Ana

Selasa, 15 September 2015

Demo Guru Honorer




            Akhir-akhir ini terjadi demonstrasi yang dilakukan oleh guru-guru honorer. Mereka menyampaikan aspirasinya dengan turun ke jalan di depan gedung DPR. Yang mereka sampaikan adalah permintaan untuk diangkat sebagai PNS. Para guru ini, setelah bertahun-tahun masih berstatus honorer. Mereka mendapat honor yang tidak terlalu besar setiap bulannya.
            Dengan menyandang status honorer, yang mereka terima hanya honor. Berbagai benefit pegawai lainnya, seperti tunjangan, tidak ada. Honor itu terasa makin berat karena harus ada biaya lain yang mereka tanggung. Mereka juga tidak mendapatkan fasilitas kesehatan seperti layaknya pegawai.
            Demo guru honorer ini tidak hanya diikuti oleh guru dari Jakarta. Guru-guru honorer dari daerah lain juga ikut bergabung. Bahkan diberitakan sampai ada yang pingsan ketika mengikuti demo ini. Organisasi persatuan guru kabarnya tidak bertanggung jawab atas demo ini. Itu bisa dimaklumi, sih. Mungkin saja organisasi itu hanya mengurusi guru-guru yang berstatus pegawai saja.
            Saya agak sedih sebenarnya mendengar kabar ini. Kenyataan mereka sampai mengambil jalan untuk demonstrasi tentunya karena apa yang mereka dapatkan tidak sesuai dengan harapan. Bisa dibayangkan bagaimana susahnya kehidupan mereka, sedangkan mereka harus mengajar anak-anak Indonesia. Bagaimana mungkin bisa mengajar dengan baik kalau masih kepikiran urusan perut?
            Saya ingat, bertahun-tahun yang lalu, ketika saya masih kecil, saya pernah bercita-cita menjadi guru. Cita-cita itu pernah saya sampaikan ke orang tua saya. Saya juga ingat bagaimana wajah mereka tidak antusias sama sekali. Beda halnya ketika saya berkata mau menjadi pilot atau insinyur.
            Dalam masa pertumbuhan saya menjadi dewasa, keinginan menjadi guru makin memudar. Kalaupun mengajar, saya tidak berniat menjadikannya profesi tumpuan hidup. Sebabnya? Tentu saja karena penghasilannya yang konon kabarnya enggak besar itu. Selain itu, saya memiliki pilihan lain.
            Kabarnya, guru di zaman sekarang beda dengan guru zaman kolonial. Saat negeri ini masih menjadi negeri jajahan, guru adalah profesi yang sangat dihormati. Almarhum kakek buyut saya, Eyang Marto, adalah seorang guru. Hampir semua orang yang memiliki kesempatan mengenalnya menceritakan bagaimana dihormatinya dia. Penghormatan itu diberikan bukan karena ia adalah pahlawan perang yang menaklukkan negeri seberang, tetapi karena ia adalah seorang guru. Eyang Marto selalu disambut dengan hormat oleh semua orang di sekitar tempat tinggalnya. Anak-anak kecil juga sering mengikuti sepedanya sambil mengungkapkan kekaguman.
            Saat itu, tidak semua anak boleh bersekolah. Sekolah adalah kemewahan. Menjadi murid adalah keistimewaan. Menjadi guru adalah sesuatu yang sangat istimewa. Penghargaan kepada guru di saat itu sangat besar. Penghargaan para mantan murid Eyang Marto masih terasa sampai bertahun-tahun kemudian, bahkan sampai keturunannya yang ke-4.
            Menjadi guru juga diambil oleh beberapa keluarga saya di Kalimantan. Entah berapa orang sepupu Papah yang menjadi guru. Orang-orang dari kampung Papah di tepi Sungai Kahayan itu dikenal pintar. Itu karena banyaknya guru yang berasal dari daerah situ.
            Entah sejak kapan profesi guru tidak lagi terlalu dihargai di negeri ini. Profesi guru dianggap kastanya lebih rendah dibandingkan pengusaha, politisi, pilot, dokter, dll. Guru-guru, apalagi yang honorer, dibayar sangat kecil. Adalah kisah yang umum terjadi bila ada guru yang memiliki usaha sampingan untuk menambah penghasilan. Ada yang berhubungan dengan pengajaran seperti les privat, ada juga yang berjualan barang. Saya mengenal guru yang menjual gorengan dan juga tas kerajinan rotan. O iya, ada juga yang menjadi tukang ojek.
            Guru, sebagai orang yang akan mempersiapkan generasi selanjutnya, seharusnya memiliki waktu untuk menyiapkan bahan ajarnya. Persiapan itu seharusnya dilakukan ketika dia tidak mengajar. Namun waktu itu terpaksa digunakan untuk menambah penghasilan yang kadang-kadang membuat badan kelelahan. Bagaimana mungkin dapat mempersiapkan diri dengan baik?
            Sudah sejak lama saya berpendapat supaya penghormatan terhadap guru dikembalikan seperti dulu. Bukan karena saya cucu buyutnya Mbah Marto, lo. Bukan hanya penghormatan berupa sikap, tetapi juga dengan kompensasi yang diterima. Guru seharusnya mendapatkan kompensasi yang sama besarnya seperti dokter bedah. Mereka sama-sama menyelamatkan kehidupan manusia. Itu pendapat saya, sih. {ST}

Popular Posts

Isi blog ini