Salah satu wujud kemerdekaan yang
sampai saat ini saya yakini dan jalankan adalah kemerdekaan menggunakan waktu.
Saya bebas untuk menentukan waktu yang saya miliki digunakan untuk apa.
Semua makhluk yang hidup di Bumi
memiliki jatah waktu yang sama dalam setiap harinya, 24 jam. Namun, tidak semua
orang bisa melakukan hal yang sama banyaknya. Ada yang melakukan banyak hal,
ada juga yang melakukan sedikit saja. Atau ada juga yang melakukan banyak hal,
sibuk sekali, namun tanpa hasil.
Untuk segala
sesuatu ada masanya, untuk apapun di bawah langit ada waktunya (Pengkhotbah
3:1)
Beberapa tahun belakangan ini, saya
berusaha makin disiplin menggunakan waktu. Caranya dengan membagi waktu itu
dengan batas-batas tertentu yang saya jalani secara disiplin. Bila
memungkinkan, penggunaan waktu itu saya rencanakan jauh-jauh hari sebelumnya.
Kalau sampai ada penyimpangan saat pelaksanaan, baru deh improvisasi.
Yang menjadi
fokus utama saya adalah waktu kerja. Saat waktunya bekerja, saya akan fokus
bekerja dan menghindar dari hal-hal yang “mengganggu”. Saya juga berusaha untuk
tepat waktu. Dengan tepat waktu, biasanya kegiatan akan berjalan tidak jauh
meleset dari rencana. Tepat waktu juga adalah cerminan dari penghargaan dan
ucapan syukur saya atas waktu yang telah diberikan Tuhan. Istilah kerennya saya
cukup bisa mengelola waktu. Dengan mengelola waktu, saya bisa melakukan lebih
banyak hal, dan masih memiliki waktu untuk diri saya sendiri.
Hal-hal yang
“mengganggu” bagi saya belum tentu dipandang sama oleh orang lain. Contohnya
ada orang yang menelpon bermenit-menit untuk menawarkan barang yang tidak saya
perlukan. Bagi saya, itu adalah hal yang cukup mengganggu. Demikian pula halnya
bila ada yang terlambat dan tidak menyadari kalau waktu yang dia lewatkan
penting bagi orang lain.
Ada pula
orang yang menelpon saya untuk mengobrol ngalor ngidul. Obrolan yang cukup lama
itu dalam rangka menggunakan fasilitas gratis yang diberikan oleh operator
telepon yang kami gunakan. Nah, yang ini sepertinya agak salah sasaran kalau
yang ditelpon adalah saya. Ngobrol ngalor ngidul bagi sebagian orang, terutama
perempuan adalah hal yang menyenangkan. Kadang-kadang hal itu juga cukup
menyenangkan bagi saya, terutama bila teman ngobrolnya adalah orang yang saya
kenal baik. Tidak demikian halnya bila yang menelpon adalah orang yang kenalnya
enggak dekat-dekat amat, terus yang diomongin adalah keburukan orang lain. Wah,
enggak, deh. Kalau untuk hal yang ini, bukanlah hal yang tepat untuk menelpon
saya. Saya jelas-jelas enggak suka dan enggak bersedia pula memberikan waktu
untuk melakukan kegiatan semacam ini.
Di bulan
Agustus ini, di bulan perayaan kemerdekaan Indonesia, saya hanya ingin
mengingat dan menghayati kemerdekaan yang saya miliki, terutama kemerdekaan
waktu. Walaupun saya tetap terikat dengan orang lain dan, saya tetap memiliki
hak untuk bebas mengatur waktu yang saya miliki. {ST}