Selasa malam 25 Agustus 2015, saya
berjalan kaki menyusuri jalan yang ramai dilalui kendaraan. Saya sedang menuju
tempat parkir mobil yang letaknya cukup jauh dari tempat kegiatan saya
sebelumnya. Seorang oma menemani saya berjalan. Oma itu juga sekalian nebeng
pulang.
Sambil ngobrol dan berjalan bergandengan
tangan, kami juga sesekali berhenti. Kami berhenti ketika bertemu dengan
gerobak pedagang. Kami berhenti ketika bertemu dengan kendaraan yang berjalan melawan
arus. Kami juga berhenti ketika ada bagian jalan yang tidak mulus. Perhentian
terlama kami adalah ketika bertemu dengan kakek tua penjual kacang.
Kakek penjual kacang itu meletakkan
pikulan kacangnya di trotoar sementara dia duduk di sampingnya. Kakek itu
terlihat sudah sangat renta, dan giginya ompong. Keompongannya itu membuat
suaranya tidak jelas terdengar. Saya tahu dia menawarkan barang dagangannya,
namun ucapannya itu tidak bisa terdengar dengan jelas.
Melihat kerentaannya, saya menjadi
jatuh kasihan. Demikian pula halnya dengan oma yang menemani saya pulang itu.
Saya yang sebenarnya enggak terlalu suka kacang, berniat membeli kacang
dagangan sang kakek itu.
“Berapa harganya?” tanya saya.
“Lima ribu,” begitu kira-kira maksud
ucapan sang kakek yang terdengar tidak terlalu jelas itu. Tangannya yang
menunjukkan 5 jari keriputnya seakan mau menegaskan ucapannya.
“Kalau begitu saya beli 2,” kata
saya sambil mengambil kacang yang terbungkus dalam kerucut koran itu.
Ketika mau membayar, saya menemukan
lembaran uang Rp 20.000 di dompet. Saya mengambilnya kemudian menyerahkannya
kepada sang kakek.
“Ini kembaliannya buat Kakek aja,”
kata saya lagi.
“Maaf, Neng. Saya, kan, dagang.
Bukan pengemis,” kata kakek itu ketika menerima uang saya.
“O, kalau begitu, saya beli 4,” kata
saya sambil mengambil 2 kerucut koran lagi dari pikulan.
Setelah meninggalkan sang kakek
penjual kacang. Saya juga heran sendiri dengan diri saya yang kali ini tidak
melakukan penawaran harga sedikit pun. Malah sempat berpikiran mau memberikan
saja kelebihan uangnya. Kalau penjualnya bukan seorang kakek serenta itu, pasti
saya akan melakukan penawaran harga. Sebungkus kacang itu akan saya buka dengan
harga penawaran Rp 1000. Rp 5000 per bungkus kacang yang dijual di trotoar
adalah harga yang mahal.
Saya juga
mendapatkan pelajaran baru. Saya salut pada sang kakek yang masih terus
berusaha mencari nafkah secara halal dan tidak mengemis. Saya juga enggak
sedih-sedih amat kehilangan kemampuan menawar barang, kemampuan yang pernah
saya jadikan mata pencarian di waktu yang lalu. {ST}