Ana

Selasa, 28 Juli 2015

Nanti Nombok, Lho!




            Saya cukup sering mampir ke toko-toko swalayan. Entah itu untuk membeli barang-barang groseri, atau juga bahan makanan segar. Saya paling sering mampir untuk membeli tisu, minuman, dan roti. Kadang-kadang sekalian ke ATM juga.
            Beberapa barang di toko swalayan, ada yang menggunakan harga yang tidak bulat seperti mata uang. Misalnya saja Rp 4900. Kalau pembeli hanya membeli barang ini, maka kasir harus mengembalikan Rp 100 kepada pembelinya. Kembalian ini pernah menimbulkan kontroversi bertahun-tahun yang lalu ketika ada toko swalayan yang menggantinya dengan permen. Kontroversi itu akhirnya melahirkan peraturan yang melarang untuk memberikan pengganti uang kembalian berupa permen. Permen memang bukan alat pembayaran yang sah di negara ini.
            Peraturan baru itu memberi keelgaan kepada orang-orang yang tidak berkenan diberikan kembalian permen. Saya salah seorang di antaranya. Memberikan kembalian uang yang digantikan dengan permen seakan-akan memaksa untuk membeli permen itu. Padahal tidak semua orang memerlukannya.
            Peraturan itu juga berakibat kasir di toko-toko swalayan harus selalu menyediakan uang kembalian. Penyediaan uang tambahan itu memberi tambahan beban pekerjaan kepada para kasir. Kerepotannya kadang-kadang tak sebanding dengan nilai uangnya. Bisa dimaklumi kalau banyak kasir yang agak malas mengurusi uang kecil ini.
            Saya pernah bekerja di sebuah perusahaan retail. Menjadi kasir adalah salah satu bagian dari trainingnya. Rasanya saya hanya pernah training 1 minggu sebagai kasir. Kalau boleh memilih, lebih baik enggak deh. Nombok soalnya. Selisih uang kecil, lama-lama akan menjadi banyak. Saya pernah nombok Rp 24.000. Kalau setiap hari nombok segitu, kan, lumayan banget. Kerja capek-capek bukannya dapat upah, tapi malah nombok.
            “Nanti nombok, lho!” kata saya setiap kali mendapatkan uang kembalian yang kelebihan.
            “Enggak papa, dari pada lama,” jawab beberapa kasir, termasuk yang saya temui tadi pagi.
            Kasir yang saya temui bahkan memberikan kembalian dengan selisih harga Rp 1000. Itu adalah selisih yang besar, apalagi kalau dikalikan dengan jumlah konsumennya. Wah, bisa nombok banyak, tuh.
            Sebagai kasir, orang yang berhadapan langsung dengan pembeli, memang sering mendapatkan reaksi langsung dari konsumen. Reaksi paling keras tentu saja soal pelayanannya. Apabila ada pelayanan yang kurang berkenan, merekalah yang akan mendapat komplain. Kebanyakan pembeli tidak mau tahu letak kesalahannya ada di mana, dan apakah kesalahan itu berhubungan dengan sang kasir. Sebagai manusia, bisa dimaklumi kalau para kasir lebih baik kehilangan uang kecil daripada mendapat dampratan.
            Pembeli yang terpaksa menunggu uang kembalian untuk waktu yang cukup lama memang sangat berpotensi menimbulkan masalah. Mana ada, sih, orang yang mau menunggu lama, yang artinya membuang-buang waktu, untuk uang kecil yang tidak seberapa. Saya juga tidak mau.
            Kepedulian saya kepada para kasir yang berpotensi untuk nombok itu timbul karena pengalaman saya. Seminggu menjadi kasir di toko swalayan itu benar-benar mengubah cara pandang saya pada pekerjaan sebagai kasir. Kasir adalah orang yang dipercaya untuk memegang uang yang bukan miliknya. Uang yang dipegangnya hari itu mungkin saja jumlahnya jauh lebih besar dibandingkan dengan gajinya.
Orang yang dapat dipercaya seperti itu harusnya mendapatkan penghargaan, bukannya malah didamprat plus harus nombok pula di akhir waktu kerjanya. Karena itu, saya bisa merelakan sedikit waktu saya ketika sang kasir harus membongkar-bongkar mesinnya untuk mencari uang kembalian. Saya juga rela membongkar-bongkar dompet dan tas saya untuk membuat pengembalian uangnya enggak ribet. Kalau perlu saya yang sedikit nombok juga enggak papa, kok. {ST}

Popular Posts

Isi blog ini