Ana

Jumat, 09 Oktober 2015

Berbincang Tentang Asap




            Beberapa hari ini saya sering berbincang tentang asap dengan kenalan-kenalan saya. Entah itu saudara sekampung halaman, rekan kerja di kantor, bahkan dengan orang yang baru dikenal. Asap yang dihasilkan oleh kebakaran lahan di Sumatra dan Kalimantan itu bahkan sampai ke luar batas negara.
            Kebanyakan warga negara Indonesia merasa malu dengan adanya ekspor asap ini. Saya juga malu rasanya. Sama malunya seperti saat negara asal saya ini dikatakan sebagai gudangnya teroris dan narkoba. Bedanya, pemerintah kita sangat serius memerangi teroris dan narkoba. Pelaku teroris dan pengedar narkoba dihukum sangat berat. Beberapa bahkan mendapatkan hukuman mati. Agak berbeda dengan para kriminal penghasil asap.
            Saya juga sedih karena asap melanda kampung halaman saya di Kalimantan. Kalimantan Tengah, terutama kota Palangkaraya terkena asap yang konon kabarnya paling parah sepanjang sejarah. Kedua orang tua saya sekarang tinggal di kota ini. Parahnya, mereka menolak mengungsi. Ada berbagai alasan yang mereka ajukan. Beberapa alasannya menurut kami, anak-anaknya, agak dibuat-buat. Intinya mereka tidak mau mengungsi.
            Dalam perbincangan, biasanya selalu ada yang menyayangkan pembiaran yang dilakukan oleh pemerintah. Saya juga termasuk orang yang sangat menyayangkannya. Mengapa pelaku kriminal lain mendapatkan balasan yang setimpal sedangkan pelaku pembakaran lahan penghasil asap dibiarkan saja? Padahal kelakuan mereka sama-sama membahayakan nyawa warga negara Indonesia.
            Sejarah mencatat asap sudah 18 tahun menjadi tambahan musim bagi penduduk Kalimantan. Kejadian berulang ini seaakan sudah dimaklumi oleh penduduknya. Beberapa orang kenalan saya menganggap asap adalah hal biasa yang terjadi. Orang tua saya termasuk salah duanya. Mereka menganggap asap adalah hal yang biasa terjadi. Tidak perlu terlalu menganggapnya masalah bahkan sampai mengungsi segala. Toh, seluruh penduduk di kota yang sama juga mengalaminya. Bahkan penduduk 1 pulau itu yang mengalaminya. Ditambah pula dengan beberapa pulau lain. Mungkin itu pula sebabnya pihak-pihak yang berwenang tidak terlalu peduli dan membiarkan saja musim asap terjadi setiap tahunnya.
            Kalau dicari-cari biangnya dari mana, tentu saja akan ditemukan banyak pihak yang dapat dikatakan bersalah. Mungkin saya juga dapat dikatakan bersalah. Sadar atau tidak sadar mungkin saya melakukan perbuatan yang memberi andil untuk pembakaran lahan di pulau kelahiran saya itu. Pokoknya pihak yang bersalah sudah pasti banyak banget. Kalau hanya fokus untuk mencari kesalahan, tidak akan selesai sampai bertahun-tahun. Kegiatan yang percuma saja dilakukan karena tidak membuat keadaan menjadi bertambah baik.
            Setelah berkali-kali perbincangan tentang asap itu, saya jadi berpikir sendiri bagaimana caranya menghilangkan asap ini dari Indonesia. Harus ada langkah nyata yang dilakukan. Langkah nyata yang dilakukan oleh orang banyak sehingga dampaknya pun besar.
            Langkah nyata untuk kelestarian lingkungan itu sebenarnya baru bisa muncul kalau ada kesadaran pribadi. Nah, ini yang susah. Kadang-kadang kelestarian lingkungan berbanding terbalik dengan keuntungan pribadi. Saya sudah cukup sering membuktikannya. Ketika seseorang, apalagi yang rakus dan serakah, harus memilih, sudah pasti dia akan memilih pilihan yang akan memberikan keuntungan pribadi pada dirinya. Bodo amat dengan nasib orang lain. Sikap semacam ini sudah umum dalam dunia bisnis. Saya juga pernah menerapkannya ketika mengurusi bisnis di sebuah perusahaan retail. Yang penting untung.
            Untuk mengubah sikap dan cara pandang, tidak mudah dilakukan. Bagi orang dewasa, hal itu hanya mungkin bila yang bersangkutan mengubah cara pandang dan cara berpikirnya. Nah, yang macam ini tidak bisa dipaksakan. Orang yang bersangkutan harus benar-benar menggunakan otaknya, atau benar-benar terkesan, baru mulai berubah.
            Beda halnya dengan anak-anak. Anak-anak yang masih dalam masa pertumbuhan masih lebih mudah dibentuk. Apa yang dipelajarinya selama pertumbuhan akan membentuk anak itu, baik cara pandang ataupun cara berpikirnya. Nah, tinggal bagaimana caranya memberikan sesuatu yang berguna bagi anak-anak itu kelak.
            Dalam hal ini, saya memiliki kesempatan untuk ikut berperan mengubah cara pandang anak-anak. Atau mungkin lebih tepatnya membuka pikiran anak-anak supaya lebih sadar tentang kelestarian lingkungan. Saya bisa menuliskannya dalam media anak tempat saya numpang berkarya. O iya, jadi ingat, saya belum selesai mengerjakan tulisan tentang asap yang akan diterbitkan dalam majalah anak di akhir bulan Oktober 2015 ini. Semoga tulisan ini membuat anak-anak terkesan dan mampu memberi pengaruh kepada anak-anak yang membacanya. {ST}

Popular Posts

Isi blog ini