Ana

Senin, 31 Agustus 2015

Wesel Perdana




            Saat kecil dulu, saya sering mendengar tentang wesel. Wesel adalah salah satu cara untuk mengirimkan uang lewat kantor pos. Wesel bentuknya surat atau dokumen. Yang menerimanya bisa menukarnya dengan uang di kantor pos yang ditunjuk.
            Sepanjang hidup, saya belum pernah mendapatkan wesel, sampai suatu saat rumah kami dihebohkan karena ada wesel yang datang. Wesel itu ditujukan untuk saya. Saya, yang namanya tercantum di wesel itu sangat kaget dan takjub. Ini adalah kali pertama saya menerima wesel.
            Ketika melihat nama pengirimnya, saya langsung menebak kalau wesel itu adalah honor menulis saya di sebuah media nasional. Tulisan saya itu dimuat tanggal 16 Agustus 2015. Wesel yang saya terima 3 hari setelahnya membuat dugaan saya itu makin kuat. Saya pun mengabarkannya ke saudara-saudara. Walaupun nominalnya tidak seberapa, tetapi rasanya sangat bangga mendapatkan wesel perdana.
            Esoknya, saya membawa wesel itu ke kantor. Saya menanyakan tentang wesel itu ke koordinator Kompas Anak, media tempat tulisan saya diterbitkan itu. Dia pun heran mengapa saya mendapatkan wesel. Kalaupun saya sampai mendapatkan kompensasi, seharusnya tidak dalam bentuk wesel. Sekarang jamannya transfer.
            Dengan niat baik, saya meminta mas koordinator itu untuk menanyakan ke bagian keuangan. Apakah memang benar saya yang berhak mendapatkan wesel itu. Setelah dicek, ternyata saya memang tidak berhak untuk mendapatkan kompensasi yang dikirim berupa wesel itu. Kesalahan input terjadi karena nama saya pernah tercatat sebagai kontributor. Dengan demikian, wesel saya itu memang seharusnya dikembalikan.
            Beberapa kenalan agak menyesalkan tindakan saya yang melaporkan wesel itu. Sebenarnya, wesel itu bisa dicairkan dan uangnya bisa digunakan untuk makan-makan. Toh, orang yang salah sebenarnya tidak tahu kalau dia salah. Rasa-rasanya tidak ada yang dirugikan. Dengan melaporkannya, wesel itu terpaksa ditarik kembali. Uang tidak bisa dicairkan dan nama baik tukang input data tercemar karena kelalaiannya.
            Mendengar perkataan mereka, saya sempat menyesal juga, sih. Tetapi enggak lama, kok. Saya tahu diri untuk mengembalikan apa yang bukan menjadi hak saya. Saya juga tahu, apa yang diambil dari saya artinya tidak saya perlukan. Hmmm…. Mungkin saya akan mendapatkan rezeki lain yang lebih banyak digitnya dibandingkan dengan yang tertulis di wesel. :) {ST}

Taman Burung di TMII #153





Jumat, 28 Agustus 2015

Model Anak Kecil yang Enggak Lucu




            “Semua anak kecil lucu” adalah frase yang cukup sering saya ucapkan. Itu bukan hanya sekedar ungkapan, tetapi benar-benar kenyataan. Semua anak kecil memang lucu. Saya selalu senang bertemu dengan anak-anak kecil, terutama anak yang sedang tersenyum ceria.
            Suatu kali, saya melihat sebuah iklan yang menampilkan model anak-anak. Saya sampai terpana melihat iklan ini. Terpana bukan karena kagum, tetapi karena “mengerikan”. Anak kecil di dalam foto itu agak menyalahi kodrat. Wajahnya menjadi tidak lucu karena tertutup dandanan menor. Bibirnya berlipstik merah. Tatapannya tajam, seperti para model yang biasanya berjalan di catwalk. Tidak ada senyum di wajahnya.
            Model dengan tatapan mata tajam menghunjam memang sering mendapatkan pujian. Saya cukup sering mendengarnya di acara top model yang menjadi tontonan adik saya. Para model dewasa yang berkompetisi itu sepertinya memang berusaha keras membuat tatapan matanya tajam dan menarik perhatian para juri.
            Mungkin itu pula yang diajarkan kepada anak kecil yang menurut saya “mengerikan” itu. Saya jadi agak kasihan dengan anak ini. Sepertinya agak dimanfaatkan. Mungkin saja dia sebenarnya adalah anak cantik yang ceria. Semoga saja memang benar, dia adalah anak canti yang ceria. {ST}

