Ana

Selasa, 29 September 2015

Menanti Taksi di Daerah Prostitusi




            Tadi malam, saya baru kembali ke Jakarta dari Yogyakarta. Saya terbang menggunakan pesawat malam. Saya memilih menggunakan bus Damri untuk membawa saya pulang ke rumah. Pilihan ini saya ambil karena jalanan di depan bandara sangat macet. Naik taksi akan membuat bete karena argo terus berjalan namun taksinya tetap di tempat.
            Kali ini, saya memilih bus jurusan Kemayoran. Kemayoran memang tidak jauh dari tempa tinggal saya. Dari Kemayoran, rencananya saya baru akan naik taksi menuju rumah. Rencana itu menjadi kenyataan. Memang itulah yang saya lakukan tadi malam.
            Tanpa ragu, saya langsung melangkah mencari taksi ketika keluar dari bus. Saat itu jalanan cukup sepi. Waktu beranjak semakin dekat menuju tengah malam. Saya yang tadinya berdiri diam di tepi jalan, akhirnya melangkahkan kaki ke jalan besar yang terlihat lebih ramai.
            Di tepi jalan ini, saya berhenti lagi. Selain karena yakin akan ada taksi yang lewat, saya pun sudah kelelahan. Membawa barang yang cukup berat di kala sudah saatnya beristirahat itu memang perjuangan yang cukup berat. Saya akhirnya berhenti saja sambil menanti.
            Tak lama kemudian, ada taksi biru yang lewat dengan kecepatan tinggi. Saya melambaikan tangan, namun mobil sedan biru itu tidak berhenti. Mengurangi kecepatan pun tidak. Maka saya pun menanti taksi yang lainnya.
            Dari kejauhan, saya bisa memantau taksi tak berpenumpang dengan melihat lampu di atas kapnya. Saya langsung melambaikan tangan ketika ada taksi putih dengan lampu menyala di atasnya. Taksi itu segera berhenti tak jauh dari tempat saya berdiri.
            “Kasihan, ya, anak-anak itu masih kecil sudah begitu,” kata supir taksi.
            Berhubung saya adalah satu-satunya penumpang di taksi itu, tentunya supir taksi itu berniat berbicara dengan saya. Saya pun mengalihkan perhatian saya dari layar telepon di dalam genggaman saya ke jendela samping. Saat itu, saya menduga yang dia maksud adalah anak-anak kecil yang sering disebut sebagai anak jalanan.
            Ternyata bukan pemandangan seperti itu yang saya lihat. Di pinggir jalan itu, berderet-deret perempuan muda dengan pakaian super minim. Salah seorang perempuan yang saya amati itu mengenakan celana super pendek, seperti yang dipakai si Wonder Woman, serial di TV jaman dulu. Rambutnya panjang tergerai dan di bibirnya terselip rokok putih. Dari penampilan dan gaya mereka, sudah bisa ditebak kalau mereka menjajakan diri.
            “Mereka itu masih kecil, masih anak-anak. Kasihan mereka,” sekali lagi supir taksi berkata.
            “Itu bukan anak-anak kali, Pak. Remaja!” sanggah saya dari tempat duduk belakang.
            “Tetap aja mereka masih kecil,” gumam bapak itu dengan sedih. Mungkin dia teringat pada anaknya sendiri.
            Menurut penglihatan saya, mereka enggak kecil-kecil amat. Sudah puber pastinya. Sudah remaja. Itu ditunjukkan dari bentuk badannya. Tentang mereka menjajakan diri, hmmm… mungkin banyak faktor yang menyebabkannya. Mungkin itu adalah pilihan mereka, mungkin juga mereka sudah tidak punya pilihan lagi.
            “Mbak kalau nunggu taksi jangan di situ,” lanjut sang supir laksi lagi.
            “Oke. Terima kasih,” sahut saya.
            Dalam hati saya bersyukur karena tidak perlu berlama-lama menunggu taksi. Bisa-bisa saya dikira salah satu dari para perempuan penjaja diri itu. Untungnya pula, malam itu saya berpakaian sangat tertutup. Saya mengenakan jaket dan selendang yang juga saya gunakan sebagai kerudung. Hmmm… Mungkin supir taksi biru yang mengabaikan lambaian tangan saya menganggap saya seperti perempuan-perempuan yang melambai centil itu. Mungkin saja! {ST}

