Saya cukup sering mampir ke
toko-toko swalayan. Entah itu untuk membeli barang-barang groseri, atau juga
bahan makanan segar. Saya paling sering mampir untuk membeli tisu, minuman, dan
roti. Kadang-kadang sekalian ke ATM juga.
Beberapa barang di toko swalayan,
ada yang menggunakan harga yang tidak bulat seperti mata uang. Misalnya saja Rp
4900. Kalau pembeli hanya membeli barang ini, maka kasir harus mengembalikan Rp
100 kepada pembelinya. Kembalian ini pernah menimbulkan kontroversi
bertahun-tahun yang lalu ketika ada toko swalayan yang menggantinya dengan
permen. Kontroversi itu akhirnya melahirkan peraturan yang melarang untuk
memberikan pengganti uang kembalian berupa permen. Permen memang bukan alat
pembayaran yang sah di negara ini.
Peraturan baru itu memberi keelgaan
kepada orang-orang yang tidak berkenan diberikan kembalian permen. Saya salah
seorang di antaranya. Memberikan kembalian uang yang digantikan dengan permen
seakan-akan memaksa untuk membeli permen itu. Padahal tidak semua orang
memerlukannya.
Peraturan itu juga berakibat kasir
di toko-toko swalayan harus selalu menyediakan uang kembalian. Penyediaan uang
tambahan itu memberi tambahan beban pekerjaan kepada para kasir. Kerepotannya
kadang-kadang tak sebanding dengan nilai uangnya. Bisa dimaklumi kalau banyak
kasir yang agak malas mengurusi uang kecil ini.
Saya pernah bekerja di sebuah
perusahaan retail. Menjadi kasir adalah salah satu bagian dari trainingnya.
Rasanya saya hanya pernah training 1 minggu sebagai kasir. Kalau boleh memilih,
lebih baik enggak deh. Nombok soalnya. Selisih uang kecil, lama-lama akan
menjadi banyak. Saya pernah nombok Rp 24.000. Kalau setiap hari nombok segitu,
kan, lumayan banget. Kerja capek-capek bukannya dapat upah, tapi malah nombok.
“Nanti nombok, lho!” kata saya
setiap kali mendapatkan uang kembalian yang kelebihan.
“Enggak papa, dari pada lama,” jawab
beberapa kasir, termasuk yang saya temui tadi pagi.
Kasir yang saya temui bahkan
memberikan kembalian dengan selisih harga Rp 1000. Itu adalah selisih yang
besar, apalagi kalau dikalikan dengan jumlah konsumennya. Wah, bisa nombok
banyak, tuh.
Sebagai kasir, orang yang berhadapan
langsung dengan pembeli, memang sering mendapatkan reaksi langsung dari
konsumen. Reaksi paling keras tentu saja soal pelayanannya. Apabila ada
pelayanan yang kurang berkenan, merekalah yang akan mendapat komplain.
Kebanyakan pembeli tidak mau tahu letak kesalahannya ada di mana, dan apakah
kesalahan itu berhubungan dengan sang kasir. Sebagai manusia, bisa dimaklumi
kalau para kasir lebih baik kehilangan uang kecil daripada mendapat dampratan.
Pembeli yang terpaksa menunggu uang
kembalian untuk waktu yang cukup lama memang sangat berpotensi menimbulkan
masalah. Mana ada, sih, orang yang mau menunggu lama, yang artinya
membuang-buang waktu, untuk uang kecil yang tidak seberapa. Saya juga tidak
mau.
Kepedulian saya kepada para kasir
yang berpotensi untuk nombok itu timbul karena pengalaman saya. Seminggu
menjadi kasir di toko swalayan itu benar-benar mengubah cara pandang saya pada
pekerjaan sebagai kasir. Kasir adalah orang yang dipercaya untuk memegang uang
yang bukan miliknya. Uang yang dipegangnya hari itu mungkin saja jumlahnya jauh
lebih besar dibandingkan dengan gajinya.
Orang yang dapat
dipercaya seperti itu harusnya mendapatkan penghargaan, bukannya malah
didamprat plus harus nombok pula di akhir waktu kerjanya. Karena itu, saya bisa
merelakan sedikit waktu saya ketika sang kasir harus membongkar-bongkar
mesinnya untuk mencari uang kembalian. Saya juga rela membongkar-bongkar dompet
dan tas saya untuk membuat pengembalian uangnya enggak ribet. Kalau perlu saya
yang sedikit nombok juga enggak papa, kok. {ST}