Taman Burung di TMII #150





Kamis, 27 Agustus 2015

Muhammad Jujur Pencipta Lagu Anak




            Suatu kali pemimpin redaksi di majalah tempat saya numpang berkarya meminta saya menulis tentang penghargaan yang diterimanya. Penghargaan ini diberikan oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia kepada majalah anak-anak yang sudah 42 tahun terbit di Indonesia itu. Mbak Pemred menerima penghargaan itu mewakili majalah yang dipimpinnya. Untuk menuliskan peristiwa yang tidak saya hadiri, saya harus mencari sumber informasi lain selain keterangan dari Mbak Pemred. Saat itu, entah mengapa tidak ada siaran persnya. Pencarian informasi itu sangat terbantu dengan adanya internet. Artikelnya bisa dibaca di sini.
            Hari itu, KPAI memberikan penghargaan kepada 11 pihak, ada yang perusahaan, organisasi maupun individu orang. Selain majalah Bobo, ada 1 orang lagi yang menarik perhatian saya. Namanya Muhammad Jujur.
            Saya bertanya-tanya sendiri mengapa dia bisa mendapatkan penghargaan dari KPAI. Apakah karena dia jujur seperti namanya? Jujur sebenarnya adalah kewajiban semua manusia beradab. Apakah karena kejujuran makin langka, sehingga orang yang jujur layak mendapatkan penghargaan? Kalau memang karena kejujurannya, mengapa yang memberikan adalah badan yang mengurusi anak-anak?
            Pertanyaan-pertanyaan itu segera terjawab tak lama setelah saya mencari informasinya di internet. Muhammad Jujur mendapat penghargaan bukan karena kejujurannya, tetapi karena ia telah menciptakan banyak sekali lagu anak-anak. Seniman kelahiran Padangpanjang, Sumatra Barat ini telah menciptakan 300-an lagu anak-anak.
            Pak Jujur terlahir di keluarga yang berdarah seni. Ibunya adalah seorang koreografer tarian Minang yang membuat gerakan-gerakan yang berasaskan gerakan pencak silat. Sebelumnya, tarian Minang lebih sperti tarian melayu. Pada usia 10 tahun, Pak Jujur ditinggal ibunya untuk selamanya. Sang ibu wafat dalam kecelakaan pesawat yang tidak diketahui penyebabnya. Kejadian itu terjadi pada tahun 1971. Yeah… Sampai sekarang pun masih ada saja kecelakaan pesawat yang tidak diketahui sebabnya, bahkan tidak diketahui sisa-sisanya.
            Sejak kecil, Pak Jujur gemar memainkan gitar. Dengan gitarnya, ia menciptakan ratusan lagu untuk anak-anak. Beberapa lagu itu ada yang direkam dan dibuat video klipnya. Rekaman ini dibagikan secara cuma-cuma di Padangpanjang.
            Seperti juga para pria Minang lainnya, Pak Jujur merantau keluar dari kampung halamannya. Dia mencari kehidupan yang lebih baik di tempat lain selama lebih dari 30 tahun. Setelah itu, Pak Jujur kembali ke kampung halamannya, Padangpanjang, kota kecil nan sejuk itu. Sekarang Pak Jujur hidup sederhana. Ia mencari nafkah dengan menjajakan gorengan di sekolah-sekolah. Pak Jujur juga tentu saja mengisi waktunya dengan bermain musik.
            Dari informasi yang saya dapatkan dari wikipedia itu, tidak ada foto Pak Jujur ataupun hasil karyanya. Penasaran juga pingin tahu bagaimana orangnya dan lagu seperti apa yang diciptakannya. Tiga ratus lagu bukanlah jumlah yang sedikit. Pasti perlu waktu, pemikiran, dan juga kecintaan sampai bisa membuat sesuatu sebanyak itu.
            Sampai saat ini, tidak banyak pencipta lagu khusus anak-anak di negeri ini. Ada beberapa orang yang saat ini sudah almarhum. Kalaupun ada yang masih hidup, sudah berusai lanjut dan tidak lagi produktif. Entah mengapa tidak terlalu banyak orang yang tertarik untuk membuat lagu khusus anak-anak. Entah karena minatnya tidak ada atau karena memang peluang bisnisnya tidak sebesar jenis lagu lainnya.
            Dengan membuat lagu anak sebanyak itu, pantas saja kalau Pak Jujur mendapatkan penghargaan dari badan yang mengurusi anak-anak. Walaupun tidak tahu banyak, saya pun sanagt menghargai Pak Jujur. Membuat 1 lagu anak-anak saja sudah cukup untuk mendapatkan penghargaan dan rasa kagum saya, apalagi dengan karya yang lebih dari 300-an. Salut buat Pak Jujur. Semoga saja hidupnya selalu diberkati sehingga dapat selalu menjadi berkat sampai akhir hidupnya. {ST}

