palangkaraya dibandingkan di desa tempat mereka ditugaskan.
            Seseorang pernah meneceritakan ke saya tentang sisi lain dari guru magabut. Tidak selamanya guru magabut adalah orang yang egois. Sering kali pilihan magabut itu diambil karena terpaksa, terutama oleh orang yang sudah berumah tangga.
Bagi seorang kepala keluarga, biasanya tidak memungkinkan untuk membawa keluarganya ke desa tempatnya ditugaskan. Fasilitas super minim dan kebanyakan harus swadaya sendiri membuat mereka lebih memilih menempatkan keluarga mereka di kota besar. Begitu pula halnya dengan yang berstatus istri. Lebih praktis merantau sendirian ketimbang membawa keluarga namun tempat tinggal tidak dijamin.
Entah karena kendala apa (kemungkinan besar sih korupsi), banyak guru yang gajinya terlambat dibayar. Agak aneh juga mengingat negara kita belum bangkrut. Negara pasti menyediakan dana untuk menggaji pegawai negeri. Gaji yang besarnya tidak seberapa itu tertunda sampai berbulan-bulan. Tentu saja itu membuat para guru bokek. Mereka harus mencari mata pencarian lain untuk menyambung hidup. Mata pencarian itu biasanya ada di kota, bukan di desa pedalaman tempat mereka ditempatkan.
Walaupun gajinya terbayar rutin, apra guru ini tetap harus mengeluarkan biaya sendiri untuk menuju tempat kerjanya di pedalaman pulau. Ongkos transportasi menuju tempat seperti ini tidak mudah dan tidak murah. Kadang-kadang ongkos jalan itu lebih dari gaji mereka. Karena itu cukup banyak yang memilih bolos bekerja saja. Toh, dia tidak sendiri. Selain dia, banyak orang lain yang bolos dan magabut.
Mendengar cerita tentnag guru yang ditempatkan di pedalaman itu, saya mencoba menempatkan diri di tempat mereka. Mungkin saya akan menghadapi dilema yang sama. Namun sepertinya saya akan mengambil pilihan yang berbeda. Kalau ternyata menjadi guru di pedalaman membuat sengsara, mungkin saya akan mengundurkan diri saja. Buakn berarti menyerah, tetapi mengambil jalan lain untuk kebaikan bersama. Baik bagi saya karena saya dapat mencari jalan hidup yang lain. Baik juga bagi yang menggaji saya karena saya tidak menghabiskan biaya tanpa ada guna. Saya tidak akan magabut. Malu. {ST}

Jadi teringat yang ini: MintaPerputaran Pegawai 

Popular Posts

Isi blog ini