Senin, 28 September 2015

Tiket Elektronik Tidak Perlu Dicetak




            Saya cukup sering membeli tiket pesawat secara online. Ada beberapa situs online yang pernah saya gunakan untuk membeli tiket. Setelah memilih tiket dan membayarnya, tiket akan dikirimkan via email kepada pemesan. Biasanya, saya mencetak tiket yang dikirimkan itu.
            Beberapa hari yang lalu, saya membeli tiket sehari sebelum kepergian saya. Saya tidak punya waktu lagi untuk mencetaknya. Karena itu, saya tidak mencetaknya. Saya akan mencoba menunjukkan layar telepon genggam saya. Saya pernah melihat beberapa orang lain melakukannya. Sekarang giliran saya yang mencobanya.
            Yang namanya pertama kali, biasanya ada rasa deg-degan. Pengalaman ini juga membuat saya deg-degan dan khawatir. Ada banyak pertanyaan yang mengisi pikiran saya. Bagaimaan kalau HP saya lowbat? Bagaimana kalau error? Atau tiketnya tidak sengaja terhapus? Bagaimana kalau ada yang menelpon saat waktunya menunjukkan tiket?
            Ternyata semua kekhawatiran itu tidak terjadi. Proses berjalan mulus. Para petugas bandara sepertinya sudah terbiasa dengan tiket elektronik. Saya pun bisa berangkat dengan tenang. {ST}

Baca juga:

Kamis, 17 September 2015

Bapak Tua Penjual Buah




            Saya sering bertemu dengan seorang bapak tua penjual buah dalam perjalanan saya ke kantor. Sepertinya ada yang sama dalam rute perjalanan kami. Bapak itu mengendarai sepeda yang di bagian belakangnya ada wadah untuk meletakkan buah-buah dagangannya. Bapak tua itu menjual sukun, pepaya, dan pisang.

            Awalnya, yang menarik perhatian saya adalah barang dagangannya. Bapak ini menjual buah sukun, salah satu buah kesukaan saya. Buah ini cukup jarang ditemukan di toko buah, pasar ataupun supermarket. Perhatian saya mulai beralih kepada bapak tua itu ketika saya terpaksa melambatkan laju di Mocil. Saat itulah saya mengamati kalau lelaki yang sering saya lihat itu ternyata sudah tidak muda lagi. Sudah banyak keriput yang menghiasi wajahnya. Dia sudah layak disebut kakek.

            Suatu pagi, saya bertemu kembali dengan bapak ini. Kali ini saya memutuskan untuk membeli dagangannya. Saya berhenti beberapa meter di depannya. Dengan melambaikan tangan, saya mencoba menghentikan laju sepeda bapak itu. Seperti juga pedagang lainnya, bapak itu menawarkan barang dagangannya kepada saya.

            Dari awal, saya sudah mengincar buah sukun. Karena itu, buah inilah yang saya tanyakan. Satu buah sukun itu dijual dengan harga Rp 35.000. Seperti yang terjadi ketika berhadapan dengan kakek tua penjual kacang, kali ini pun saya kehilangan kemampuan menawar saya. Baca: Kakek Tua Penjual Kacang



Tanpa menawar, saya pun langsung berniat membeli buah sukun itu. Saya pilih yang ukurannya paling besar dan kulitnya paling bersih. Saya pun mengeluarkan uang Rp 50.000 berwarna biru. Selagi mengemas buah yang saya beli, bapak itu juga menawarkan dagangan lainnya. Dia menawarkan pisang dan pepaya. 

Saat itu, saya memilih pisang. Saya pikir harganya akan menggenapi menjadi Rp 50.000. Ternyata tidak. Harga sesisir pisang dagangannya Rp 25.000. Seperti kejadian sebelumnya, saya juga kehilangan kemampuan menawar saya. Saya malah berjalan kembali ke mobil untuk mengambil tambahan uang. Total belanja saya Rp 60.000. Uang yang saya bawa sebelumnya tidak cukup.

