Ana

Senin, 10 Agustus 2015

Ismail Marzuki Lahir di Kwitang




            Beberapa malam ini saya sering mendengarkan lagu-lagu nasional. Lagu-lagu ini, dulu, saat saya masih kecil, menjadi lagu wajib. Lagu itu wajib dihapalkan dan dinyanyikan saat pelajaran kesenian atau acara-cara lain di sekolah.
Salah satu lagu yang saya dengarkan berkali-kali adalah lagu Rayuan Pulau Kelapa. Lagu ini liriknya sangat cocok dengan artikel yang mau saya buat untuk pertengahan bulan Agustus ini. Selain itu, lagu yang saya dengarkan itu aransemennya bagus sekali. Mendengarkannya benar-benar menghibur dan menginspirasi.
Saya mendapat tugas menulis dengan tema Indonesia kaya. Tujuan saya mendengarkan lagu-lagu itu memang untuk mendapatkan inspirasi bagi tulisan saya. Inspirasinya bahkan sampai agak luber kebanyakan. Jadi agak repot untuk membuatnya menjadi tulisan sederhana yang tidak lebih dari 500 kata.
             Lagu Rayuan Pulau Kelapa, yang berhasil menarik perhatian saya itu, ternyata juga berhasil mengantarkan saya ke alam mimpi tadi malam. Saya masih terbayang-bayang lagu itu ketika terbangun tadi pagi. Saya penasaran, siapakah orang yang membuat lagu ini?
            Paginya, pagi ini, saya mencari informasi tentang penulis lagu ini. Agak-agak merasa “berdosa” juga sebenarnya. Bukankah lagu ini termasuk lagu wajib? Seharusnya semua orang, termasuk saya, sudah tahu siapa penciptanya. Hehehe…
            Setelah browsing, saya baru tahu (atau baru ingat), lagu Rayuan Pulau Kelapa diciptakan oleh Ismail Marzuki. Seorang seniman yang akrab disapa Maing ini dilahirkan di Kwitang, tempat yang sering saya datangi. Dia dilahirkan tanggal 11 Mei 1914. Namanya juga diabadikan menjadi nama pusat kesenian yang cukup sering saya datangi. Taman Ismail Marzuki adalah tempat saya sering nonton film, nonton teater, menikmati pameran lukisan, dan juga nongkrong bersama teman-teman. Namun, itu tidak pernah membuat saya tertarik mengenal orang yang namanya digunakan sebagai nama tempat ini. Saya makin merasa “berdosa” karena tidak tahu apa-apa tentang seniman ini. Padahal, kami berbagi “tempat main” yang sama. Kami tidak pernah bertemu karena hidup di zaman yang berbeda.
            Saya baru mulai mengenalnya ketika membaca biografinya dan mendengarkan lagi lagu-lagu ciptaannya. Dikisahkan kalau Maing adalah anak pintar yang suka menolong. Maing yang sangat berbakat musik itu gemar berpakaian rapi, berdasi, dan sepatu mengkilat. Kalau yang ini agak ironis karena saat ini, orang-orang yang sering beredar di pusat kesenian yang menyandang namanya itu hampir tidak ada yang tampil rapi, walaupun sama berbakatnya di bidang musik.
            Maing dilahirkan dalam keluarga yang cukup berada. Pak Marzuki, ayahnya, setiap tahun membelikan anak lelakinya ini alat-alat musik. Pak Marzuki juga membelikan gramofon untuk Maing. Maing tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Dia memainkan alat-alat musik itu dan menciptakan lagu. Lagu pertamanya berjudul O Sarinah. Sudah nemu di YouTube. Ada 2 lagu O Sarinah. Ada yang dinyanyikan Waljinah dengan bahasa Jawa, dan ada yang berbahasa Belanda.
            Pada usianya yang masih muda, Maing sudah bisa memainkan berbagai alat musik. Suatu saat, seorang teman Maing memberikan sebuah saksofon. Tak disangka, ternyata saksofon ini membawa penyakit paru-paru yang diidap oleh temannya itu. Sejak saat itu, penyakit paru-paru mengganggu tubuh Maing yang kurus. Penyakit inilah yang kemudian merenggut nyawanya di usia 44 tahun.
            Setelah lagu perdananya ini, Maing menciptakan ratusan lagu lagi. Ada beberapa lagunya yang direkam di piringan hitam dan beredar sampai ke Singapura dan Malaysia. Maing juga menjadi pengisi suara di beberapa film.
Lagu-lagu perjuangan diciptakannya saat Jepang datang dan mencengkeram tanah air kita. Lagu adalah bentuk perlawanannya pada pendudukan “saudara tua” itu. Beberapa lagunya dijadikan lagu wajib buat anak-anak sekolah waktu saya kecil dulu, antara lain Rayuan Pulau Kelapa, Indonesia Pusaka, dan Gugur Bunga.
            Tadi malam, saya juga mendengarkan lagu Gugur Bunga. Lagu ini sering diperdengarkan bila ada yang wafat. Lagu ini juga yang pernah mengiringi pemakaman almarhum kakek saya tercinta. Maing menciptakannya ketika ayahnya meninggal dan dia terlambat mengetahuinya. Maing baru tiba ke makam ayahnya beberapa hari setelah ayahnya itu berpulang.
            Memiliki seorang warga negara bernama Ismail Marzuki adalah sesuatu yang seharusnya disyukuri oleh bangsa ini. Warisannya memang seharusnya dilestarikan. Memberi nama sebuah pusat kesenian dengan namanya adalah tindakan yang tepat. Sayangnya, anak-anak muda zaman sekarang banyak yang kurang peduli, macam saya gini, deh. Bayangkan saja kalau saya tidak pernah mendapat order tulisan dan tidak memiliki kebiasaan mendengarkan musik, Ismail Marzuki hanya akan menjadi nama sebuah tempat. Saat ini, bagi saya, Ismail Marzuki adalah inspirasi. {ST}

Popular Posts

Isi blog ini