Ana

Selasa, 01 September 2015

Main Cermin di Rumah Sakit




            Cermin selalu memantulkan apa yang ada di depannya. Terlihat sama, namun berbeda. Sang bayangan pantulan seakan-akan dapat melakukan hal yang sama, namun itu hanyalah ilusi. Bayangan cermin itu gunanya adalah untuk bercermin tentu saja.
            Bagi saya, cermin memiliki fungsi tersendiri. Selain untuk bercermin saat dandan, cermin juga memberikan inspirasi bagi saya. Ada beberapa cerita anak yang saya buat dengan inspirasi dari cermin, atau dari bayangan yang saya lihat di cermin. Bayangan yang saya lihat di cermin itu maksudnya adalah…bayangan saya sendiri. Narsis bener ya… hehehe.
            Cermin juga sering digunakan untuk memberi kesan ruangan menjadi lebih luas. Jurus ini saya ketahui dari beberapa majalah desain interior yang dulu sering saya baca. Saya juga sering membuktikannya. Kalau sedang berada di ruangan yang dindingnya ada cerminnya, pasti kesannya agak lebih luas. Seakan-akan ada ruang lebih di dalam cermin. Sepertinya jurus ini pula yang digunakan di sebuah rumah sakit khusus THT di Jalan Proklamasi, Jakarta.
            Ruang tunggu rumah sakit ini dipasangi cermin. Ruang itu memang terlihat menjadi lebih luas. Pemandangan jadi enggak terlalu sumpek. Lorongnya juga dipasangi cermin. Namun, apa yang tampak tetap tidak bisa menyembunyikan kenyataan. Lorong itu tetap saja sempit. Orang harus berjalan miring bila saling berpapasan. Kalau tetap nekat, ada kemungkinan akan saling menyenggol. Saya termasuk orang yang nekat tidak berjalan miring. Hasilnya, minuman yang saya bawa tersenggol orang dan hampir tumpah. O ya, saya juga tanpa sengaja menyenggol dokter cukup muda yang lumayan ganteng. Ini beneran enggak sengaja, lo. Bukan keganjenan. Hmmm…. Atau mungkin dokternya yang menyenggol saya ya?
            Pelayanan dokter di rumah ini cukup baik. Saat itu, dokter yang kami temui adalah seorang dokter senior yang juga menjadi pendiri rumah sakit ini. Adik saya yang menjadi pasiennya sempat khawatir dengan turunnya kemampuan dokter ini mendiagnosis karena umurnya yang sudah sepuh. Namun, kekhawatiran itu tidak terjadi. Dokter ini memerika dengan cukup teliti. Tulisannya pun cukup bagus bagi ukuran dokter. Paling tidak, saya bisa membaca catatan yang dibuatnya di lembar pasien.
            Pelayanan sigap dan cepat tanggap si dokter ternyata tidak diikuti dengan pelayanan di bagian pembayaran. Apalagi kami datang sebagai pasien asuransi. Perlu waktu yang jauh lebih lama dibandingkan dengan orang yang membayar langsung biaya pengobatannya. Menanti di ruang tunggu itu membuat saya sangat bosan. Bertambah bosan karena telepon genggam saya mati dan saya tidak membawa buku.
            Adik saya, sang pasien, lebih bosan lagi. Dia sudah lebih dulu datang ke rumah sakit itu, menunggu antrean dokter, setelah itu masih menunggu proses asuransi yang tidak mudah. Emosinya menjadi kurang terkendali karena berita yang disampaikan sang kasir yang ternyata tidak sesuai dengan manfaat asuransi yang diketahuinya.
            Daripada bete nunggu, saya akhirnya memainkan kamera saya. Caranya? Tentu saja dengan memotret. Saya memotret adik saya yang sedang bersender dengan wajah cemberut. Lama-lama, dia pun ikut berperan sebagai model dengan memanfaatkan cermin yang melapisi dinding ruang tunggu itu. Saya pun tidak mau kalah, ikut-ikutan juga menjadi model. Hasilnya seperti yang ada di foto ini. {ST}

Popular Posts

Isi blog ini