Ketika mengambil uang di mobil itulah saya sempat memotret sosok bapak tua ini. Saya memotretnya tak jauh dari sebuah apotek bernama Bahagia. Sekalian saya juga mendoakan semoga bapak itu bahagia menjalani kehidupannya yang sepertinya lebih keras dari kehidupan saya. Saya juga mengunggah foto bapak ini ke Facebook. Selain untuk menyebarkan kekaguman saya, saya juga berharap teman-teman lain turut mendoakan bapak ini. Syukur-syukur bisa menjadi pembeli buah dagangannya dan menambahkan rezeki bapak itu. {ST}

Selasa, 15 September 2015

Asap Lagi… Asap Lagi…




            Sudah beberapa tahun ini Indonesia menjadi negara penghasil asap. Asap itu dihasilkan dari lahan yang terbakar di Sumatra dan Kalimantan. Lahan itu ada yang sengaja dibakar, ada juga yang tidak sengaja terbakar.
            Daerah yang luas dan tidak adanya akses menuju ke sana membuat api yang menyala tidak terkendali. Api bisa menyebar dengan mudah apalagi didukung dengan musim kemarau kering di mana hujan tidak kunjung turun.
            Saya sangat prihatin dengan keadaan ini. Makin sedih rasanya karena cukup banyak keluarga dan kenalan saya yang harus terkena dampaknya. Papah dan Mamah yang saat ini tinggal di Palangkaraya harus hidup di tengah asap. Papah sampai batuk-batuk karena adanya asap ini. Kami, anak-anaknya, sudah menyarankan supaya Papah dan Mamah untuk sementara mengungsi dulu ke Jakarta. Namun mereka tidak bersedia. Akhirnya kami hanya menyarankan mereka untuk tetap tinggal di dalam rumah dan memakai masker kalau pergi ke luar rumah.
            Saya cukup mengerti apa penyebab asap dan tips saat berada di tempat yang dipenuhi asap. Cukup mudah bagi saya untuk membuatnya dalambentuk tulisan. Saya langsung menyatakan bersedia membuat tulisan di sebuah media nasional bermoto “Amanat Hati Nurani Rakyat”. Tulisan itu sebenarnya adalah tulisan daur ulang dari tulisan yang saya buat tahun lalu dan dimuat di Bobo Online.
            Di dalam artikel itu, saya menuliskan penyebab dan tips untuk menghadapi asap. Saya tidak menuliskan solusinya, terutama solusi jangka panjang. Itu karena belum ada solusi yang dapat saya lakukan, atau juga dilakukan oleh pihak-pihak yang berwenang. Kalau usulan solusi seperti rekayasa cuaca, memindahkan air laut, mengalirkan aliran sungai, sudah terpikirkan oleh saya. Tulisan ini akan berlanjut setelah saya mendapatkan pengetahuan baru yang lebih berguna bagi kehidupan.
            Dalam artikel untuk anak-anak itu, saya menuliskan beberapa tips ketika sedang berada di tempat yang banyak asapnya, di negeri di asap. Tips ini sebenarnya berlaku juga untuk semua manusia yang bernafas menggunakan oksigen. Hanya ada 1 tips tambahan khas anak-anak karena menyarankan untuk melaporkannya kepada orang dewasa yang ada di sekitarnya. Semoga saja tips ini ada gunanya bagi masyarakat. {ST}

