Tadi malam, saya baru kembali ke
Jakarta dari Yogyakarta. Saya terbang menggunakan pesawat malam. Saya memilih
menggunakan bus Damri untuk membawa saya pulang ke rumah. Pilihan ini saya
ambil karena jalanan di depan bandara sangat macet. Naik taksi akan membuat
bete karena argo terus berjalan namun taksinya tetap di tempat.
Kali ini, saya memilih bus jurusan
Kemayoran. Kemayoran memang tidak jauh dari tempa tinggal saya. Dari Kemayoran,
rencananya saya baru akan naik taksi menuju rumah. Rencana itu menjadi kenyataan.
Memang itulah yang saya lakukan tadi malam.
Tanpa ragu, saya langsung melangkah
mencari taksi ketika keluar dari bus. Saat itu jalanan cukup sepi. Waktu
beranjak semakin dekat menuju tengah malam. Saya yang tadinya berdiri diam di
tepi jalan, akhirnya melangkahkan kaki ke jalan besar yang terlihat lebih
ramai.
Di tepi jalan ini, saya berhenti
lagi. Selain karena yakin akan ada taksi yang lewat, saya pun sudah kelelahan.
Membawa barang yang cukup berat di kala sudah saatnya beristirahat itu memang perjuangan
yang cukup berat. Saya akhirnya berhenti saja sambil menanti.
Tak lama kemudian, ada taksi biru
yang lewat dengan kecepatan tinggi. Saya melambaikan tangan, namun mobil sedan
biru itu tidak berhenti. Mengurangi kecepatan pun tidak. Maka saya pun menanti
taksi yang lainnya.
Dari kejauhan, saya bisa memantau
taksi tak berpenumpang dengan melihat lampu di atas kapnya. Saya langsung
melambaikan tangan ketika ada taksi putih dengan lampu menyala di atasnya.
Taksi itu segera berhenti tak jauh dari tempat saya berdiri.
“Kasihan, ya, anak-anak itu masih
kecil sudah begitu,” kata supir taksi.
Berhubung saya adalah satu-satunya
penumpang di taksi itu, tentunya supir taksi itu berniat berbicara dengan saya.
Saya pun mengalihkan perhatian saya dari layar telepon di dalam genggaman saya
ke jendela samping. Saat itu, saya menduga yang dia maksud adalah anak-anak
kecil yang sering disebut sebagai anak jalanan.
Ternyata bukan pemandangan seperti
itu yang saya lihat. Di pinggir jalan itu, berderet-deret perempuan muda dengan
pakaian super minim. Salah seorang perempuan yang saya amati itu mengenakan
celana super pendek, seperti yang dipakai si Wonder Woman, serial di TV jaman
dulu. Rambutnya panjang tergerai dan di bibirnya terselip rokok putih. Dari
penampilan dan gaya mereka, sudah bisa ditebak kalau mereka menjajakan diri.
“Mereka itu masih kecil, masih
anak-anak. Kasihan mereka,” sekali lagi supir taksi berkata.
“Itu bukan anak-anak kali, Pak.
Remaja!” sanggah saya dari tempat duduk belakang.
“Tetap aja mereka masih kecil,”
gumam bapak itu dengan sedih. Mungkin dia teringat pada anaknya sendiri.
Menurut penglihatan saya, mereka
enggak kecil-kecil amat. Sudah puber pastinya. Sudah remaja. Itu ditunjukkan
dari bentuk badannya. Tentang mereka menjajakan diri, hmmm… mungkin banyak
faktor yang menyebabkannya. Mungkin itu adalah pilihan mereka, mungkin juga
mereka sudah tidak punya pilihan lagi.
“Mbak kalau nunggu taksi jangan di
situ,” lanjut sang supir laksi lagi.
“Oke. Terima kasih,” sahut saya.
Dalam hati saya bersyukur karena
tidak perlu berlama-lama menunggu taksi. Bisa-bisa saya dikira salah satu dari
para perempuan penjaja diri itu. Untungnya pula, malam itu saya berpakaian
sangat tertutup. Saya mengenakan jaket dan selendang yang juga saya gunakan sebagai
kerudung. Hmmm… Mungkin supir taksi biru yang mengabaikan lambaian tangan saya
menganggap saya seperti perempuan-perempuan yang melambai centil itu. Mungkin
saja! {ST}