Cermin
selalu memantulkan apa yang ada di depannya. Terlihat sama, namun berbeda. Sang
bayangan pantulan seakan-akan dapat melakukan hal yang sama, namun itu hanyalah
ilusi. Bayangan cermin itu gunanya adalah untuk bercermin tentu saja.
Bagi
saya, cermin memiliki fungsi tersendiri. Selain untuk bercermin saat dandan,
cermin juga memberikan inspirasi bagi saya. Ada beberapa cerita anak yang saya
buat dengan inspirasi dari cermin, atau dari bayangan yang saya lihat di
cermin. Bayangan yang saya lihat di cermin itu maksudnya adalah…bayangan saya
sendiri. Narsis bener ya… hehehe.
Cermin juga sering digunakan untuk
memberi kesan ruangan menjadi lebih luas. Jurus ini saya ketahui dari beberapa
majalah desain interior yang dulu sering saya baca. Saya juga sering
membuktikannya. Kalau sedang berada di ruangan yang dindingnya ada cerminnya,
pasti kesannya agak lebih luas. Seakan-akan ada ruang lebih di dalam cermin.
Sepertinya jurus ini pula yang digunakan di sebuah rumah sakit khusus THT di
Jalan Proklamasi, Jakarta.
Ruang tunggu rumah sakit ini
dipasangi cermin. Ruang itu memang terlihat menjadi lebih luas. Pemandangan
jadi enggak terlalu sumpek. Lorongnya juga dipasangi cermin. Namun, apa yang
tampak tetap tidak bisa menyembunyikan kenyataan. Lorong itu tetap saja sempit.
Orang harus berjalan miring bila saling berpapasan. Kalau tetap nekat, ada
kemungkinan akan saling menyenggol. Saya termasuk orang yang nekat tidak
berjalan miring. Hasilnya, minuman yang saya bawa tersenggol orang dan hampir
tumpah. O ya, saya juga tanpa sengaja menyenggol dokter cukup muda yang lumayan
ganteng. Ini beneran enggak sengaja, lo. Bukan keganjenan. Hmmm…. Atau mungkin
dokternya yang menyenggol saya ya?
Pelayanan dokter di rumah ini cukup
baik. Saat itu, dokter yang kami temui adalah seorang dokter senior yang juga
menjadi pendiri rumah sakit ini. Adik saya yang menjadi pasiennya sempat
khawatir dengan turunnya kemampuan dokter ini mendiagnosis karena umurnya yang
sudah sepuh. Namun, kekhawatiran itu tidak terjadi. Dokter ini memerika dengan
cukup teliti. Tulisannya pun cukup bagus bagi ukuran dokter. Paling tidak, saya
bisa membaca catatan yang dibuatnya di lembar pasien.
Pelayanan sigap dan cepat tanggap si
dokter ternyata tidak diikuti dengan pelayanan di bagian pembayaran. Apalagi
kami datang sebagai pasien asuransi. Perlu waktu yang jauh lebih lama
dibandingkan dengan orang yang membayar langsung biaya pengobatannya. Menanti
di ruang tunggu itu membuat saya sangat bosan. Bertambah bosan karena telepon
genggam saya mati dan saya tidak membawa buku.
Adik saya, sang pasien, lebih bosan
lagi. Dia sudah lebih dulu datang ke rumah sakit itu, menunggu antrean dokter,
setelah itu masih menunggu proses asuransi yang tidak mudah. Emosinya menjadi
kurang terkendali karena berita yang disampaikan sang kasir yang ternyata tidak
sesuai dengan manfaat asuransi yang diketahuinya.
Daripada bete nunggu, saya akhirnya
memainkan kamera saya. Caranya? Tentu saja dengan memotret. Saya memotret adik
saya yang sedang bersender dengan wajah cemberut. Lama-lama, dia pun ikut
berperan sebagai model dengan memanfaatkan cermin yang melapisi dinding ruang
tunggu itu. Saya pun tidak mau kalah, ikut-ikutan juga menjadi model. Hasilnya
seperti yang ada di foto ini. {ST}