Demo Guru Honorer




            Akhir-akhir ini terjadi demonstrasi yang dilakukan oleh guru-guru honorer. Mereka menyampaikan aspirasinya dengan turun ke jalan di depan gedung DPR. Yang mereka sampaikan adalah permintaan untuk diangkat sebagai PNS. Para guru ini, setelah bertahun-tahun masih berstatus honorer. Mereka mendapat honor yang tidak terlalu besar setiap bulannya.
            Dengan menyandang status honorer, yang mereka terima hanya honor. Berbagai benefit pegawai lainnya, seperti tunjangan, tidak ada. Honor itu terasa makin berat karena harus ada biaya lain yang mereka tanggung. Mereka juga tidak mendapatkan fasilitas kesehatan seperti layaknya pegawai.
            Demo guru honorer ini tidak hanya diikuti oleh guru dari Jakarta. Guru-guru honorer dari daerah lain juga ikut bergabung. Bahkan diberitakan sampai ada yang pingsan ketika mengikuti demo ini. Organisasi persatuan guru kabarnya tidak bertanggung jawab atas demo ini. Itu bisa dimaklumi, sih. Mungkin saja organisasi itu hanya mengurusi guru-guru yang berstatus pegawai saja.
            Saya agak sedih sebenarnya mendengar kabar ini. Kenyataan mereka sampai mengambil jalan untuk demonstrasi tentunya karena apa yang mereka dapatkan tidak sesuai dengan harapan. Bisa dibayangkan bagaimana susahnya kehidupan mereka, sedangkan mereka harus mengajar anak-anak Indonesia. Bagaimana mungkin bisa mengajar dengan baik kalau masih kepikiran urusan perut?
            Saya ingat, bertahun-tahun yang lalu, ketika saya masih kecil, saya pernah bercita-cita menjadi guru. Cita-cita itu pernah saya sampaikan ke orang tua saya. Saya juga ingat bagaimana wajah mereka tidak antusias sama sekali. Beda halnya ketika saya berkata mau menjadi pilot atau insinyur.
            Dalam masa pertumbuhan saya menjadi dewasa, keinginan menjadi guru makin memudar. Kalaupun mengajar, saya tidak berniat menjadikannya profesi tumpuan hidup. Sebabnya? Tentu saja karena penghasilannya yang konon kabarnya enggak besar itu. Selain itu, saya memiliki pilihan lain.
            Kabarnya, guru di zaman sekarang beda dengan guru zaman kolonial. Saat negeri ini masih menjadi negeri jajahan, guru adalah profesi yang sangat dihormati. Almarhum kakek buyut saya, Eyang Marto, adalah seorang guru. Hampir semua orang yang memiliki kesempatan mengenalnya menceritakan bagaimana dihormatinya dia. Penghormatan itu diberikan bukan karena ia adalah pahlawan perang yang menaklukkan negeri seberang, tetapi karena ia adalah seorang guru. Eyang Marto selalu disambut dengan hormat oleh semua orang di sekitar tempat tinggalnya. Anak-anak kecil juga sering mengikuti sepedanya sambil mengungkapkan kekaguman.
            Saat itu, tidak semua anak boleh bersekolah. Sekolah adalah kemewahan. Menjadi murid adalah keistimewaan. Menjadi guru adalah sesuatu yang sangat istimewa. Penghargaan kepada guru di saat itu sangat besar. Penghargaan para mantan murid Eyang Marto masih terasa sampai bertahun-tahun kemudian, bahkan sampai keturunannya yang ke-4.
            Menjadi guru juga diambil oleh beberapa keluarga saya di Kalimantan. Entah berapa orang sepupu Papah yang menjadi guru. Orang-orang dari kampung Papah di tepi Sungai Kahayan itu dikenal pintar. Itu karena banyaknya guru yang berasal dari daerah situ.
            Entah sejak kapan profesi guru tidak lagi terlalu dihargai di negeri ini. Profesi guru dianggap kastanya lebih rendah dibandingkan pengusaha, politisi, pilot, dokter, dll. Guru-guru, apalagi yang honorer, dibayar sangat kecil. Adalah kisah yang umum terjadi bila ada guru yang memiliki usaha sampingan untuk menambah penghasilan. Ada yang berhubungan dengan pengajaran seperti les privat, ada juga yang berjualan barang. Saya mengenal guru yang menjual gorengan dan juga tas kerajinan rotan. O iya, ada juga yang menjadi tukang ojek.
            Guru, sebagai orang yang akan mempersiapkan generasi selanjutnya, seharusnya memiliki waktu untuk menyiapkan bahan ajarnya. Persiapan itu seharusnya dilakukan ketika dia tidak mengajar. Namun waktu itu terpaksa digunakan untuk menambah penghasilan yang kadang-kadang membuat badan kelelahan. Bagaimana mungkin dapat mempersiapkan diri dengan baik?
            Sudah sejak lama saya berpendapat supaya penghormatan terhadap guru dikembalikan seperti dulu. Bukan karena saya cucu buyutnya Mbah Marto, lo. Bukan hanya penghormatan berupa sikap, tetapi juga dengan kompensasi yang diterima. Guru seharusnya mendapatkan kompensasi yang sama besarnya seperti dokter bedah. Mereka sama-sama menyelamatkan kehidupan manusia. Itu pendapat saya, sih. {ST}

Popular Posts

Isi blog ini