Taman Burung di TMII #149





Rabu, 26 Agustus 2015

Kakek Tua Penjual Kacang




            Selasa malam 25 Agustus 2015, saya berjalan kaki menyusuri jalan yang ramai dilalui kendaraan. Saya sedang menuju tempat parkir mobil yang letaknya cukup jauh dari tempat kegiatan saya sebelumnya. Seorang oma menemani saya berjalan. Oma itu juga sekalian nebeng pulang.

            Sambil ngobrol dan berjalan bergandengan tangan, kami juga sesekali berhenti. Kami berhenti ketika bertemu dengan gerobak pedagang. Kami berhenti ketika bertemu dengan kendaraan yang berjalan melawan arus. Kami juga berhenti ketika ada bagian jalan yang tidak mulus. Perhentian terlama kami adalah ketika bertemu dengan kakek tua penjual kacang.

            Kakek penjual kacang itu meletakkan pikulan kacangnya di trotoar sementara dia duduk di sampingnya. Kakek itu terlihat sudah sangat renta, dan giginya ompong. Keompongannya itu membuat suaranya tidak jelas terdengar. Saya tahu dia menawarkan barang dagangannya, namun ucapannya itu tidak bisa terdengar dengan jelas.

            Melihat kerentaannya, saya menjadi jatuh kasihan. Demikian pula halnya dengan oma yang menemani saya pulang itu. Saya yang sebenarnya enggak terlalu suka kacang, berniat membeli kacang dagangan sang kakek itu.

            “Berapa harganya?” tanya saya.

            “Lima ribu,” begitu kira-kira maksud ucapan sang kakek yang terdengar tidak terlalu jelas itu. Tangannya yang menunjukkan 5 jari keriputnya seakan mau menegaskan ucapannya.

            “Kalau begitu saya beli 2,” kata saya sambil mengambil kacang yang terbungkus dalam kerucut koran itu.

            Ketika mau membayar, saya menemukan lembaran uang Rp 20.000 di dompet. Saya mengambilnya kemudian menyerahkannya kepada sang kakek.

            “Ini kembaliannya buat Kakek aja,” kata saya lagi.

            “Maaf, Neng. Saya, kan, dagang. Bukan pengemis,” kata kakek itu ketika menerima uang saya.

            “O, kalau begitu, saya beli 4,” kata saya sambil mengambil 2 kerucut koran lagi dari pikulan.

            Setelah meninggalkan sang kakek penjual kacang. Saya juga heran sendiri dengan diri saya yang kali ini tidak melakukan penawaran harga sedikit pun. Malah sempat berpikiran mau memberikan saja kelebihan uangnya. Kalau penjualnya bukan seorang kakek serenta itu, pasti saya akan melakukan penawaran harga. Sebungkus kacang itu akan saya buka dengan harga penawaran Rp 1000. Rp 5000 per bungkus kacang yang dijual di trotoar adalah harga yang mahal.

Saya juga mendapatkan pelajaran baru. Saya salut pada sang kakek yang masih terus berusaha mencari nafkah secara halal dan tidak mengemis. Saya juga enggak sedih-sedih amat kehilangan kemampuan menawar barang, kemampuan yang pernah saya jadikan mata pencarian di waktu yang lalu. {ST}

Popular Posts

Isi blog ini