Beberapa hari ini saya sering
berbincang tentang asap dengan kenalan-kenalan saya. Entah itu saudara
sekampung halaman, rekan kerja di kantor, bahkan dengan orang yang baru
dikenal. Asap yang dihasilkan oleh kebakaran lahan di Sumatra dan Kalimantan
itu bahkan sampai ke luar batas negara.
Kebanyakan warga negara Indonesia
merasa malu dengan adanya ekspor asap ini. Saya juga malu rasanya. Sama malunya
seperti saat negara asal saya ini dikatakan sebagai gudangnya teroris dan
narkoba. Bedanya, pemerintah kita sangat serius memerangi teroris dan narkoba.
Pelaku teroris dan pengedar narkoba dihukum sangat berat. Beberapa bahkan
mendapatkan hukuman mati. Agak berbeda dengan para kriminal penghasil asap.
Saya juga sedih karena asap melanda
kampung halaman saya di Kalimantan. Kalimantan Tengah, terutama kota
Palangkaraya terkena asap yang konon kabarnya paling parah sepanjang sejarah.
Kedua orang tua saya sekarang tinggal di kota ini. Parahnya, mereka menolak
mengungsi. Ada berbagai alasan yang mereka ajukan. Beberapa alasannya menurut
kami, anak-anaknya, agak dibuat-buat. Intinya mereka tidak mau mengungsi.
Dalam perbincangan, biasanya selalu
ada yang menyayangkan pembiaran yang dilakukan oleh pemerintah. Saya juga
termasuk orang yang sangat menyayangkannya. Mengapa pelaku kriminal lain
mendapatkan balasan yang setimpal sedangkan pelaku pembakaran lahan penghasil
asap dibiarkan saja? Padahal kelakuan mereka sama-sama membahayakan nyawa warga
negara Indonesia.
Sejarah mencatat asap sudah 18 tahun
menjadi tambahan musim bagi penduduk Kalimantan. Kejadian berulang ini seaakan
sudah dimaklumi oleh penduduknya. Beberapa orang kenalan saya menganggap asap
adalah hal biasa yang terjadi. Orang tua saya termasuk salah duanya. Mereka
menganggap asap adalah hal yang biasa terjadi. Tidak perlu terlalu
menganggapnya masalah bahkan sampai mengungsi segala. Toh, seluruh penduduk di
kota yang sama juga mengalaminya. Bahkan penduduk 1 pulau itu yang
mengalaminya. Ditambah pula dengan beberapa pulau lain. Mungkin itu pula
sebabnya pihak-pihak yang berwenang tidak terlalu peduli dan membiarkan saja
musim asap terjadi setiap tahunnya.
Kalau dicari-cari biangnya dari
mana, tentu saja akan ditemukan banyak pihak yang dapat dikatakan bersalah.
Mungkin saya juga dapat dikatakan bersalah. Sadar atau tidak sadar mungkin saya
melakukan perbuatan yang memberi andil untuk pembakaran lahan di pulau
kelahiran saya itu. Pokoknya pihak yang bersalah sudah pasti banyak banget. Kalau
hanya fokus untuk mencari kesalahan, tidak akan selesai sampai bertahun-tahun.
Kegiatan yang percuma saja dilakukan karena tidak membuat keadaan menjadi
bertambah baik.
Setelah berkali-kali perbincangan
tentang asap itu, saya jadi berpikir sendiri bagaimana caranya menghilangkan
asap ini dari Indonesia. Harus ada langkah nyata yang dilakukan. Langkah nyata
yang dilakukan oleh orang banyak sehingga dampaknya pun besar.
Langkah nyata untuk kelestarian
lingkungan itu sebenarnya baru bisa muncul kalau ada kesadaran pribadi. Nah,
ini yang susah. Kadang-kadang kelestarian lingkungan berbanding terbalik dengan
keuntungan pribadi. Saya sudah cukup sering membuktikannya. Ketika seseorang,
apalagi yang rakus dan serakah, harus memilih, sudah pasti dia akan memilih
pilihan yang akan memberikan keuntungan pribadi pada dirinya. Bodo amat dengan
nasib orang lain. Sikap semacam ini sudah umum dalam dunia bisnis. Saya juga
pernah menerapkannya ketika mengurusi bisnis di sebuah perusahaan retail. Yang penting
untung.
Untuk mengubah sikap dan cara
pandang, tidak mudah dilakukan. Bagi orang dewasa, hal itu hanya mungkin bila
yang bersangkutan mengubah cara pandang dan cara berpikirnya. Nah, yang macam
ini tidak bisa dipaksakan. Orang yang bersangkutan harus benar-benar
menggunakan otaknya, atau benar-benar terkesan, baru mulai berubah.
Beda halnya dengan anak-anak. Anak-anak
yang masih dalam masa pertumbuhan masih lebih mudah dibentuk. Apa yang
dipelajarinya selama pertumbuhan akan membentuk anak itu, baik cara pandang
ataupun cara berpikirnya. Nah, tinggal bagaimana caranya memberikan sesuatu
yang berguna bagi anak-anak itu kelak.
Dalam hal ini, saya memiliki
kesempatan untuk ikut berperan mengubah cara pandang anak-anak. Atau mungkin
lebih tepatnya membuka pikiran anak-anak supaya lebih sadar tentang kelestarian
lingkungan. Saya bisa menuliskannya dalam media anak tempat saya numpang
berkarya. O iya, jadi ingat, saya belum selesai mengerjakan tulisan tentang
asap yang akan diterbitkan dalam majalah anak di akhir bulan Oktober 2015 ini. Semoga tulisan ini membuat anak-anak
terkesan dan mampu memberi pengaruh kepada anak-anak yang membacanya. {ST}