Pasti
agak bingung, kan, membaca judulnya? Saya yang mau nulisnya juga bingung, sih,
maksudnya apa. Supaya enggak bingung mendingan dituliskan aja ceritanya. Yang
jelas saya tahu apa yang saya rasakan dan pikirkan untuk kemudian saya
tuliskan.
Hari
Sabtu, 11 Juli 2015, saya mendapat kabar kalau salah seorang tetangga saya
sedang dirawat di ICU rumah sakit dekat rumah kami. Bapak yang usianya 81 tahun
ini memang sudah lama terkena stroke dan tinggal di rumah saja. Dia seakan
menarik diri dari kehidupan sosial. Ketika ada kenalan lain yang berkunjung ke
sana, bapak ini hanya ditunggui oleh istrinya. Kenalan yang mengunjungi ini
agak prihatin karena hampir setiap kali dia datang, pasangan ini hanya berduaan
saja. Pasangan suami istri ini keduanya sudah lansia.
Anak-anak
dari pasangan ini sudah bertumbuh dewasa dan memiliki kehidupannya sendiri.
Mereka tinggal cukup jauh dari kedua orang tua itu. Tak heran kalau mereka
selalu terlihat berdua. Selain mereka berdua, ada beberapa orang lain yang
tinggal di rumah tua yang menjadi tempat tinggal mereka itu.
Sakitnya
sang bapak sepuh tetangga saya itu mengingatkan saya pada bapak saya sendiri. Papah
juga pernah terkena stroke. Dia juga seakan menarik diri dari kehidupan
sosialnya. Papah juga tinggal jauh dari anak-anaknya, termasuk saya. Saya dan
keluarga harus bersyukur karena Papah sekarang menjalani gaya hidup yang lebih
sehat. Gaya hidup itu membuatnya lebih sehat.
Absennya
anak-anak bapak tetangga ketika dia dirawat di ICU memang membuat prihatin
banyak orang. Ada beberapa orang pula yang mengecam anak-anaknya yang “tidak
peduli” dengan kondisi orang tuanya. Saya menjadi agak tersentil. Saya juga
hidup jauh dari orang tua saya, tetapi itu bukan berarti saya tidak peduli. Ada
situasi dan kondisi keluarga kami yang membuat kami harus berpisah tempat
tinggal. Situasi dan kondisi ini mungkin berbeda di setiap keluarga. Sebenarnya
orang-orang lain tidak berhak “menghakimi” bila yang terjadi di keluarga lain
berbeda dengan yang terjadi di keluarganya. Itu juga sebabnya saya tidak
mengecam dan menghakimi absennya anak-anak bapak tetangga ini.
Bapak
sepuh tetangga saya itu akhirnya meninggal dunia pada hari Selasa, 14 Juli 2015.
Saya turut merasa kehilangan. Saya datang ke rumah duka untuk mengucapkan
dukacita pada keluarga yang ditinggalkan. Saya juga benar-benar mendoakan
keluarga yang ditinggalkan, terutama istrinya supaya dapat menjalani
kehidupannya dengan penuh harapan.
Malamnya,
saya kepikiran lagi tentang mereka, kedua orang tetangga saya yang sudah sepuh
itu. Lebih tepatnya, saya teringat pada kedua orang tua saya yang sekarang
tinggal di Palangkaraya. Kepikiran juga kalau terjadi sesuatu pada kesehatan
mereka, kami anak-anaknya tidak ada yang berada di sana. Hmmm… {ST}