Ana

Rabu, 26 Agustus 2015

Kakek Tua Penjual Kacang




            Selasa malam 25 Agustus 2015, saya berjalan kaki menyusuri jalan yang ramai dilalui kendaraan. Saya sedang menuju tempat parkir mobil yang letaknya cukup jauh dari tempat kegiatan saya sebelumnya. Seorang oma menemani saya berjalan. Oma itu juga sekalian nebeng pulang.

            Sambil ngobrol dan berjalan bergandengan tangan, kami juga sesekali berhenti. Kami berhenti ketika bertemu dengan gerobak pedagang. Kami berhenti ketika bertemu dengan kendaraan yang berjalan melawan arus. Kami juga berhenti ketika ada bagian jalan yang tidak mulus. Perhentian terlama kami adalah ketika bertemu dengan kakek tua penjual kacang.

            Kakek penjual kacang itu meletakkan pikulan kacangnya di trotoar sementara dia duduk di sampingnya. Kakek itu terlihat sudah sangat renta, dan giginya ompong. Keompongannya itu membuat suaranya tidak jelas terdengar. Saya tahu dia menawarkan barang dagangannya, namun ucapannya itu tidak bisa terdengar dengan jelas.

            Melihat kerentaannya, saya menjadi jatuh kasihan. Demikian pula halnya dengan oma yang menemani saya pulang itu. Saya yang sebenarnya enggak terlalu suka kacang, berniat membeli kacang dagangan sang kakek itu.

            “Berapa harganya?” tanya saya.

            “Lima ribu,” begitu kira-kira maksud ucapan sang kakek yang terdengar tidak terlalu jelas itu. Tangannya yang menunjukkan 5 jari keriputnya seakan mau menegaskan ucapannya.

            “Kalau begitu saya beli 2,” kata saya sambil mengambil kacang yang terbungkus dalam kerucut koran itu.

            Ketika mau membayar, saya menemukan lembaran uang Rp 20.000 di dompet. Saya mengambilnya kemudian menyerahkannya kepada sang kakek.

            “Ini kembaliannya buat Kakek aja,” kata saya lagi.

            “Maaf, Neng. Saya, kan, dagang. Bukan pengemis,” kata kakek itu ketika menerima uang saya.

            “O, kalau begitu, saya beli 4,” kata saya sambil mengambil 2 kerucut koran lagi dari pikulan.

            Setelah meninggalkan sang kakek penjual kacang. Saya juga heran sendiri dengan diri saya yang kali ini tidak melakukan penawaran harga sedikit pun. Malah sempat berpikiran mau memberikan saja kelebihan uangnya. Kalau penjualnya bukan seorang kakek serenta itu, pasti saya akan melakukan penawaran harga. Sebungkus kacang itu akan saya buka dengan harga penawaran Rp 1000. Rp 5000 per bungkus kacang yang dijual di trotoar adalah harga yang mahal.

Saya juga mendapatkan pelajaran baru. Saya salut pada sang kakek yang masih terus berusaha mencari nafkah secara halal dan tidak mengemis. Saya juga enggak sedih-sedih amat kehilangan kemampuan menawar barang, kemampuan yang pernah saya jadikan mata pencarian di waktu yang lalu. {ST}

Popular Posts

Isi blog ini