Saya sering bertemu dengan seorang
bapak tua penjual buah dalam perjalanan saya ke kantor. Sepertinya ada yang
sama dalam rute perjalanan kami. Bapak itu mengendarai sepeda yang di bagian
belakangnya ada wadah untuk meletakkan buah-buah dagangannya. Bapak tua itu
menjual sukun, pepaya, dan pisang.
Awalnya, yang menarik perhatian saya
adalah barang dagangannya. Bapak ini menjual buah sukun, salah satu buah
kesukaan saya. Buah ini cukup jarang ditemukan di toko buah, pasar ataupun
supermarket. Perhatian saya mulai beralih kepada bapak tua itu ketika saya
terpaksa melambatkan laju di Mocil. Saat itulah saya mengamati kalau lelaki
yang sering saya lihat itu ternyata sudah tidak muda lagi. Sudah banyak keriput
yang menghiasi wajahnya. Dia sudah layak disebut kakek.
Suatu pagi, saya bertemu kembali
dengan bapak ini. Kali ini saya memutuskan untuk membeli dagangannya. Saya
berhenti beberapa meter di depannya. Dengan melambaikan tangan, saya mencoba
menghentikan laju sepeda bapak itu. Seperti juga pedagang lainnya, bapak itu
menawarkan barang dagangannya kepada saya.
Dari awal, saya sudah mengincar buah
sukun. Karena itu, buah inilah yang saya tanyakan. Satu buah sukun itu dijual
dengan harga Rp 35.000. Seperti yang terjadi ketika berhadapan dengan kakek tua
penjual kacang, kali ini pun saya kehilangan kemampuan menawar saya. Baca:
Kakek Tua Penjual Kacang
Tanpa menawar,
saya pun langsung berniat membeli buah sukun itu. Saya pilih yang ukurannya
paling besar dan kulitnya paling bersih. Saya pun mengeluarkan uang Rp 50.000
berwarna biru. Selagi mengemas buah yang saya beli, bapak itu juga menawarkan
dagangan lainnya. Dia menawarkan pisang dan pepaya.
Saat itu,
saya memilih pisang. Saya pikir harganya akan menggenapi menjadi Rp 50.000.
Ternyata tidak. Harga sesisir pisang dagangannya Rp 25.000. Seperti kejadian
sebelumnya, saya juga kehilangan kemampuan menawar saya. Saya malah berjalan
kembali ke mobil untuk mengambil tambahan uang. Total belanja saya Rp 60.000.
Uang yang saya bawa sebelumnya tidak cukup.
Ketika
mengambil uang di mobil itulah saya sempat memotret sosok bapak tua ini. Saya
memotretnya tak jauh dari sebuah apotek bernama Bahagia. Sekalian saya juga
mendoakan semoga bapak itu bahagia menjalani kehidupannya yang sepertinya lebih
keras dari kehidupan saya. Saya juga mengunggah foto bapak ini ke Facebook.
Selain untuk menyebarkan kekaguman saya, saya juga berharap teman-teman lain
turut mendoakan bapak ini. Syukur-syukur bisa menjadi pembeli buah dagangannya
dan menambahkan rezeki bapak itu. {ST}